Infotainment memang hanya mengenal 1 kredo : rating! Karena itu tak heran jika kadang tak mengenal belas kasihan. Pesohor yang sedang berduka karena keluarga terkasih
meninggal dunia, tetap diburu untuk wawancara. Anak seleb kecelakaan,
pewarta infotainment agar berjaga 24 jam di lobby rumah sakit, bila
perlu di depan ruang perawatan. Selebriti yang rumah tangganya sedang
guncang, tak diberi ruang untuk merenung sendiri, sebab kamera dan microphone
infotainment akan terus merekam, mencari tahu dan menelisik ada apa di
balik itu. Pipik Dian Irawati (istri mendiang Uje), Maia Estianti dan
Ayu Tingting hanyalah segelintir contoh betapa infotainment seolah
menguntit sampai ke kamar tidur mereka.
Info + tainment, paduan informasi dan entertainment, meski terkadang nilai informasinya hanya 10% - 20% saja, selebihnya hanyalah entertain. Jupiter
Fortissimo yang menjadi narasumber di acara ILC pekan ini, mengeluhkan
betapa infotainment telah salah mengemas pengakuannya soal trauma masa
kecilnya dulu ketika mengalami sexual abuse dari seorang “opa”
yang dipercaya untuk mengasuhnya. Niat baik Jupiter membuka sisi kelam
masa kanak-kanaknya tak lain untuk mengingatkan para ortu agar tak mudah
mempercayakan anak mereka ke tangan orang lain, juga untuk memotivasi
orang yang dimasa kecilnya pernah menjadi korban paedofilia,
agar bisa bangkit, melawan trauma dan keluar dari stigma bahwa korban
paedofili akan jadi pelaku pedofili juga. Namun apa yang disajikan
infotainment? Justru sisi gosip sensasional yang lebih mengemuka.
Akhirnya, pesan positif yang hendak disampaikan Jupiter pun hilang.
Infotainment lebih menitikberatkan pada meng-entertain
rasa ingin tahu penonton, menghibur masyarakat yang haus akan issu
sensasional meski hanya berupa kasak-kusuk berdasar “katanya”. Kerap
infotainment jadi “senjata makan tuan” bagi presenternya, seperti ketika
Cut Tari yang biasa jadi biang gosip – penyampai berita gosip selebriti
– harus merasakan perihnya digunjing media infotainment, sekitar 3 tahun lalu ketika videonya bersama Ariel beredar di internet.
Begitulah infotainment, yang membesarkan sekaligus memurukkan figur seorang pesohor. Karena infotainment-lah
Kris Dayanti pemenang kontes vokal, dilambungkan menjadi seorang diva
pop di pertengahan tahun ‘90an. Namun infotainment pula yang menguliti
rahasia rumah tangga KD dan mem-blow up adegan ciumannya dengan Raul Lemos (yang saat itu belum jadi suaminya), hingga masyarakat marah sampai-sampai terbentuklah fanpage “Say No to Kris Dayanti” di FB pada 2010 lalu,
tanpa mempedulikan perasaan anak-anak KD yang saat itu masih usia SD.
Infotainment yang memberikan gelar “diva”, infotainment pula yang
mencopotnya ketika popularitas sudah memudar. Semua atas nama uang, demi
apa yang disebut “rating” – ‘tuhan’ yang menentukan kemana pemasang iklan berkiblat – hingga tak tersisa empati apalagi simpati.
Bukan hanya artis panggung
hiburan, namun juga olahragawan, politisi, hingga tokoh spiritual, bisa
diciptakan citranya oleh media infotainment. Infotainment bisa
mengubah seorang dukun dan cenayang, jadi selebriti yang biaya
konsultasinya bertarif mahal, jadi rujukan para pesohor untuk menanyakan
peruntungan di awal tahun. Sebut saja Ki Joko Bodo, Ki Kusumo dan Ki Ki
lainnya yang laris manis jadi peramal nasib sampai masa depan negeri,
bahkan keberadaan MH370.
Begitupun yang terjadi pada Ki Cilik Guntur
Bumi yang punya nama asli Susilo Wibowo, seorang paranormal yang sudah
lama berpraktek “perdukunan” dan cenayang, yang kemudian populer setelah
tampil di sebuah TV swasta dalam acara memburu dan mengusir hantu.
Pemirsa dihipnotis kekaguman pada kelihaiannya mengusir hantu, padahal
siapa yang bisa membuktikan? Benarkah hantunya sudah terusir atau sejak
semula memang tak ada hantu? Tapi pemirsa TV sudah terhipnotis, percaya
sepenuhnya seorang pria muda berwajah lumayan dengan jubah dan sorban
putih itu memang piawai mengusir hantu. Rapalan mantra yang keluar dari
mulutnya pun dipercaya betul adalah sesuai ajaran Islam – yang seakan
otomatis diidentikkan dengan pakaian Guntur Bumi. Dan…, entah bagaimana
mulanya sang dukun ini pun tiba-tiba bergelar ustadz. Infotainment
tiba-tiba saja menyematkan gelar itu di depan namanya. Lalu, seperti
latah, masyarakat pun ikut menahbiskannya sebagai ustadz.
Namanya juga dukun, meski gelar ustadz telah
disematkan, praktek perdukunan berkedok pengobatan tetap dilakukan.
Semua penyakit, apapun itu, selalu divonis “dibuat orang”, “kiriman
orang”. Bukankah ini menyulut permusuhan di masyarakat? Orang yang
disugesti mendapat kiriman penyakit dari musuh/orang yang membencinya,
akan berpikir : kira-kira siapa yang melakukan itu pada saya? Mulailah
pikiran negatif mereka-reka, permasalahan apa yang sedang dihadapi yang
bertentangan dengan orang lain. Jika kebetulan penderita sakit pernah
punya konflik dengan tetangga/ teman/ kerabat, maka kecurigaanpun akan
mengarah ke sana. Inilah “dosa” ikutannya : menimbulkan perpecahan dan
fitnah di masyarakat.
Apapun penyakitnya, selalu saja keluar
ulat-ulat, belatung, kecoa, kalajengking dan aneka benda lainnya dari
bagian tubuh yang sakit. Anehnya, semua itu dilakukan di dalam kamar
gelap gulita. Atau, pasien diminta melepas alas kaki, lalu berjalan dan
seperti merasakan sensasi terkena kejutan listrik (stroom). Kedua trik itu – keluar ulat dan terkena stroom
– telah ditelanjangi oleh salah satu TV swasta. Nyata benar semua itu
hanya tipuan kelas tukang sulap pinggir jalan yang hanya membutuhkan
kecepatan tangan. Apalagi jika dibantu kondisi gelap gulita, tentu lebih
mudah lagi.
Kini, sang ustadz besutan infotainment itu
pudar popularitasnya. Ia justru dikejar-kejar mantan pasien yang merasa
tertipu dan minta uangnya dikembalikan, dijerat dugaan penipuan dan
pencurian, dituduh melakukan pelecehan seksual, seolah semua
kebobrokannya terbuka. Lalu bagaimana infotainment? Sederhana : blow up
kasusnya! Pojokkan sang ustadz, wawancarai para korban dan pelapor,
pokoknya infotainment tinggal ikut arus saja menenggelamkan sosok yang
dulu dipoles dari dukun menjadi ustadz, kini ditelanjangi lagi bahwa dia
tak lebih dari sekedar dukun. Kejam? Itu resikonya dibesarkan
infotainment. Kini, setelah ketahuan dia bukanlah “ustadz” seperti
dicitrakan selama ini, infotainment pun menanggalkan sebutan “ustdaz” di
depan namanya.
Guntur Bumi bukan satu-satunya “ustadz” besutan infotainment yang kemudian menjelma jadi selebriti, lengkap dengan gaya hidup “ngartis”nya. Sebelumnya ada Solmed yang pernah di blow up
habis rencana pernikahannya, dikuntit kemana saja ia pergi
mempersiapkan pesta pernikahan, kemana bulan madu, dll. Kebetulan yang
bersangkutan sepertinya juga senang dengan pemberitaan berbau pamer
seperti itu. Belakangan, ketika terjadi konflik dengan BMI Hong Kong
soal mahalnya tarif, infotainment pula yang rajin mengulas dan nyinyir
mengkritisinya. Kini, ada lagi “ustadz” Fulan yang menikah dengan
pesinetron Anu, menggelar pesta mewah bergaya India, membuat video clip,
dll. Suatu saat kelak, jika si “ustadz” tergelincir, maka itulah saat
tepat bagi infotainment untuk menjadikannya sasaran empuk gosip murahan
yang dalam waktu singkat akan memurukkan popularitasnya.
JANGAN MUDAH TERGIRING GELAR USTADZ PEMBERIAN MEDIA
Belajar dari kasus Guntur Bumi atau Solmed, ada
baiknya masyarakat tak lagi mudah begitu saja menyematkan gelar ustadz.
Memang, arti harfiahnya adalah GURU. Tapi apakah semua guru dipanggil
ustadz? “Ustadz” berkonotasi dengan guru yang mengajarkan ilmu
agama Islam. Sebelum bisa mengajarkan ilmu agama, semestinya seseorang
telah menamatkan berguru ilmu agama. Tidak bisa dadakan menjadi ustadz
tanpa pernah berguru. Mari kita cermati, umumnya ustadz besutan infotainment memiliki beberapa ciri seperti berikut :
1. Instant dan punya kriteria selebriti.
Mendadak populer karena diorbitkan
suatu program acara televisi, termasuk ajang pencarian bakat, menjadi
pelakon di sinetron (yang katanya) religi, pengisi acara “waisting time” saat sahur di bulan Ramadhan, dll. Umumnya mereka juga punya kelebihan lain : good looking!
Ustadz seperti ini jarang diungkap rekam jejaknya, sejak kapan dan dimana ia berguru agama.
2. Suka jika di-ekspose kehidupan pribadinya.
Ustadz seleb umumnya sangat welcome dengan acara infotainment dan pemberitaan tabloid. Mereka
tak keberatan dikorek sisi kehidupan pribadinya sampai ke hal-hal kecil
yang bersifat sangat duniawi. Semisal memilih baju dan aksesoris,
menentukan tujuan wisata, aktivitas selama liburan dan berbagai acara
pesta/hajatan lainnya, yang ujung-ujungnya justru mengarah pada riya’
dan pamer semata.
3. Mengelola dakwah ibarat bisnis hiburan/pertunjukan.
Ustadz seleb umumnya menjadikan
acara dakwah menjadi satu paket “panggung pertunjukan”. Karena itu
mereka perlu tahu betul dimana acara digelar, di gedung apa, berapa
kapasitasnya, siapa saja hadirin yang diundang, berapa lama durasinya,
bagaimana setting acara, perangkat audio visualnya, dll. Bahkan ada pula yang menyediakan paket komplit dengan event organizer
yang dikelola tim manajemen sang “ustadz”. Bahkan untuk meminta ustadz
seleb jadi pembicara pun harus melalui manajer yang akan mengatur
waktunya, menentukan tarif dan dukungan fasilitas akomodasi yang wajib
disediakan pengundang. Mulai dari tiket pesawat pp kelas bisnis,
penginapan di hotel berbintang, penjemputan dari bandara ke lokasi acara
dengan kendaraan jenis tertentu (misalnya tak mau kendaraan niaga),
fasilitas pengantaran jika sang ustadz seleb hendak berkeliling kota di
tempat yang mengundangnya. Tak jauh beda dengan mengundang artis untuk
manggung.
4. Memilih menyampaikan hanya hal-hal apa yang disukai jamaah.
Ustadz seperti ini sangat menjaga popularitasnya, karena itu “disukai” jamaah adalah faktor penting bagi mereka. Karenanya ustadz seleb cenderung lebih suka melucu, asal pendengarnya senang. Mereka lebih mengedepankan tujuan “menghibur”. Berkonfrontasi – apalagi sampai berbenturan dengan penguasa – adalah hal yang paling dihindari jika ingin disukai semua pihak. Padahal, kebenaran seringkali ibarat pisau tajam yang melukai pihak tertentu yang menyimpang dari kebenaran. Bagi para penyampai kebenaran adalah mustahil disukai semua pihak. Akibatnya, karena keinginan untuk disukai dan tetap populer, ustadz seleb lebih memilih topik popular yang ringan-ringan saja dan tak berani mengkritisi kondisi menimpang.
5. Bergaya hidup mewah, jauh dari zuhud dan wara’
Ustadz seleb – namanya juga
selebritis, pesohor – maka gaya hidupnya pun tak beda jauh dengan para
pelakon dunia hiburan yang gemerlapan. Mereka sama sekali tidak sungkan memamerkan kekayaan yang dimiliki, hobby koleksi benda-benda mahal, mobil mewah dan meriahnya pesta pernikahan. Ini sangat bertentangan dengan ajaran agama yang menganjurkan untuk zuhud (meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat) dan wara’ (meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat).
Ustadz yang tumbuh besar bersama masyarakat,
merekalah yang mendatangi ummat tanpa menunggu diundang. Melihat suatu
daerah yang warganya dekat dengan kemelaratan dan kemaksiatan, merekalah
yang berinisiatif membina, tanpa terpikir bayaran, bila perlu
mengeluarkan uang demi jamaah binaannya. Mereka tidak hidup
bermewah-mewah untuk dirinya sendiri.
Saya punya kenalan seorang ustadz di Surabaya
yang sudah kondang dengan jamaah pengajiannya, sesekali beliau diundang
mengisi ceramah agama di stasiun TV lokal. Saya pernah ke rumahnya 2-3
kali. Rumahnya biasa saja, ukurannya tak besar, halamannya juga tak
luas, perabot di dalamnya tak ada yang istimewa. Rak buku yang penuh
dengan buku agama memenuhi dinding ruang tamu. Setiap hari Minggu usai
Subuh, beliau mengisi pengajian rutin di Sidoarjo. Sekali waktu, Sabtu
malam usai Isya beliau diminta mengisi pengajian di Mojokerto. Usai
tausiyah dan melayani pertanyaan jamaah, hari sudah larut malam dan
hujan pula. Sementara beliau hanya naik motor, ya motor biasa, bukan
moge.
Karena teringat esok sebelum Subuh harus sudah berangkat ke
Sidoarjo, beliau pun mempercepat laju motornya menembus pekatnya malam.
Mungkin pandangannya terhalang curah hujan yang deras, beliau menabrak
sebuah mobil bak terbuka yang parkir di pinggir jalan. Malam itu juga,
beliau berpulang ke Rahmatullah sebelum tiba di RS. Kalau saja beliau
kaya, punya mobil dan sopir pribadi, mungkin kejadian naas itu tak
terjadi. Tapi itulah ustadz yang sebenarnya, kondisinya kontras dengan
ustadz seleb. Semakin dalam ilmu agamanya, semakin zuhud hidupnya.
Semoga masyarakat belajar dari fenomena ustadz
seleb, agar tak mudah ikut menahbiskan gelar ustadz pada sosok yang
lebih tepat disebut selebriti ketimbang ustadz. Sebab sudah banyak bukti
mereka lebih mengedepankan popularitas ketimbang dakwah.
Ujung-ujungnya, “ustadz” besutan infotainment itu justru memalukan
karena kelakuannya jauh dari ajaran agama.
Catatan Ira Oemar