Para wanita warga Dolly sedang serius mendengarkan pengarahan cara membuat kue dari pihak Tri Star (foto : diambil dari FB Grup #SaveRisma, milik Pak Kartono) |
Seperti ramai diberitakan media massa mainstream,
baik media TV maupun onlen, penolakan keras dilakukan oleh para pekerja
lokalisasi (PSK, mucikari, makelar tamu, penjual minuman, dll.).
Begitupun sebagian warga yang tinggal di kawasan gang Dolly yang
menyebut dirinya “warga terdampak”, yaitu mereka yang secara tak
langsung mendapatkan penghasilan dari keberadaan lokalisasi Dolly,
semisal pencuci baju yang sehari-hari menerima cucian dari seribuan
lebih PSK. Penolakan-penolakan itulah yang di-blow up
besar-besaran hingga membentuk opini publik bahwa penutupan lokalisasi –
yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu – adalah suatu kemustahilan.
Bukan itu saja, penutupan lokalisasi hanya akan menyengsarakan para
pekerjanya yang sudah terbiasa mendapat penghasilan belasan juta
sebulan, kini harus kehilangan pekerjaan.
Ironis sebenarnya, karena upaya penutupan
lokalisasi tidak bisa ditinjau dari sudut pandang kehilangan pekerjaan
semata, ibarat pabrik rokok Sampoerna yang mem-PHK ribuan karyawan.
Penutupan lokalisasi yang sudah berbaur tanpa batas dengan masyarakat
sekitar, non pemilik wisma esek-esek dan non pekerja lokalisasi. Anak-anak
dari warga sekitar sejak kecil tumbuh dan berkembang di lingkungan
prostitusi yang sangat tidak baik untuk perkembangan jiwa mereka. Anak-anak
disitu – yang seharusnya masih belajar – terbiasa keluyuran sampai jam
10 malam menyaksikan pemandangan para PSK duduk berjajar bak di
akuarium, melihat para centeng dan pelanggan prostitusi berinteraksi,
bahkan mereka sejak kecil sudah terbiasa dengan gaya mengisap rokok dan
menenggak miras. Di sisi lain, gadis-gadis ABG sehari-hari melihat para
PSK berdandan menor dan seakan glamor, membuat mereka akhirnya berpikir :
alangkah mudahnya mendapatkan uang dan memiliki semua asesories idaman
wanita, cukup dengan mejeng dan menunggu “pembeli”.
Terlepas dari semua kabar penolakan, sedikit sekali media mainstream
yang meliput sisi sebaliknya, mungkin hanya media lokal yang tak
terlalu dikenal. Tentang sejumlah warga gang Dolly yang
berbondong-bondong menyampaikan aspirasinya meminta agar Dolly segera
ditutup, tentang anak-anak usia SD yang tinggal di kawasan Dolly yang
berkirim surat pada ibu Walikota Surabaya, meminta agar Dolly ditutup
agar ia bisa tenang belajar, tentang kisah mantan mucikari yang memulai
hidup baru dengan berjualan telur asin dan telur ayam negeri, dll. Semua
itu seolah (sengaja) dinafikan, padahal jika diberitakan akan bisa jadi
motivasi dan penambah spirit pekerja lokalisasi yang sebagian memang
sudah ingin keluar dari “jerat” lokalisasi.
KISAH SUKSES PENUTUPAN 4 LOKALISASI DI SURABAYA SEBELUM GANG DOLLY
Padahal, Dolly bukan lokalisasi pertama yang ditutup Pemkot Surabaya. Sebelumnya, Walikota Tri Rismaharini telah menutup 4 lokalisasi, yang sebelumnya juga diwarnai penolakan. Keempat lokalisasi itu adalah :
1. Dupak Bangunsari, di Surabaya Utara, ditutup pada 21 Desember 2012,
kini kawasan tersebut dijadikan pusat usaha produksi makanan kemasan,
keset, pernik-pernik, dan jilbab tenun. Sebanyak 163 PSK berasal dari 61
wisma dan 50 mucikari di-alihprofesi-kan. Pemkot Surabaya memberikan
dana kompensasi dan pelatihan ketrampilan. Warga yang semula mencari
nafkah dari wisma dan karaoke kini diajari berusaha. Omzet mereka kini
bahkan ada yang mencapai Rp 10 juta/bulan.
2. Tambak Asri, di Surabaya Barat, ditutup pada 28 April 2013, semula
dihuni ratusan PSK dan mucikari yang tersebar di 90 wisma dan 20 kafe.
Bu Risma selaku Walikota memberi bantuan 2 buah mesin cuci untuk usaha
laundry, kini para mantan PSK sudah berhasil mengembangkan menjadi 10
mesin cuci, artinya usahanya berkembang hingga bisa menambah asset.
Selain itu, beberapa rumah bekas wisma disewa pemkot untuk produksi
jilbab tenun dan pernak-pernik.
3. Moroseneng, di Surabaya Barat, ditutup 22 Desember 2013.
4. Klakah Rejo, juga di Surabaya Barat, ditutup di tanggal yang sama. Dua lokalisasi itu tadinya dihuni sekitar 350 PSK dan 90 mucikari
Tak ada penutupan lokalisasi yang awalnya
tidak diwarnai protes. Tapi rencana itu jalan terus, perlahan tapi
pasti, wajah eks lokalisasi berubah menjadi sentra-sentra kerajinan dan
belanja. Karena itu, Bu Risma sempat berujar “Dolly bukan ditutup, tapi diubah wajahnya”.
Para pekerja lokalisasi akan dialihkan profesinya seperti halnya
kawasan Dupak Bangunsari yang telah dialihkan menjadi sentra produksi
makanan dan membuahkan hasil yang bagus. Para eks PSK kini
beralih profesi sebagian jadi pedagang makanan olahan yang menuai omset
yang cukup fantastis. Rata-rata setiap pedagang produksi makanan olahan
ini meraup keuntungan hingga Rp 10 juta/ bulan. Sebuah capaian
yang luar biasa bagi para pekerja yang umumnya tak memiliki ketrampilan
teknis dan bekal pendidikan formal yang memadai. Inilah bukti bahwa selama masih ada kemauan untuk bekerja, Tuhan tak akan pernah menutup pintu rejeki.
Di Dupak Bangunsari kini sudah tumbuh
hingga 10 industri rumah tangga yang memproduksi batik. Karena itu,
bukan tidak mungkin Dolly pun bisa diubah wajahnya menjadi sentra
belanja. Rencana Bu Risma, para pekerja di Gang Dolly ( PSK, penjual
miras, penjual kondom, dll.) akan dialihkan profesinya ke sektor
pekerjaan lain yang berbasis industri rumah tangga, semisal menekuni
bisnis penjualan telur asin, bawang goreng, dll.
MENGUBAH WAJAH DOLLY DI BULAN RAMADHAN
Lalu, setelah lebih 10 hari dideklarasikan ditutup,
adakah PSK yang mau ikut program pengentasan dan berhijrah ke jalan
hidup yang tidak dilarang agama? Ada! Meski luput dari pemberitaan media
mainstream. Sebuah UKM (Usaha Kecil Menengah) yang juga bergerak di
bidang Taman Bacaan “Kawan Kami” melakukan pendampingan kepada eks warga
Dolly (mucikari, PSK, warga terdampak) untuk belajar membuat kue kering
yang biasa disuguhkan saat lebaran. Mereka dilatih langsung oleh
industri kue kering Tri Star. Adalah pak Kartono, yang selama ini
mengupayakan Taman Bacaan, yang membantu memasarkan kue-kue buatan eks
pekerja lokalisasi itu. Kini, kue-kue tersebut dipasarkan di kantor
koperasi TBM Kawan Kami, yang berlokasi di Jl. Putat Jaya 2A No.36 Surabaya. Tak jauh dari lokalisasi Dolly dan Jarak.
Beberapa teman saya yang sudah datang ke sana
dan mencoba membeli kue buatan mereka, rasanya enak, kualitasnya bagus
dan harganya pun terjangkau. Hanya saja, karena ini masih industri
rumahan skala kecil, untuk membelinya harus pesan dulu, karena
pembuatannya tidak dalam jumlah besar. Para produsen kue itu terdiri
dari beberapa kelompok yang semuanya eks pekerja lokalisasi. Karena
pesanan cukup banyak, tidak semua pesanan itu diberikan pada satu
kelompok saja, melainkan diteruskan ke kelompok lain. Namun tak perlu
diragukan kualitas dan rasanya, sebab “ilmu” dan resep yang didapat
berasal dari sumber yang sama. Memang penampilan kue-kue itu dan
kemasannya bisa dibilang masih seadanya dan belum dikemas dengan
“gemerlap” seperti industri besar yang menjual produknya di mall.
Kendati begitu, sekelompok organisasi pemuda siap melakukan pendampingan
dan pembinaan agar bisa dikemas lebih menarik lagi hingga tak kalah
dengan buatan toko kue profesional.
Jumat lalu, saya mencoba mempromosikan kue
kering buatan warga gang Dolly itu dengan mengunggah fotonya ke laman
facebook saya dan menuliskan status yang menerangkan “inilah kue kering
lebaran karya mbak-mbak eks wanita gang Dolly yang sekarang belajar
mengubah hidup mencari rizki di jalan halal”. Tak dinyana, status dan
foto itu di-like banyak pihak dan banyak pula yang men-share status itu ke akun FB mereka. Tak jarang, mereka yang men-share juga me-mention teman-temannya di Surabaya, mengajak agar membeli kue itu. Dari komentar yang masuk di akun-akun yang men-share status tersebut, bisa dikatakan semuanya memberikan support,
mendoakan, merasa haru dengan upaya bangkit dari lembah nista dan tentu
saja mengajak membantu dengan cara membeli produk kue kering itu.
Sampai sore ini, Alhamdulillah jumlah share-nya sudah mencapai
lebih dari 400 kali, bahkan di share juga ke fans page laman FB sebuah
situs Islami. Siapa bilang makanan buatan eks PSK tak ada yang mau
membeli? Itu hanya kesan negatif yang dihembus-hembuskan untuk
melemahkan upaya bangkit dan keluar dari bisnis prostitusi.
Sebagian keuntungan dari kue itu akan digunakan untuk operasional taman baca dan membantu sekolah anak-anak disekitar gang Dolly.
Jadi, berbelanja sambil beramal. Membeli kue lebaran yang enak, yang
murah, yang bagus tampilannya, dimana saja bisa, banyak pilihan. Namun
membeli hasil karya eks pekerja lokalisasi, setidaknya membantu
mendongkrak rasa percaya diri mereka, bahwa bekerja di jalan halal,
menjual kue, juga bisa memberikan keuntungan yang membawa berkah.
Ketimbang menjual tubuh dan layanan seksual, meski hasilnya belasan
juta, toh selama bertahun-tahun hidup mereka tetap tak jadi kaya. Bahkan
ketika usia mulai menua, penyakit mulai datang, mereka tak juga punya
tabungan meski sudah melacur bertahun-tahun. Believe it or not,
meski hasilnya belasan juta per bulan, tapi tanpa adanya barokah, uang
itu menguap begitu saja. PSK tetap saja PSK, tak bisa jadi jutawan dari
menjual tubuh dan kehormatannya. Sementara dengan membuka usaha halal,
ada harapan bisnisnya akan berkembang bahkan bisa mengajak sanak saudara
ikut bekerja dan memberi penghasilan bagi orang lain.
Tak hanya itu saja, sekelompok anak muda yang
tergabung dalam Komunitas Pemuda Surabaya selama bulan Ramadhan ini
mengadakan kegiatan bertajuk “BARBAR di DOLLY”
(Bareng-bareng Ramadhan di Dolly. Setelah sebelumnya mendukung penutupan
lokalisasi Dolly dengan membuat petisi yang diserahkan kepada Menteri
Sosial, para pemuda arek-arek Suroboyo kini membuat gerakan “MENGUBAH WAJAH DOLLY”. ada beberapa program yg dilakukan :
1. DOLLY CERIA
: program pendidikan untuk terapi anak, pendidikan kesehatan dan
mengundang para profesional untuk memberikan materi kepada anak-anak yg
hidup di sekitar lokalisasi Dolly.
2. BAHAGIA BERSAMA
: ajang silaturahim antara warga Dolly dan non Dolly, lewat kegiatan
bukber, nobar (nonton bareng) semifinal dan final Pildun, sekaligus
sahur bersama warga.
3. KAMPUNG RAMADHAN : berupa bazaar yang bertujuan meningkatkan nilai perekonomian warga Dolly di bulan Ramadhan.
Bukan hanya perorangan dan organisasi pemuda, ormas keagamaan pun turut memberikan sumbangsihnya. Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Krembangan Surabaya menggelar kegiatan Pondok Ramadan untuk para PSK, mucikari dan warga terdampak pentupan lokalisasi. Kegiatannya meliputi salat tarawih, tadarus baca Al Qur’an, dan pengajian. Banyak mantan PSK yang tidak pulang ke desanya ikut kegaiatan ini. Pihak PC Muhammadiyah bertekad mengupayakan agar mereka benar-benar tobat dan kembali ke jalan yang benar. Tidak hanya pembinaan mental, PC Muhammadiyah juga ikut membantu urusan kesehatan. Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) PCM Krembangan juga melakukan pemeriksaan HIV/AIDS di Tambak Asri dan Bangunsari.
Kini, mereka membantu juga untuk pembinaan PSK, mucikari dan warga terdampak di Lokalisasi Jarak-Dolly, dimana setiap hari Jumat diberikan pembinaan di Masjid Ukhuwah Jl. Putat Jaya VIII B. Sekarang diupayakan untuk memulai usaha bersama yang diadakan PCM Krembangan, yaitu membuka usaha laundry, warung dan rombong, yang dibantu Dinas Sosial dan Lazismu. Semoga berkah Ramadhan bisa membuat mereka melupakan niat untuk kembali ke lembah nista. Siapa mau berusaha dengan sungguh-sungguh, Allah akan membukakan jalan.