Amien Rais tengah melakukan
berbagai siasat “akal-akalan” untuk mendulang perolehan suara
Prabowo-Hatta. Prof ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada ini,
melontarkan isu dengan mengunakan bahasa yang memuat sentimen
keagamaan. Sentimen dalam masyarakat komunal dan primordial ini diyakini
efektif untuk memancing tindakan provokatif massa untuk mendukung
kandidat presiden Prabowo Hatta.
Isu sentimen dalam sejarah
politik di Indonesia masih terbukti efektif untuk memobilisasi massa.
Bahkan bisa mendorong perilaku yang merusak (destruktif),
peristiwa-peristiwa kerusuhan di berbagai daerah ‘sumbu pendek’ mudah
terprovokasi oleh isu-isu sensitif.
Deretan nama-nama operasi
yang pernah melintas daerah-daerah bersumbu pendek—mudah terbakar secara
psikologis, seperti “operasi naga hijau” , “kerusuhan 98” , “ Ninja”
dan berbagai “operasi sandi” berawal dari daerah-daerah pinggiran,
lalu menuju ke pusat kota. Sehingga penggunaan bahasa , kata, frasa
kalimat yang mudah membangkitkan emosi massa dianggap tidak produktif
bagi proses-proses pemilihan langsung presiden (Pilpres).
Amien, pendukung utama Prabowo
ini melempar isu-isu keagamaan sebagai upaya untuk membidik pemilih
muslim—yang masuk dalam kategori swing voter supaya mendukung
Prabowo-Hatta. Atau setidaknya membangkitkan emosi massa islam seolah
ada “unsur agama” yang dilukai. Atau pesan yang dibangun adalah
mendukung Prabowo sebagai “ibadah” atau sebagai “tindakan suci”.
Sebagai pakar ilmu politik,
Amien Rais memahami betul suasana emosi pemilih berdasarkan demografi
atau psikografi pemilih muslim di Indonesia. Karakteristik pemilih
Islam belum bergeser, terutama massa pendukung yang berbasis pada
paham-paham mainstream ormas terbesar di Indoensia (NU dan
Muhammadiyah). Watak massa tetap mudah terprovokasi oleh isu –isu
berbasis keagamaan. Sehingga istilah-istilah herois Islam seperti
‘Perang Badar’ dilempar dengan tujuan khusus yakni menggulirkan isu
keagamaan (SARA) secara sistematis. Di luar paham maintsrteam terdapat
ormas yang berpaham radikal.
Isu Jokowi beragama Kristen,
nikah secara Kristen juga beredar di medsos dan media massa . Seputar
masalah gelar haji Jokowi juga diperbincangkan dalam dunia maya, dan
berbagai tudingan yang menyangkut keagamaan kandidat Jokowi. Sampai
terkesan kandidat koalisi PDI-P terpaksa menjawab publik dengan
kemampuannya menjadi imam shalat di berbagai kesempatan melayani
permintaan (desakan) pimpinan keagamaan. Jokowi menjawab dengan praktek
shalat sebagai imam di Sidang Tanwir Muhammadiyah. Singkat kata, isu
yang mempersoalkan ranah personal-privasi Jokowi, seperti keagamaan,
ibadah dimanaaftkan untuk kepentinagn kompetisi Pilpres 2014.
Pilpres 9 Juli mendatang dalam potret Amien Rais, seperti baratuyudha politik. Baratayuda adalah istilah yang popular dalam budaya Jawa untuk menyebut perang besar di Kuruseta antara Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.
Amien Rais menyebut konstelasi Pilpres mirip dengan baratayuda
politik. Dalam pidato politik di Masjid al Azhar Kebayoran Baru belum
lama ini Amien menyatakan bahwa Pilpres pada 9 Juli mendatang seperti
baratayuda politik. Memang Amien Rais sebagai pendukung utama Prabowo
tentu akan all out (habis-habisan) untuk membela Prabowo.
Posisi deklarator Ciganjur, yang bermimpi Prabowo akan
terpilih sebagai presiden 9 Juli 2014 mendatang, ini membelanya.
Amien bahkan memuji sosok Prabowo yang resmi diusung 6 parpol
koalisi, yakni Gerindra, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Golkar. Menurutnya,
wajah Prabowo mirip Bung Karno. Gaya pidato Prabowo yang berapi-api pun
seperti Bung Karno. Pujian terhadap Prabowo bisa saja dipahami
sebagai bagian dari upaya membangun personal branding Prabowo. Seolah Prabowo mirip dengan Bung Karno.
Istilah baratayuda dan perang
badar digunakan unuk menilai konstelasi politik saat ini. Amien pun
belum menjelaskan dengan detail tentang Korawa dan Pandawa. Sama halnya,
dengan frasa perang badar Amien tidak menjelaskan nabi, pengikut dan
orang-orang yang mesti dibunuh sebagai musuh. Frasa ‘perang badar’
bagian dari langkah provokatif yang sedang ditempuh oleh Amien Rais
untuk meyakinkan publik bahwa persaingan Jokowi-JK dengan Prabowo Hatta
mirip sebuah perang suci Perang Badar.
Dalam kamus sejarah, Perang
Badar merupakan pertempuran besar pertama umat Islam bersama Nabi
Muhammad SAW melawan musuh-musuhnya pada 17 Maret 624 Masehi atau 17
Ramadan 2 Hijriah. Pasukan kecil kaum muslim yang berjumlah 313 orang
menghadapi pasukan Quraisy dari Mekah yang jumlahnya 1.000 orang.
Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan muslim bisa
menghancurkan barisan Quraisy.
Jadi, analogi Prof Amien Rais
tentang konstelasi politik dengan menyebut perang badar jelas tidak
proporsional –tidak tepat dan sangat sentimentil dengan sengaja
untuk memancing suasana konflik—kontra produktif dengan prosesi
demokrasi. Karena proses-proses demokrasi justru adu dan debat ide,
gagasan dan konseps-konsep pembangunan Indonesia yang dibutuhkan.
Sebaliknya, isu negatif kampanye hitam dan yang bermuatan SARA hanya
kan memancing reaksi massa.
Skenario Amein Rais dengan
menggulirkan isu –isu sentiment keagamaan sebagai langkah awal untuk
memastikan jumlah massa mengambang atau massa militan yang bisa
digerakan oleh hasutan retorika politik. Memang, diakui atau tidak umat
Islam sebagai umat mayoritas secara kuantitatif tetap akan menjadi
magnet besar bagi proses politik dalam sistim pemilu electoral, pemilu
langsung. Tarik menarik umat dari kedua kandidat presiden akan terus
berlangsung hingga Pilpres usai.
Janji Amien bahwa 85 persen
warga Muhammadiyah akan memilih Prabowo bukan lah janji yang mudah
dicapai. Amien akan mendapat tantangan yang tidak mudah melakukan
konsolidasi terhadap tokoh atau pimpinan Muhammadiyah. Dalam tradisi
Muhamamdiyah tidak lagi bisa mengarahkan umat ke salah satu kandidat.
Tidak ada tradisi “taklid buta” dalam Muhammdiyah. Bagaimana Prof ilmu
politik ini bisa mencapai angka target 85 persen, sementara sikap
Muhammadiyah adalah netral terhadap kedua kandidat? Politisi
Muhammadiyah menyebebar ke partai-partai politik, bukan hanya PAN?
Jadi, benar apa yang dikatakan klaim Amien ini dianggap terlalu
ekstrem. Amien sedang melangkah ke titik ekstrim, untuk mendokrak
Prabowo, bukan?
Catatan qomaruzaman, tempokini.com