Tepat kemarin 9 Juli 2014
Pemilihan Umum untuk Calon Presiden Indonesia digelar, dan masyarakat
Indonesia penasaran dengan hasil perhitungan dari Pemilu tersebut dan
harus menunggu keputusan perhitungan resmi dari KPU kurang lebih 14 hari
lamanya.
Namun seiring perkembangan teknologi, saat ini proses perhitungan untuk Pemilu dapat melalui proses hitung cepat atau yang biasa disebut dengan Quick Count. Dengan melihat Quick Count, seluruh masyarakat Indonesia dapat dengan cepat melihat hasil perhitungan suara dalam Pemilu tersebut, walaupun teknologi Quick Count tidak memberikan jaminan 100% dalam memberikan hasil hitungannya.
Hasil dari Quick Count dapat muncul dikarenakan Quick Count menggunakan teknologi Short Message Service (SMS), dan teknologi tersebut seringkali digunakan oleh lembaga-lembaga penghitung Quick Count, jadi tidak heran jika hasil perhitungan dapat lebih cepat ditampilkan oleh Quick Count.
Lalu bagaimana sebenarnya cara kerja dari teknologi Quick Count ini ? berikut ini adalah penjelasannya.
Persiapan Perangkat
Mempersiapkan perangkat serta sistem pendukung, untuk bisa memberikan data secara cepat ke pusat pengolah data lembaga survei yang melakukan metode quick count ini. Perangkat ini mulai dari komputer untuk meng-input-kan data hingga ponsel untuk mengirim SMS hasil pemilu ke server tempat menerima data.
Pemilihan TPS Secara Acak
Pemilihan TPS sebagai tempat pengambilan data. TPS yang di ambil secara acak berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, jumlah pemilih terbaru, penyebarannya pemilih seperti tersebar dalam berapa kelurahan, dan sebagainya. Singkatnya, proporsional kalau pemilih banyak lokasi sampel (TPS) yang diambil pun banyak serta mewakili karakteristik populasi.
Mengambil Sample Data
Mempersiapkan relawan untuk mengambil sampel dan meng-input-kannya ke sistem data. Jumlah relawan ini cukup banyak untuk mengambil data dari TPS yang telah dipilih.
Pengolahan Data
Data yang telah didapat akan diolah di pusat data dengan menerapan ilmu stasistik, dan dari olahan data inilah lembaga survei bisa menghitung secara cepat siapa pemenang Pemilu dan hasilnya dapat dilihat di hasil Quick Count oleh seluruh masyarakat Indonesia.
==================================================
Jika kita lihat dari cara kerja Quick Count, kita dapat mengartikan bahwa hasil perhitungan Quick Count bukanlah hasil perhitungan dari seluruh TPS yang melakukan pemungutan suara, melainkan dengan menggunakan prinsip ilmu statistika.
Jadi, lembaga survei yang menyelenggarakan Quick Count ini hanya mengambil sampel dari sekian banyak TPS yang ada dan diambil dari TPS yang memiliki jumlah populasi yang banyak dan berbagi pertimbangan lainnya.
Walaupun hasil Quick Count ini tidak pernah tepat dan pasti, tetapi hasil dari Quick Count (yang diselenggarakan oleh lembaga survei yang capable dan jujur) tidak pernah meleset dari siapa yang memenangkan dari pemilihan umum tersebut.
============================================
Prinsip Ilmiah dalam Survei
Survei atau yang juga dikenal dengan istilah polling dilakukan tidak semata-mata untuk mengetahui kecenderungan publik memilih tokoh tertentu sebagai pemimpin, tetapi juga untuk mengukur opini publik terhadap suatu kebijakan pemerintah dan isu-isu yang menyangkut kepentingan publik. Pemakaian prinsip-prinsip ilmiah mutlak dilakukan.
Perkembangan ilmu pengetahuan berkat berbagai penelitian membuat metode ilmiah memainkan peranan penting. Pertama, dengan ditemukannya prinsip probabilitas dan statistik, mengukur pendapat masyarakat tidak perlu dengan menanyai semua orang tetapi cukup menarik sampel dengan prinsip probabilitas. Kedua, perkembangan metode survei tersebut juga diadopsi untuk penelitian di bidang lain seperti penelitian ekonomi dan pemasaran.
Pengaruhnya adalah, adagium yang mengatakan bahwa semakin banyak orang yang diwawancarai adalah semakin baik tidak lagi dipandang benar. Dengan menggunakan prinsip ilmiah, pengukuran pendapat umum dapat dipahami sebagai upaya agar lebih tepat mengukur pendapat masyarakat. Pendapat umum tidak lagi diukur dengan mereka-reka ataupun mendengarkan orang berdiskusi, tetapi dengan sebuah standar pengukuran yang pasti.
Manipulasi Proses dan Metode
Persoalannya, hampir semua lembaga survei mengkalim telah menggunakan prinsip-prinsip ilmiah dalam melakukan survei elektabilitas calon presiden, namun hasilnya beragam. Variasi hasil survei, jika berkisar pada persentase perolehan suara para capres, masih cukup bisa dipahami.
Lebih dari itu, ternyata hasil yang agak “ekstrim” juga muncul, yakni “menyimpulkan” calon yang disurvei beberapa lembaga dalam posisi tertinggal justru menjadi pemenang. Kondisi ini menimbulkan berbagai macam tudingan, bahwa terdapat lembaga survei yang didukung pihak tertentu. Lalu, apakah tidak ada lembaga survei yang bekerja independen, tanpa punya kepentingan terhadap pihak manapun? Tentu saja ada.
Lembaga survei independen bekerja tidak didanai oleh salah satu kontestan. Kita harus mau membuka pikiran secara lapang ketika membaca hasil survei lembaga tersebut, alih-alih langsung menudingnya lembaga pesanan ketika melihat jago kita kalah. Sikap seperti ini bukan sikap ilmiah, melainkan sikap partisan. Jika kita ingin melihat independensi lembaga itu, lihat donaturnya.
Hanya saja, lembaga survei yang didanai salah satu kontestan senantiasa menegaskan bahwa mereka pun telah bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah. Nah, lalu mengapa hasilnya bisa berbeda dengan yang dirilis lembaga yang independen?
Perbedaannya terletak pada manipulasi proses dan metode. Salah satu contoh sederhananya begini. Jika ada pertanyaan tentang siapakah pemimpin yang akan dipilih, jawabannya tergantung pada jenis pertanyaan dan cara bertanya. Di samping itu juga pada informasi apa yang diperoleh responden pada kurun waktu tertentu. Responden lalu diguyur informasi dengan kemasan citra baik calon tertentu melalui pelbagai modus (cenderung diarahkan). Selanjutnya ditanyakan, siapakah pemimpin yang Anda pilih?
Modus seperti ini biasanya dilakukan oleh lembaga survei yang dikontrak oleh kontestan, tentu saja dalam rangka meningkatkan popularitas sehingga diyakini akan elektabel. Model seperti ini banyak dijumpai saat pemilu kepala daerah. Lembaga survei bekerja siang-malam mendongkrak popularitas juragan yang di antara mereka justru ada yang tidak memiliki kualitas leadership.
Lembaga survei semacam ini terkesan bertindak sebagai dealer, yang oleh karenanya muncullah istilah dealership. Alih-alih menciptakan pemimpin yang memiliki leadership yang kuat, yang muncul justru politik dealership, karena yang dikejar adalah popularitas.
Sikap Ilmiah
Jika pun hasil survei lembaga independen itu meleset dari kenyataan, maka tidak ada persoalan dari sisi kredibilitas selama ia bekerja menggunakan prinsip-prinsip ilmiah. Pengalaman pemilukada DKI dua tahun lalu menjadi pelajaran yang berarti bagi kita semua, betapa pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) itu cukup menentukan. Apalagi, dari rilis sejumlah lembaga survei (yang bukan pesanan) menempatkan jarak antara kedua kontestan sangat rapat di mana undecided voters-nya lebih besar daripada jarak di antara mereka.
Memang, pemilu presiden ini hanya terdiri atas dua pasang calon saja, sehingga kecenderungan prediksi survei itu meleset cukup tipis.
Berbeda dengan Pemilukada DKI yang diikuti oleh lima pasang calon, di mana fragmentasi yang cukup besar itu membuat prediksi survei banyak yang meleset. Jika tidak ada kondisi yang sangat luar biasa, pemenangnya sebagaimana rilis survei lembaga independen. Jika meleset, tentu akan ada penjelasan ilmiah berikutnya.
Hanya saja, jangan sampai buruk rupa lembaga survei di belah.
Untuk melaksanakan penelitian yaitu Quick Count penting memperhatikan indikator apa saja yang menjadi patokan dalam melaksanakan penelitian. misalnya dalam menentukan quik qount pemilu, apa saja indikator yang dibutuhkan sehingga mewakili dari seluruh populasi.
Biasanya kalau sudah menyangkut sampel, yang dubutuhkan penelitian kuantitatif. dan perlu diingat penelitian kuantitatif bisa dimanipulasi karena hanya bersifat angka.
Dari berbagai sumber
Namun seiring perkembangan teknologi, saat ini proses perhitungan untuk Pemilu dapat melalui proses hitung cepat atau yang biasa disebut dengan Quick Count. Dengan melihat Quick Count, seluruh masyarakat Indonesia dapat dengan cepat melihat hasil perhitungan suara dalam Pemilu tersebut, walaupun teknologi Quick Count tidak memberikan jaminan 100% dalam memberikan hasil hitungannya.
Hasil dari Quick Count dapat muncul dikarenakan Quick Count menggunakan teknologi Short Message Service (SMS), dan teknologi tersebut seringkali digunakan oleh lembaga-lembaga penghitung Quick Count, jadi tidak heran jika hasil perhitungan dapat lebih cepat ditampilkan oleh Quick Count.
Lalu bagaimana sebenarnya cara kerja dari teknologi Quick Count ini ? berikut ini adalah penjelasannya.
Persiapan Perangkat
Mempersiapkan perangkat serta sistem pendukung, untuk bisa memberikan data secara cepat ke pusat pengolah data lembaga survei yang melakukan metode quick count ini. Perangkat ini mulai dari komputer untuk meng-input-kan data hingga ponsel untuk mengirim SMS hasil pemilu ke server tempat menerima data.
Pemilihan TPS Secara Acak
Pemilihan TPS sebagai tempat pengambilan data. TPS yang di ambil secara acak berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, jumlah pemilih terbaru, penyebarannya pemilih seperti tersebar dalam berapa kelurahan, dan sebagainya. Singkatnya, proporsional kalau pemilih banyak lokasi sampel (TPS) yang diambil pun banyak serta mewakili karakteristik populasi.
Mengambil Sample Data
Mempersiapkan relawan untuk mengambil sampel dan meng-input-kannya ke sistem data. Jumlah relawan ini cukup banyak untuk mengambil data dari TPS yang telah dipilih.
Pengolahan Data
Data yang telah didapat akan diolah di pusat data dengan menerapan ilmu stasistik, dan dari olahan data inilah lembaga survei bisa menghitung secara cepat siapa pemenang Pemilu dan hasilnya dapat dilihat di hasil Quick Count oleh seluruh masyarakat Indonesia.
==================================================
Jika kita lihat dari cara kerja Quick Count, kita dapat mengartikan bahwa hasil perhitungan Quick Count bukanlah hasil perhitungan dari seluruh TPS yang melakukan pemungutan suara, melainkan dengan menggunakan prinsip ilmu statistika.
Jadi, lembaga survei yang menyelenggarakan Quick Count ini hanya mengambil sampel dari sekian banyak TPS yang ada dan diambil dari TPS yang memiliki jumlah populasi yang banyak dan berbagi pertimbangan lainnya.
Walaupun hasil Quick Count ini tidak pernah tepat dan pasti, tetapi hasil dari Quick Count (yang diselenggarakan oleh lembaga survei yang capable dan jujur) tidak pernah meleset dari siapa yang memenangkan dari pemilihan umum tersebut.
============================================
Prinsip Ilmiah dalam Survei
Survei atau yang juga dikenal dengan istilah polling dilakukan tidak semata-mata untuk mengetahui kecenderungan publik memilih tokoh tertentu sebagai pemimpin, tetapi juga untuk mengukur opini publik terhadap suatu kebijakan pemerintah dan isu-isu yang menyangkut kepentingan publik. Pemakaian prinsip-prinsip ilmiah mutlak dilakukan.
Perkembangan ilmu pengetahuan berkat berbagai penelitian membuat metode ilmiah memainkan peranan penting. Pertama, dengan ditemukannya prinsip probabilitas dan statistik, mengukur pendapat masyarakat tidak perlu dengan menanyai semua orang tetapi cukup menarik sampel dengan prinsip probabilitas. Kedua, perkembangan metode survei tersebut juga diadopsi untuk penelitian di bidang lain seperti penelitian ekonomi dan pemasaran.
Pengaruhnya adalah, adagium yang mengatakan bahwa semakin banyak orang yang diwawancarai adalah semakin baik tidak lagi dipandang benar. Dengan menggunakan prinsip ilmiah, pengukuran pendapat umum dapat dipahami sebagai upaya agar lebih tepat mengukur pendapat masyarakat. Pendapat umum tidak lagi diukur dengan mereka-reka ataupun mendengarkan orang berdiskusi, tetapi dengan sebuah standar pengukuran yang pasti.
Manipulasi Proses dan Metode
Persoalannya, hampir semua lembaga survei mengkalim telah menggunakan prinsip-prinsip ilmiah dalam melakukan survei elektabilitas calon presiden, namun hasilnya beragam. Variasi hasil survei, jika berkisar pada persentase perolehan suara para capres, masih cukup bisa dipahami.
Lebih dari itu, ternyata hasil yang agak “ekstrim” juga muncul, yakni “menyimpulkan” calon yang disurvei beberapa lembaga dalam posisi tertinggal justru menjadi pemenang. Kondisi ini menimbulkan berbagai macam tudingan, bahwa terdapat lembaga survei yang didukung pihak tertentu. Lalu, apakah tidak ada lembaga survei yang bekerja independen, tanpa punya kepentingan terhadap pihak manapun? Tentu saja ada.
Lembaga survei independen bekerja tidak didanai oleh salah satu kontestan. Kita harus mau membuka pikiran secara lapang ketika membaca hasil survei lembaga tersebut, alih-alih langsung menudingnya lembaga pesanan ketika melihat jago kita kalah. Sikap seperti ini bukan sikap ilmiah, melainkan sikap partisan. Jika kita ingin melihat independensi lembaga itu, lihat donaturnya.
Hanya saja, lembaga survei yang didanai salah satu kontestan senantiasa menegaskan bahwa mereka pun telah bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah. Nah, lalu mengapa hasilnya bisa berbeda dengan yang dirilis lembaga yang independen?
Perbedaannya terletak pada manipulasi proses dan metode. Salah satu contoh sederhananya begini. Jika ada pertanyaan tentang siapakah pemimpin yang akan dipilih, jawabannya tergantung pada jenis pertanyaan dan cara bertanya. Di samping itu juga pada informasi apa yang diperoleh responden pada kurun waktu tertentu. Responden lalu diguyur informasi dengan kemasan citra baik calon tertentu melalui pelbagai modus (cenderung diarahkan). Selanjutnya ditanyakan, siapakah pemimpin yang Anda pilih?
Modus seperti ini biasanya dilakukan oleh lembaga survei yang dikontrak oleh kontestan, tentu saja dalam rangka meningkatkan popularitas sehingga diyakini akan elektabel. Model seperti ini banyak dijumpai saat pemilu kepala daerah. Lembaga survei bekerja siang-malam mendongkrak popularitas juragan yang di antara mereka justru ada yang tidak memiliki kualitas leadership.
Lembaga survei semacam ini terkesan bertindak sebagai dealer, yang oleh karenanya muncullah istilah dealership. Alih-alih menciptakan pemimpin yang memiliki leadership yang kuat, yang muncul justru politik dealership, karena yang dikejar adalah popularitas.
Sikap Ilmiah
Jika pun hasil survei lembaga independen itu meleset dari kenyataan, maka tidak ada persoalan dari sisi kredibilitas selama ia bekerja menggunakan prinsip-prinsip ilmiah. Pengalaman pemilukada DKI dua tahun lalu menjadi pelajaran yang berarti bagi kita semua, betapa pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) itu cukup menentukan. Apalagi, dari rilis sejumlah lembaga survei (yang bukan pesanan) menempatkan jarak antara kedua kontestan sangat rapat di mana undecided voters-nya lebih besar daripada jarak di antara mereka.
Memang, pemilu presiden ini hanya terdiri atas dua pasang calon saja, sehingga kecenderungan prediksi survei itu meleset cukup tipis.
Berbeda dengan Pemilukada DKI yang diikuti oleh lima pasang calon, di mana fragmentasi yang cukup besar itu membuat prediksi survei banyak yang meleset. Jika tidak ada kondisi yang sangat luar biasa, pemenangnya sebagaimana rilis survei lembaga independen. Jika meleset, tentu akan ada penjelasan ilmiah berikutnya.
Hanya saja, jangan sampai buruk rupa lembaga survei di belah.
Untuk melaksanakan penelitian yaitu Quick Count penting memperhatikan indikator apa saja yang menjadi patokan dalam melaksanakan penelitian. misalnya dalam menentukan quik qount pemilu, apa saja indikator yang dibutuhkan sehingga mewakili dari seluruh populasi.
Biasanya kalau sudah menyangkut sampel, yang dubutuhkan penelitian kuantitatif. dan perlu diingat penelitian kuantitatif bisa dimanipulasi karena hanya bersifat angka.
Dari berbagai sumber