Tak sampai hitungan sepuluh jari kedepan kita akan tahu siapa yang akan duduk jadi anggota dewan. Baik untuk DPRD Kota dan Kabupaten maupun untuk Provinsi dan Pusat, serta senator untuk DPD RI. Dalam rentang waktu yang pendek ini, para caleg kuat dugaan terserang insomnia temporary atau penyakit susah tidur untuk sementara. Pikirannya melayang, angannya terbang menerawang menembus batas yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Demokrasi kita belum sehat. Politik transaksional adalah sebuah fenomena menakjubkan. Para caleg, selain dapat nomor urut halus, baru merasa percaya diri akan dipilih jika dia sudah membagi-bagikan sesuatu bentuk materi kepada calon pemilihnya. Masyarakat sebenarnya tidak salah dalam hal ini. Para caleg pun sebenarnya juga tidak salah. Lalu siapa yang salah? Yang salah adalah proses. Ya, sebuah proses menuju bentuk demokrasi ideal.
Saya teringat akan seorang kenalan yang tiap harinya sibuk membagi-bagikan stiker caleg, menempelkan ke rumah-rumah, membagi-bagikan kalender. Sehingga dia memiliki sebuah tas mirip pekerja kantoran. Bajunya kemeja bersending. Dia menenteng tas kemana-mana, kadang mirip mantri tukang sunat, kadang mirip kontraktor kelas udang bariang. Hampir tiap hari itu dia lakukan hingga terbersit pertanyaan di hati kapan dia bekerja? Ketika saya tanyakan hal itu dia menjawab sederhana.
"Sejak Pilkada hingga kini saya jadi tim sukses," kata dia bangga. Sebelumnya dia bekerja serabutan. Kadang ngojek, kadang mamakang (agen jual beli mobil dan motor bekas) yang membuat ilmu komunikasinya cukup terasah.
Jadi, menjadi tim sukses sudah dianggap sebuah pekerjaan musiman oleh sebagian masyarakat. Lebih lanjut saya telusuri dari mana sumber pemasukannya.
"Saya pegang empat caleg. Satu untuk Kota, satu Provinsi dan satu caleg untuk DPR RI dan DPD. Pemasukannya dari acara yang kami adakan, seperti main bola, lomba layang-layang, hingga sosialisasi dengan mengumpulkan massa. Disini saya buat anggarannya terlebih dahulu, kemudian mengajukan anggarannya kepada caleg. Sisa dari anggaran tersebutlah yang saya anggap uang lelah saya," ujarnya bercerita.
Lebih lanjut dia menceritakan bahwa para caleg biasanya memberinya uang transportasi kepadanya, dihitung perharinya.
"Caleg untuk Kota paling sedikit seminggu sekali dikasih 200 ribu. Kalau caleg provinsi dan DPR RI sekali bertemu kadang dikasih lima ratus hingga sejuta. Tapi saya betul-betul mencarikan suara untuk mereka," katanya meyakinkan.
Okelah. Kita taroh contoh di atas adalah tim sukses yang memegang komitmen. Bagaimana dengan para tim sukses kucing air? Yang tiap hari kerjanya mencari para caleg sembari berkata dia punya jaringan massa yang banyak. Semua caleg dia bual seolah dia merupakan pendukungnya. Tim sukses seperti ini ujung-ujungnya duit. Jangan harap dia akan mencarikan suara untuk Anda. Tipe begini paling banyak saya temukan sejak Pilkada lalu. Dia seakan ada di mana-mana.
Fenomena demikian terjadi karena adanya kesempatan terbuka untuk melakukan hal itu. Mereka ada untuk mengisi celah yang longgar dalam sebuah demokrasi yang baru tumbuh. Mereka ada bak ilalang yang setanah dengan pohon kecil di tanah berhumus yang baru menunaskan cabang-cabang kecilnya. Mereka subur karena tidak ada yang menyiangi. Takutnya tinggi pula ilalang daripada pohon pada akhirnya.
Catatan Oyong Liza Piliang