Insya Allah, sore ini Kementrian Agama akan
menggelar sidang istbat untuk menentukan awal bulan Ramadhan 1435 H.
Tapi sidang istbat kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya,
karena Menteri Agama yang baru, Lukman Hakim Saifuddin, memutuskan bahwa
kali ini jalannya sidang istbat tidak disiarkan langsung oleh media televisi. Namun hasil akhirnya tetap akan diumumkan dan disampaikan langsung oleh Menteri Agama.
Keputusan bijak ini layak diapresiasi. Sebab, terkadang
jalannya sidang istbat penetuan awal dan akhir Ramadhan dipenuhi adu
argumentasi dan perdebatan yang cukup panas, bahkan ada
yang cara penyampaiannya terkesan mengejek metode yang dilakukan pihak
lain. Tak heran jika kemudian ada yang beranggapan sidang istbat bak
mengadili yang menggunakan metode hisab.
Selain tak elok
rasanya menonton para ahli hisab dan rukyatul hilal saling berdebat,
juga akan membingungkan masyarakat awam. Ummat Islam yang paham betul
soal dalil dan metode penentuan awal bulan dibanding yang tidak (awam)
jumlahnya lebih banyak yang awam. Karena itu, perdebatan dan saling
bantah malah akan membuat ummat di akar rumput makin bingung. Bahkan, di
tengah panasnya suhu politik di tanah air jelang Pilpres, bisa jadi
perbedaan penentuan awal Ramadhan dijadikan issu untuk memecah belah
kerukunan masyarakat oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab dan
ingin mengail di air keruh.
Jaman dulu, proses jalannya sidang istbat tak pernah disiarkan langsung, bahkan oleh
TVRI yang jadi corong Pemerintah sekalipun. Masyarakat hanya tinggal
menunggu saja pidato Menteri Agama, apakah besok sudah mulai masuk bulan
Ramadhan atau tidak. Cara itu lebih kondusif, sebab tidak berpotensi
memecah belah kerukunan ummat Islam. Toh pada akhirnya negara
(Pemerintah) tidak dapat memaksakan keputusannya kepada warganya dalam
hal menjalankan ibadah. Semuanya akan kembali terpulang pada keyakinan
masing-masing, tanpa harus ada stempel “yang ini ikut Pemerintah” dan “yang itu tidak ikut Pemerintah”.
Sebenarnya, tanpa disadari selama setahun kita
sesungguhnya sedang menggunakan metode hisab dalam penentuan awal bulan
Hijriyah. Gak percaya?! Mari kita telaah. Kalender yang beredar di
masyarakat kita pada umumnya adalah kalender Masehi, yang dimulai pada
tanggal 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember. Kalender itu
biasanya sudah bisa didapatkan di toko-toko sekitar 2 bulan sebelum
tahun baru. Di dalamnya sudah tercetak tanggal-tanggal “merah” hari
libur nasional, termasuk tanggal 1 Muharram (tahun baru Hijriyah), 12
Rabiul Awwal (Maulid Nabi), 27 Rajab (Isra’ Mi’raj), 1 Syawal (Idul
Fitri), 10 Dzulhijjah (Idul Adha), dll. Nah, apa dasar penentuan
tanggal-tanggal itu untuk penetapan hari libur nasional? Tentu saja
dengan metode HISAB.
Kalau kita selalu menggunakan metode RUKYATUL
HILAL setiap bulan, berarti setiap jelang awal bulan kita harus
mengamati hilal dulu. Baru jika sudah disepakati, ijma’ bahwa telah
terjadi wujudul hilal, besoknya kalender baru dibuat hanya untuk satu
bulan itu saja. Sebab, untuk penentuan tanggal 1 bulan berikutnya, masih
harus mengamati hilal lagi.
Hal ini sebenarnya analog dengan penetapan
jadwal waktu sholat abadi sepanjang tahun yang kerap tercantum di
kalender, atau jadwal imsakiyah Ramadhan yang sudah terbit bahkan
sebulan sebelum Ramadhan. Dulu, ketika belum ada jam, ummat Islam
menentukan masuknya waktu sholat dengan melihat matahari dan
membandingkan tinggi bayangan terhadap benda aslinya. Ini mungkin tidak
sulit di daerah gurun pasir yang mataharinya nyaris selalu bersinar
sepanjang tahun. Kini, berbekal jam tangan atau bahkan jam digital di
ponsel, kita sudah tahu kapan masuk waktu sholat 5 waktu, meski mendung
sedang gelap dan matahari tak terlihat sekalipun. Kenapa jadwal waktu
sholat sudah bisa dibuat dalam setahun sekaligus? Itu karena berpatokan
pada perhitungan perputaran bumi mengelilingi matahari pada orbitalnya.
Jadi bisa ditentukan kira-kira jam berapa matahari mulai terbit di suatu
kota, kapan matahari tepat di tengah, kapan mulai lingsir, dst. Begitu
juga dengan berpatokan pada perhitungan bulan mengelilingi bumi pada
porosnya, bisa ditentukan kapan kira-kira posisi bulan baru mulai
terlihat.
AWAL MULA ADANYA 2 HARI LIBUR IDUL FITRI
Beberapa hari lalu, sore after office hour,
iseng-iseng saya diskusi santai dengan teman-teman kantor soal rencana
sidang istbat tahun ini yang tidak akan disiarkan langsung, hanya
diumumkan hasilnya. Kami lalu flashback ke belakang, beberapa
tahun terakhir ini dimana penentuan Idul Fitri kerap kali berbeda. Lebih
mundur lagi ke belasan tahun lalu, dimana permulaan Ramadhan dan Idul
Fitri yang selalu bersamaan (kecuali mungkin kelompok kecil yang
memiliki paham tersendiri).
Kembali ke penentuan hari libur nasional di
kalender, kenapa khusus untuk IDUL FITRI ada 2 hari libur? Saya awalnya
tak berpikir macam-macam soal ini. Sejak dulu saya hanya baca keterangan
tanggal merah di kalender biasanya tertulis “Idul Fitri hari pertama” dan “Idul Fitri hari kedua”.
Saya pikir itu hanya sekedar memberi kesempatan bagi ummat Islam untuk
merayakan hari lebaran lebih leluasa. Ternyata tidak begitu kata teman
saya.
Sejak dulu, sebenarnya perbedaan penetapan Idul
Fitri antara yang menggunakan metode hisab dan rukyatul hilal, sudah
ada. Untuk mengakomodir hal itulah, maka para founding father negeri ini akhirnya bersepakat menetapkan 2 hari libur resmi
agar ummat Islam – baik yang berpegang pada metode hisab maupun rukyah –
tetap bisa melaksanakan sholat Ied, karena kedua hari itu ditetapkan
sebagai libur nasional. Jaman dulu kan tidak ada “cuti bersama”. Jadi
kalaupun seseorang belum memiliki hak cuti, negara sudah menjadikan
kedua hari itu sebagai hari libur, sehingga bisa sholat Ied dan
bersilaturahmi dengan keluarga. Konon – kata teman saya itu – ide ini
awalnya datang dari Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim
Amrullah). Ide untuk mengakomodir perbedaan penetapan Idul Fitri menjadi
2 hari libur nasional. Jadi, kita patut berterimakasih pada Buya HAMKA
dan semua yang dulu menyetujui penetapan 2 hari libur nasional. At least, kita dapat 2 hari libur ekstra tanpa harus mengurangi hak cuti tahunan.
=================================================
Perbedaan penetapan Idul Fitri yang paling
menghebohkan yang saya tahu ya 3 tahun lalu, tepatnya Idul Fitri 2011.
Saat itu saya sedang beribadah umroh dan sedang berada di Mekkah. Malam
hari, masuk beberapa SMS dari teman-teman yang isinya senada :
menanyakan apakah di Mekah besok (Selasa, 30 Agustus 2011) sudah Idul
Fitri. Saya heran juga, kenapa semalam ini teman-teman masih bertanya?
Saya jawab “iya, kami besok insya Allah akan sholat Ied di Masjidil
Haram”. Sebagian teman menjawab bahwa di Indonesia masih ‘kacau’.
Saya kurang paham apa maksudnya. Karena sudah terlalu malam dan masih
sibuk berkemas untuk pulang esok harinya, saya malas bertanya lebih
jauh.
Selasa siang, kami meninggalkan Mekah menuju
Jeddah dan malam harinya kami pulang ke Indonesia. Tiba di bandara
Soetta Rabu sekitar jam 10 pagi, katanya mayoritas masyarakat Muslim
Indonesia baru sholat Ied tadi pagi. Malam harinya, saya menonton siaran
TV, hampir semua memberitakan kisruhnya penetapan Idul Fitri. Bahkan
sebuah stasiun TV yang menyuguhkan acara bincang-bincang santai berbalut
candaan, menyindir Indonesia yang hari itu jadi 1 dari hanya 4 negara
di dunia yang merayakan Idul Fitri belakangan. Bahkan kaum Muslim
Amerika Serikat dan WNI Muslim yang tinggal di USA, yang notabene
selisih sekitar 12 jam-an dari Indonesia, juga sudah merayakan Idul
Fitri kemarinnya. Begitupun kaum Muslim di Malaysia, Singapura dan
Brunei Daarussalaam yang terletak satu gugusan dengan Indonesia.
Belakangan, saya dengar cerita dari teman-teman, katanya malam itu putusan sidang istbat tak segera bisa diumumkan.
Akibat perdebatan berkepanjangan sampai lewat jam 9 malam untuk
penentuan 1 Syawal di tahun 2011, akhirnya Indonesia malah jadi negara
“aneh” dimana hampir seluruh ummat Islam sedunia saat itu berlebaran
Idul Fitri pada hari Selasa, 30 Agustus 2011, sedangkan ummat Islam
Indonesia sebagian besar, terpaksa mengikuti Pemerintah dan baru
berlebaran pada Rabu, 31 Agustus 2011. Dari situlah kemudian muncul joke
: “THR = Ternyata Hari Rabu”. Sebab sebenarnya hampir semua orang sudah
bersiap berlebaran hari Selasa, karena tanggal merah di kalender sudah
dibuat tanggal 30 dan 31. Sehingga semua punya persepsi : lebaran hari
pertama jatuh pada tanggal 30, hari Selasa.
Akibat molornya
keputusan sidang istbat, maka mereka yang akan berlebaran hari Rabu pun
sudah terlalu malam untuk sholat tarawih. Kabarnya, beberapa masjid
penuh dengan jamaah yang bingung menanti : antara menanti untuk segera
bertakbir atau memulai sholat taraweh. Akhirnya banyak juga yang tidak
taraweh berjamaah malam itu. Banyak cerita lucu lainnya yang saya
dengar dari tetangga. Ibu Wawan yang tiap lebaran pulang ke Bandung
cerita : keluarga ortunya tiap lebaran selalu membuat tungku besar untuk
merebus ketupat dan memasak opor bagi semua anak dan cucu yang
berkumpul di hari lebaran. Karena malam itu semua terpaku di depan TV
menunggu pengumuman sidang istbat, semua makanan itu lupa dipanasi,
akibatnya esok harinya basi. Mau ke pasar untuk membeli ayam lagi sudah
tak mungkin, pasar tradisional sudah tutup. Akhirnya, mereka ke
supermarket besar dan ternyata disana banyak yang antri membeli ayam.
Meski bukan dengan alasan basi, rata-rata ketupat dan opor ayam terpaksa
dimakan untuk sahur di hari Selasa. Untuk lebaran di hari Rabu,
terpaksa masak lagi. Dan masih banyak lagi cerita lucu akibat tak
segeranya hasil sidang istbat diumumkan, sehingga ummat Islam pun tak
bisa segera mengambil sikap.
Semoga saja kejadian seperti Idul Fitri 2011
tak terulang lagi. Tahun 2012 dan 2013 kemarin, mayoritas ummat Islam
juga berbeda dalam permulaan Ramadhan, namun bisa bersamaan saat
merayakan Idul Fitri. Apapun keputusan sidang istbat nanti malam, yang
rencananya akan disampaikan Menteri Agama jam 19.30 WIB, saya ucapkan MARHABAN YAA RAMADHAN MUBARRAK…
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi sahabat Kompasianer dan pembaca
yang menjalankannya, baik yang akan memulai puasa pada esok hari Sabtu
maupun mungkin ada yang memulai puasa hari Minggu, jika hilal belum
terlihat. Mohon dimaafkan segala salah dan khilaf saya selama
berinteraksi baik di dunia maya maupun saat kopdar. Semoga kita semua
diberikan kesempatan, kesehatan, kekuatan dan ketentraman dalam
menjalankan ibadah puasa. Ada hikmah yang bisa diambil dimana Ramadhan
tahun ini kita melaksanakan Pilpres, semoga bisa berlangsung dengan aman
dan damai. Amiiin yaa Robbal ‘alamiiin…
Catatan Ira Oemar