KONFLIK PEMILIK WISMA DAN MUCIKARI YANG BERUJUNG MAUT
Mereka yang tinggal di daerah Surabaya–Malang dan
sudah cukup dewasa pada akhir ‘80-an mungkin masih ingat sebuah
pembunuhan super sadis yang dilakukan oleh satu keluarga terhadap satu
keluarga lainnya. Saat itu, pertengahan Agustus 1988, sebuah mobil jeep
Taft ditemukan masuk ke jurang yang sangat dalam di daerah Songgoriti,
Batu. Mobil itu terbakar, diduga kecelakaan. Polisi bersama warga
kemudian mengevakuasi mobil jeep, yang ternyata 5 penumpangnya sudah
tewas. Tapi ada banyak kejanggalan : aroma bensin meruak diseluruh
bagian dalam mobil, padahal jeep itu berbahan bakar solar. Darah
berceceran dimana-mana dari kepala para penumpang bahkan ada yang
kepalanya dibungkus tas plastik kresek. Belum lagi salah satu penumpang
masih berpakaian seragam TNI AL lengkap, yang sangat janggal jika
keluarga itu memang berniat rekreasi akhir pekan ke Batu dari Surabaya.
Akhirnya diketahui korban di dalam mobil itu
adalah Kolonel Marinir Purwanto, istrinya yang sedang hamil, 2 putranya
dan seorang keponakan perempuannya. Jenazah kemudian di bawa ke rumah
duka, sementara di rumah duka yang mengurus segala persiapan pemakaman
jenazah adalah keluarga Pak Prayitno, orang kepercayaan Pak Purwanto.
Seluruh keluarga Pak Prayit membantu proses pengurusan jenazah.
Belakangan, polisi yang dibantu POM TNI (waktu itu Polisi masih gabung
ABRI), dengan mudah tahu bahwa pelaku pembunuhan keji itu justru
keluarga Pak Prayit, orang kepercayaan Kol. Mar. Purwanto. Istri Pak
Prayit, Bu Sumiarsih, adalah dalang pembunuhan.
Sumiarsih adalah kembang desa yang cantik
jelita di desanya Jombang. Dia anak pertama dari keluarga yang sangat
miskin, sekolahnya SD tak tamat, asal bisa baca tulis. Bertolak dari
keinginan melawan kemiskinan, ia nekad merantau ke Jakarta di
pertengahan tahun ’60-an ketika usianya belum lagi 20 tahun. Di Jakarta
ia kemudian mulai jadi hostess, sampai akhirnya laris manis disewa pejabat, dibooking
menemani ke luar daerah. Sejak itu Sumiarsih kaya, bisa mengirim uang
ke kampung, membangunkan rumah orang tuanya dan menyekolahkan kelima
adiknya juga anak lelakinya, Sugeng, buah pernikahan di usia 15 tahun.
Jelang pertengahan tahun ’70-an Sumiarsih pulang kampung, kemudian
seorang duda beranak 2 menikahinya, dialah Prayitno.
Bersama Prayit, tahun 1975 Sumiarsih kemudian
hijrah ke Surabaya, berbekal tabungan yang masih banyak ia membeli salah
satu rumah di kawasan gang Dolly dan memulai profesi mucikari. Dia
merekrut gadis-gadis miskin dari desa untuk dijadikan PSK di wisma
miliknya. Setiap penghasilan PSK yang 70% untuk Sumiarsih, yang 30%
untuk PSK itu. Namun yang benar-benar masuk kantong Sumiarsih hanya 50%
saja, selebihnya untuk biaya makan PSK dll. Wisma milik Sumiarsih segera
kondang di kawasan Dolly karena mempekerjakan PSK yang masih muda usia
dan cantik. Pelanggannya termasuk kalangan elite, salah satunya Kol.
Mar. Purwanto yang jadi pelanggan wismanya. Lama-lama, Purwanto tertarik
untuk mendirikan wisma. Gayung bersambut dengan keinginan Sumiarsih
yang memang ingin memperluas wisma miliknya namun terkendala lahan dan
modal. Maka, mulailah Sumiarsih-Prayit berkongsi dengan Purwanto.
Tahun 1980, wisma milik Purwanto dilaunching.
Kesepakatannya : tiap bulan Sumiarsih wajib menyetorkan Rp. 22 juta
kepada Purwanto, sebelumnya malah Purwanto minta bagian Rp. 25 juta
perbulan. Jumlah itu harus disetor setiap tanggal 1, kalau telat setor
maka akan ada denda dan bunga. Sekedar info, kalau ingin membandingkan
“value” Rp. 22 juta waktu itu, menurut Wikipedia, tahun segitu kurs
dolar = Rp. 626,-/USD. Jadi, nilai itu setara US $ 35.144,- atau kalau
dihitung dengan kurs saat ini (Rp. 11.000,00/USD) setara dengan Rp.
386,5 juta rupiah! Bayangkan, anda harus jadi eksekutif top dari
perusahaan bonafid untuk bisa mendapat gaji hampir 400 juta rupiah
sebulan. Purwanto tinggal duduk manis, setoran sebanyak itu mengalir
tiap bulan.
Setiap tahun, Purwanto menaikkan setoran sejuta
rupiah perbulannya. Tak peduli wisma sedang sepi atau ramai, Sumiarsih
dan Prayit tetap harus setor sejumlah itu tidak boleh telat. Padahal,
kadangkala kalau ada razia, kunjungan ke wisma sepi selama berhari-hari.
Belum lagi para PSK asuhannya kerap berhutang pada Sumiarsih untuk
mengirimi uang keluarganya di kampung. Alhasil, Sumiarsih kerap gagal
memenuhi setoran pada Purwanto dan itu dianggap hutang beserta bunganya
yang mencekik. Purwanto kerap menunjukkan arogansinya, mengancam dengan
senjata api miliknya. Maklum, jaman itu dengan seragam militernya
Purwanto bisa menunjukkan kekuasaan dan bisnis prostitusi sendiri selalu
butuh backing kuat.
Sampai akhirnya, delapan tahun kemudian,
setoran mencapai Rp. 30 juta/bulan. Sementara hutang Sumiarsih sudah
bertumpuk plus bunganya. Purwanto makin sering berkata kasar dan menekan
pasutri itu, tak mau peduli pelanggan di wisma tak selalu ramai.
Meluaplah kekesalan dan kemarahan Sumiarsih, sampai ia mengajak suaminya
untuk membunuh Purwanto. Semula Prayit menolak, namun setelah dipikir
tak ada jalan lain, Prayit pun setuju. Karena Purwanto orang “kuat” dan
punya senjata, mereka melibatkan seluruh anggota keluarga untuk
mengeksekusi. Prayit mengajak Daim (keponakannya yang ikut bekerja
mengelola wisma) dan Nano (anaknya dari pernikahan dengan istri
pertama). Sumiarsih mengajak serta Sungeng (anaknya dari pernikahan
pertama) dan Adi (menantu, suami dari Wati, anak Sumiarsih dari lelaki
yang menjadikannya istri simpanan ketika masih menjadi hostess
di Jakarta). Daim, Nano, Sugeng dan Adi semuanya masih berusia
pertengahan 20-an tahun. Adi bahkan seorang perwira polisi, yang belum
lama menikah dengan Wati. Sumiarsih yang menyiapkan skenario dan membagi
tugas masing-masing keluarganya.
Di hari yang ditetapkan, pagi-pagi mereka semua
bertamu ke rumah Purwanto, naik mobil yang disopiri Daim. Semua
dibagikan alu besi sebagai alat pemukul. Purwanto yang tak curiga,
menerima tamunya di ruang tamu. Sesuai skenario, ada yang bertugas
sebagai eksekutor memukul kepala Purwanto. Karena sudah diduga Purwanto
akan melawan – mengingat postur tubuhnya yang besar – sudah disiapkan
siapa yang akan membantu mengeroyok dan akhirnya menyeret Purwanto
setelah ia terkapar. Kedua anak lelaki Purwanto yang mendengari
ribut-ribut, mendatangi garasi rumah tempat Prayit menyeret Purwanto.
Kedua anak itupun dieksekusi bergantian. Istri Purwanto dan keponakan
perempuannya menyusul ke garasi diiringi Sumiarsih dan Prayit, langsung
disambut eksekutor, Sumiarsih dan Prayit membantu dari belakang.
Akhirnya, setelah seluruh keluarga dihabisi, mayat
itu didudukkan di mobil jeep Taft, diatur sedemikian rupa. Mobil yang
dinaiki Daim ikut menyusul di belakangnya. Mereka membawa korban ke
daerah Songgoriti yang jalanannya memang berbahaya dan ada jurang di
pinggirnya, agar terlihat seperti laka lantas biasa. Mobil Taft
dihentikan persis di tubir jurang dengan moncong menghadap ke jurang,
rem tangan dilepas. Sebelumya mobil dan jenazah didalamnya sudah disiram
bensin. Lalu Adi – sang perwira muda polisi – menyiapkan kayu yang
dililit kain yang sudah dibasahi bensin untuk dijadikan obor. Adi dan
Sugeng mendorong mobil ke jurang sambil melempar obor ke dalamnya. Lalu,
bertiga mereka kembali ke Surabaya naik mobil yang dikemudikan Daim.
Sementara Prayit sudah menyiapkan skenario baru, rumah Purwanto sudah
dibersihkan dan ditata lagi hingga tak tampak bekas-bekas eksekusi.
Kalau mobil itu ditemukan, skenarionya keluarga Purwanto hendak berlibur
ke Batu dan kecelakaan. Namun sayang, tak ada kejahatan yang sempurna.
Adi, sang menantu malang itu akhirnya disidang
lebih dulu dibanding Bu Sumiarsih dan keluarganya. Mahkamah Militer
menjatuhkan vonis hukuman mati bagi Adi pada November tahun itu juga.
Karena masih menunggu proses grasi dari presiden – meski akhirnya
ditolak – Adi baru dieksekusi di hadapan juru tembak jelang akhir tahun
1992, empat tahun setelah vonis dijatuhkan. Sedangkan Daim dan Nano
kemudian divonis belasan tahun penjara. Adapun Bu Sumiarsih, Pak Prayit
dan anak Sumiarsih, Sugeng, divonis mati. Karena lamanya proses banding
sampai grasi, akhirnya Pak Prayit meninggal di RS karena penyakit yang
menggerogotinya, sebelum ia sempat dieksekusi mati. Sedangkan Bu
Sumiarsih dan anaknya Sugeng, baru dieksekusi mati 20 tahun setelah
peristiwa pembunuhan itu berlalu, pada Juli 2008.
Itulah “legenda” konflik pemilik wisma
(investor) dengan pengelola/mucikari yang berakhir dengan pertumpahan
darah. Semuanya berawal dari uang yang mengalir dari bisnis “lendir”.
Yang satu mantan pelaku bisnis esek-esek yang status sosialnya naik
pesat setelah jadi kaya dalam sekejap, tanpa modal apapun dan tanpa
pendidikan, sehingga merasa hanya itu yang bisa dilakukan untuk
mendapatkan uang. Yang satu lagi seorang militer yang punya uang dan
kuasa, kemudian menyalahgunakan kekuasaannya untuk berivestasi sekaligus
mengamankan bisnis terlarang. Purwanto mungkin hanya salah satu saja
dari aparat yang menyalahgunakan jabatannya untuk menjadi backing bisnis
haram. Apalagi di masa Orde Baru, militer masih sangat berkuasa dan
disegani. Peran Purwanto baru terungkap setelah ia dan keluarganya
dibantai dengan sangat sadis. Keduanya tak ada yang menang, semua jadi
abu…
=====================================================
PEMILIHAN KETUA RT BAGAIKAN PILKADA
Di penghujung September 2010, terjadi keributan saat dilakukan pemilihan Ketua RW di lokalisasi Dolly dan Jarak, Kelurahan
Putatjaya. Keributan itu dipicu terjadinya selisih satu suara antara
jumlah kertas suara dengan jumlah pemilih pada saat penghitungan suara.
Kandidat yang kalah pun mempersoalkan selisih satu surat suara itu,
meski sebenarnya tak mempengaruhi hasil akhir. Untunglah satu peleton
personil dari kepolisian telah disiagakan untuk mengamankan pemilihan
Ketua RW di 4 TPS yang ada di sekitar Dolly-Jarak, yang konon
penyelenggaraannya menelan biaya puluhan juta rupiah. Lho, itu pemilihan
Ketua RW apa Pilkada Walikota sih? Pemilihan Ketua RT/RW biasanya cukup
musyawarah di balai RW?
Begitulah, di daerah lain umumnya Ketua
RT/RW bukanlah jabatan yang diperebutkan, cara pemilihannya pun sering
kali informal, cukup dilakukan musyawarah untuk mencapai mufakat siapa
yang bakal ditunjuk jadi Ketua RT/RW. Bahkan tak jarang ada yang
terpaksa ditunjuk jadi Ketua RT/RW abadi, karena dianggap mau bekerja
sukarela mengurus berbagai kepentingan warga di lingkungannya. Ketua
RT/RW bukanlah jabatan yang menjanjikan gaji dan tunjangan yang
menggiurkan. Meski sekarang ada daerah yang memberikan sekedar honor
kepada Ketua RT/RW, namun jumlahnya tak seberapa. Karena itu, menjadi
Ketua RT/RW umumnya dilandasi keikhlasan, bukan karena berburu
penghasilan besar.
Namun tidak demikian dengan posisi Ketua
RT/RW di kawasan Dolly-Jarak, Surabaya. Sejak dulu menjadi Ketua RT/RW
disitu adalah “jabatan basah” yang bisa mendatangkan uang tak sedikit
tiap malamnya. Harian Jawa Pos di tahun 2000an pernah menulis liputan
khusus tentang hal ini. Saya lupa berapa nominal uang yang bisa diraup
dalam sebulan, yang jelas sudah cukup menggiurkan saat itu. Itu
sebabnya, pemilihan Ketua RT/RW disana tak jarang harus mengeluarkan
uang dalam jumlah besar, sebab besar pula yang akan didapat. Informasi
pastinya tentu tak ada yang mau membeberkan secara jelas. Ada yang
menyebut setiap wisma dan karaoke menyetor Rp. 200.000,00/malam, kalikan
saja dengan jumlah wisma dan rumah karaoke yang ada disana. Ada pula
yang menyebut ada uang tarikan sebesar Rp. 10.000,00 untuk setiap tamu
yang akan memakai layanan PSK. Padahal ada berapa ribu tamu dalam
semalam, jika seorang PSK minimal bisa melayani 5-7 pelanggan, sementara
di Dolly ada sekitar 1000 lebih PSK. Bahkan kabarnya, ada “petugas”
khusus yang dibentuk oleh RW untuk menarik uang tersebut.
Setoran/tarikan itu atas nama “biaya keamanan”.
Tak hanya itu saja, ada pula tarikan kepada
para pemilik wisma/mucikari untuk sejumlah pengurusan ini-itu, semisal
ijin usaha yang besarnya mencapai Rp. 2 juta/wisma (standar) pada saat
awal mendirikan wisma. Kalau sudah punya ijin, selesai urusan? Tidak
juga, sebab tiap tahun ada biaya ratusan ribu yang harus disetor untuk
biaya pemutihan usaha prostitusi, jika usahanya ingin tetap langgeng.
Kalau ada pengalihan pengelolaan ke mucikari lain, maka mucikari baru
juga harus membayar biaya alih kelola. Belum lagi tarikan lain-lain
berupa pengumuman yang ditempel, dll. Maka tak heran jika mucikari dan
pemilik wisma memungut 60% dari penghasilan PSK setiap kali melayani
tamu. Jika setiap PSK rata-rata semalam minimal melayani 5 tamu dengan
tarif masing-masing Rp. 200.000,00 sekali “pakai”, setiap wisma
mempekerjakan 20 PSK, bisa dihitung 60% x Rp. 200.000,00 x 5 tamu x 20
PSK = Rp. 12 juta semalam. Sementara per PSK hanya menerima 30% saja,
Rp. 60.000,00 x 5 tamu = Rp. 300.000,00 yang masih harus dikeluarkan
untuk biaya cuci sprei, baju, perawatan tubuh, pembeli make up,
jamu-jamuan penjaga kebugaran raga, dll. Yang 10% untuk membayar makelar
yang menggiring tamu untuk mampir ke wisma tersebut.
Bisnis prostitusi memang selalu identik dengan jasa keamanan dan backing. Kalau dulu aparat militer kerap “nyambi” jadi backing
rumah bordil di Dolly, kini uang keamanan bisa mengalir sampai jauh,
sampai ke perangkat terkecil organisasi masyarakat. Memang, uang yang
mengalir di Dolly dalam semalam tidak sedikit, setidaknya semilyar
rupiah per malam untuk kondisi yang tidak ramai. Asumsikan saja kalau
tiap PSK mendapat tamu 5 orang, sementara di Dolly ada 1200-an PSK, maka
ada 6000-an lelaki hidung belang yang datang. Kalau mereka membayar
tarif PSK rata-rata Rp. 200.000,00 per jam, maka semalam akan terkumpul
Rp. 1,2 milyar hanya dari jualan tubuh saja. Itu kalau diasumsikan tarif
PSK semua Rp. 200 ribuan, padahal ada yang bertarif 300 – 400 ribu.
Belum lagi laba hasil penjualan miras yang konon semalam sebuah wisma
bisa menjual habis 3 krat miras.
Belum lagi tarif untuk rumah karaoke,
parkir mobil/motor dan jasa keamanan lain yang mungkin harus dikeluarkan
tamu yang datang. Kondisi 5 pelanggan per PSK itu hanya untuk hari-hari
sepi. Untuk weekend bisa 10 – 13 tamu per PSK. Maka tak heran
jika semalam bisa 2-3 milyar mengalir ke kantong-kantong para pebisnis
di sekitar. Dan…para PSK hanyalah ujung tombak yang sayangnya justru
menerima bagian paling kecil dari bisnis kotor itu. Padahal, para PSK
itulah yang menanggung resiko lelah lahir batin, tertular penyakit
kelamin, hamil, dll. Bukankah kalau pelanggan tak mau pakai karet
pengaman mereka juga tak bisa menolak karena sudah dibayar di muka? Ini hidup wanita si kupu-kupu malam… Dosakah yang dia kerjakan, sucikah mereka yang datang…
Catatan Ira Oemar