Senin jelang Subuh, saya sempat menontoni sessi
terakhir acara Just Alvin yang diputar ulang Metro TV. Para tamu Alvin
adalah 5 artis/seleb/pekerja entertainment yang maju sebagai caleg dari berbagai parpol. Pertanyaan Alvin yang menarik : “apa yang paling ditakuti kalau nanti sudah jadi (anggota DPR)?”. Sontak Sonny Tulung menjawab “KPK”
yang disambut tawa rekan-rekannya, tapi sekaligus juga mengiyakan.
Mereka menjawab takut jika nanti di”jebak” untuk terseret dalam kasus
korupsi. Jawaban spontan Sonny Tulung itu seolah menguatkan persepsi
bahwa lembaga legislatif adalah sarang korupsi. Bahkan seorang caleg pun
khawatir dirinya terjebak. Lalu kenapa DPR/DPRD sedemikian lekatnya
dengan issu korupsi? Banyak yang mengkaitkan dengan besarnya modal yang
harus dikeluarkan seorang caleg untuk bisa terpilih.
BESARNYA BIAYA KAMPANYE
Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mendapatkan fakta berapa kisaran biaya rata-rata yang dikeluarkan seorang caleg DPR RI, yaitu Rp. 1,18 miliar! LPEM mengelompokkan biaya pencalegan untuk DPR RI menjadi 5 kategori :
1. kurang dari Rp.787 juta termasuk sedikit alias masih kurang
2. antara Rp. 787 juta s/d Rp. 1,18 miliar dinilai optimal
3. antara Rp. 1,18 miliar s/d Rp. 4,6 miliar dinilai masih wajar
4. antara Rp. 4,6 miliar s/d Rp. 9,3 miliar termasuk tidak wajar
5. lebih dari Rp9,3 miliar dianggap sudah tidak rasional
Perlu dicermati, angka Rp. 1,18 M dianggap
optimal, namun berapa banyak caleg yang bisa secara cermat dan tepat
sasaran mengalokasikan dananya untuk kampanye? Maka, angka sampai 4,6
miliar pun dianggap masih wajar. Itu baru biaya kampanye seorang caleg, belum kampanye partai politiknya. Sepertinya,
dana untuk pengadaan logistik dan alat peraga kampanye termasuk yang
mendominasi. Mari kita coba berhitung meski dengan sedikit asumsi.
Misalnya saya ambil contoh Kota Surabaya, yang
terdiri dari 31 kecamatan dibagi menjadi 5 Dapil, artinya rata-rata 1
Dapil terdiri dari 5 kecamatan. Sedangkan 1 kecamatan rata-rata minimal
terdiri dari 5 kelurahan. Jadi 1 caleg DPRD Kota harus mensosialisasikan dirinya di 25 kelurahan.
Kalau para caleg beranggapan mensosialisasikan diri dengan pasang
spanduk/baliho/poster, mari kita hitung biayanya. Kalau untuk bikin 1
spanduk saja perlu dana Rp. 200 ribu (cetak spanduk, beli kayu dan tali
untuk pemasangan), maka di 1 kecamatan perlu dana Rp. 1 juta. Itu pun
kalau hanya 1 spanduk saja di tiap kelurahan. Padahal 1 kelurahan luas
cakupannya, minimal 2 spanduk, maka dana Rp. 10 juta rupiah habis hanya
untuk pengadaan spanduk di 5 kecamatan. Kalau baliho besar perlu dana
Rp. 500 ribu, maka jika 1 kelurahan hanya pasang 1 baliho, maka untuk 25
kelurahan di 5 kecamatan perlu dana Rp. 12,5 juta. Belum lagi
poster-poster yang dalam radius 500 meter saja jumlahnya bisa
berpuluh-puluh. Semua perhitungan di atas baru sebatas harga material
alat peraga kampanye, belum ongkos pemasangan, dll. Belum lagi kalau
mereka melakukan kegiatan di Dapil apalagi yang bersifat panggung
terbuka.
Maka tak heran jika Lembaga Survei Link Associated (LSLA) Bengkulu memprediksi caleg DPRD Kabupaten/Kota menghabiskan
biaya Rp. 200 hingga Rp. 400 juta. Untuk caleg DPRD Provinsi modal yang
harus disiapkan Rp. 500 juta hingga Rp. 1 miliar (karena Dapilnya lebih
luas, terdiri dari 2 atau lebih gabungan Kabupaten/Kota), sedangkan
caleg untuk DPR RI lebih dari Rp. 1 miliar. Adapun kandidat calon DPD
yang Dapilnya mencakup satu propinsi dan tidak didukung partai, dana
kampanye sekurangnya mencapai Rp2 miliar. Itu semua adalah dana
untuk keperluan kampanye pribadi masing-masing caleg, tidak termasuk
yang disetorkan kepada partai politik yang mengusung, yang kemudian
menjadi dana kampanye parpol yang dilaporkan ke KPU Pusat.
Total dana kampanye parpol mencapai kisaran Rp. 2 triliun. Besaran dana
kampanye masing-masing parpol bisa dilihat dari gambar berikut.
PELUANG TERPILIH SANGAT KECIL
Sayangnya, dana sebesar itu sama sekali tak menjamin seorang caleg sudah pasti terpilih. Selain
bersaing dengan caleg dari partai lain, dengan sistem proporsional
terbuka berdasarkan suara terbanyak, caleg harus juga bersaing dengan
rekan separtainya di Dapil yang sama. Apalagi aturan
membolehkan setiap parpol mengajukan caleg maksimal sebanyak 2x (dua
kali) kuota kursi DPR/DPRD di Dapil tersebut. Misalkan dari 5 kecamatan
itu kuota kursi DPRD yang diperebutkan hanya ada 5 kursi, maka setiap
parpol bisa mengajukan caleg sampai 10 orang. Kalau ada 12 parpol, maka
untuk memperebutkan 5 kursi saja, ada 60–120 caleg yang berlaga. Itu
sebabnya dari 560 kursi DPR RI yang tersedia di Senayan, jumlah calegnya
hampir 7000-an orang. Sebab 560 x 12 parpol saja jumlahnya sudah 6720
orang. Maka, bisa dipastikan caleg yang lolos ke Senayan hanya sekitar 8% saja, selebihnya akan segera menyandang gelar “caleg gagal”.
Itu baru di tingkat DPR RI, belum lagi puluhan
ribu caleg DPRD dari 34 propinsi dan puluhan ribu caleg DPRD dari
ratusan Kabupaten/Kota se-Indonesia. Artinya, ada berpuluh-puluh ribu
caleg dari berbagai tingkatan yang akan gagal memenuhi impiannya menjadi
legislator. Kalau caleg yang terpilih masuk Senayan saja hanya 8% dari
total caleg DPR RI, maka caleg yang terpilih masuk DPRD Propinsi
dan Kab./Kota bisa jadi hanya 5%-an saja dari total caleg DPRD.
Sudahkah kecilnya peluang ini diperhitungkan dengan matang oleh seorang
caleg sebelum berlaga?
Tak sedikit caleg yang tak tahu apa itu nilai
BPP yang artinya jumlah suara yang harus berhasil dikumpulkannya untuk
bisa lolos. Mungkin banyak pula caleg yang tak bisa menghitung
probabilitas lolos tidaknya dirinya di suatu dapil dan sekaligus gagal
membidik mana basis massa yang akan dijadikannya lumbung suara. Sebab tak
jarang orang maju menjadi caleg tanpa melalui proses kaderisasi yang
matang di partai politik bahkan tidak tahu prinsip dan sistem Pemilu.
Saya kebetulan tahu beberapa orang yang sedari dulu tidak aktif di
parpol, tapi menjelang pencalegan setahun yang lalu, tiba-tiba saja ikut
mendaftar sebagai caleg DPRD. Yang seperti ini tak sedikit. Parpol pun
seolah tak peduli dan menerima begitu saja siapapun yang mendaftar jadi
caleg.
EKSES PENCALEGAN : MENANG JADI ARANG, KALAH JADI ABU
Pasca Pemilu 2009, ada sekitar 7000-an
caleg gagal yang menderita gangguan jiwa mulai dari tingkatan yang
ringan sampai yang berat (gila total). Belum lagi yang mencoba
bunuh diri, baik ‘sukses’ maupun gagal karena sempat diselamatkan
anggota keluarga. Tahun ini, biaya kampanye naik sekitar 4 kali lipat
dibanding Pileg 2009, tentu akan lebih banyak lagi mantan caleg yang
frustasi. Kebanyakan, setelah gagal nyaleg, assetnya sudah
habis terjual, tabungan ludes, hutang menumpuk dan tak tahu dari mana
akan menutup hutang itu. Tak jarang pula yang rumah tangganya terpaksa
berakhir berantakan. Pegadaian cabang Bengkulu mengatakan bahwa
telah terjadi lonjakan barang gadai berupa mobil dan emas, hingga 100%
menjelang Pileg 2014. Kebanyakan barang gadai itu milik para caleg dan
itu diprediksi akan terus meningkat sampai jelang hari H 9 April nanti.
Tak sedikit caleg yang butuh dana tambahan untuk “operasi serangan fajar”.
Sementara caleg yang sukses melaju ke gedung
DPR/DPRD, bukan berati terbebas dari masalah. Mau tak mau mereka pasti
akan berhitung modal yang telah dikeluarkan. Apalagi kalau itu didapat
dari berhutang atau menjual asset milik keluarga yang harus
dikembalikan. Belum lagi “setoran” pada partai politik dan me-maintain
tim sukses yang ditugaskan memelihara konstituen di Dapil. Kalau
dihitung dana optimal seperti hasil survei LPEM UI di atas, maka Rp. 1,18 M jika dibagi 5 tahun (60 bulan), maka per bulannya = Rp. 20 jutaan. Benar
bahwa gaji dan tunjangan anggota DPR RI bisa mencapai 50–60an juta
perbulan, tapi bukankah itu masih dipotong setoran untuk parpol dll yang
sisanya bisa-bisa hanya tinggal 25–30 jutaan? Sulit dibayangkan kalau
mereka harus “mengembalikan modal” sekaligus “menabung” untuk modal
kampanye 5 tahun berikutnya. Maka, tak heran jika mereka mulai bermain
proyek dan mengutak atik anggaran APBN. Juga memanfaatkan acara kunker
ke luar negeri atau mencoba “memeras” BUMN dan Kementrian saat ada
masalah yang dibahas dan memerlukan persetujuan DPR. Ujung-ujungnya,
bagi yang apes, KPK akan menggelandangnya. Yang masih mujur, tinggal
tunggu waktu saja kapan akan terpeleset.
Yang kalah jadi bangkrut, keluarga berantakan,
akhirnya stress bahkan gila atau bunuh diri. Yang menang ikut terbawa
arus korupsi dan kolusi yang berujung pada jeruji besi dan mempermalukan
keluarga. Tak adakah upaya partai politik menyederhanakan Pemilu
Legislatif? Bukankah sebenarnya kasihan jika caleg-caleg itu harus
menghadapi resiko yang sama buruknya? Semestinya anggota DPR yang
terpilih nanti berpikir untuk menyederhanakan Pemilu Legislatif, agar
jika mereka akan kembali mencalonkan diri, tak perlu keluar modal
banyak.
USULAN UNTUK MENDEKATKAN CALEG DENGAN KONSTITUEN
Mungkin ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
untuk menyederhanakan Pileg, bukan hanya sekedar untuk penghematan
biaya kampanye, namun juga efektivitas komunikasi timbal balik antara
caleg dan konstituen pemilih.
1. Persempit Daerah Pemilihan dan kurangi kuota pencalonan setiap parpol.
(Hanya 1 kecamatan untuk caleg DPRD Kabupaten/Kota atau hanya 1 Kabupaten/Kota untuk caleg DPRD Propinsi dan caleg DPR RI)
Dengan model seperti sistem
distrik, maka 1 kecamatan hanya memiliki 1 kuota kursi DPRD. Sehingga 1
parpol hanya mengajukan 1 caleg saja. Untuk Kecamatan yang jumlah
penduduknya padat, bisa saja dipertimbangkan memiliki jatah 2 kursi
wakil rakyat. Begitupun untuk Caleg DPRD Propinsi dan DPR RI, kuotanya
hanya 1 kursi per kabupaten/kota kecuali kota besar.
Dengan hanya
mengajukan 1 caleg saja, parpol mau tak mau akan berpikir keras dan
menseleksi caleg yang akan dimajukannya, apakah memang memiliki rekam
jejak yang bersih serta dapat diterima masyarakat setempat. Agar
tak ada lagi caleg pesohor (artis/seleb/anak pejabat/keluarga petinggi
parpol) yang sehari-hari tinggal di Jakarta dan tak punya hubungan
emosional/ikatan batin sama sekali dengan suatu daerah, ditempatkan di
daerah tertentu, kecuali dia memiliki kontribusi nyata untuk daerah yang
akan diwakilinya itu.
Dari sisi caleg, tak
perlu sikut-sikutan dengan kompetitor separtai serta tak terjadi friksi
dan konflik internal partai menjelang pemilu.
Caleg juga harus kreatif, inovatif dan aktif mensosialisasikan program yang akan diperjuangkan. Dengan hanya terjun di 1 kecamatan, caleg diharapkan lebih optimal bisa “blusukan” dan dikenal calon pemilih.
Begitu pula untuk caleg
DPRD Propinsi dan DPR RI, cukup hanya mewakili 1 kabupaten/kota saja,
sehingga caleg lebih menguasai dan mengenal dapilnya,
mengidentifikasikan kebutuhan dapilnya dan mengintegrasikan program
pusat – propinsi – daerah.
2. Beri jeda cukup antara DCS dan DCT
Karena parpol hanya diberi jatah
mencalonkan 1 wakil, maka parpol perlu selektif memilih bakal caleg yang
akan dimajukan dari suatu dapil. Maka perlu dipertimbangkan ada jeda
waktu yang cukup sejak pengajuan DCS (Daftar Calon Sementara) ke
KPU/KPUD hingga penetapan DCT (Daftar Calon Tetap) oleh KPU/KPUD. Ini untuk memberi ruang dan waktu bagi masyarakat dan parpol mengevaluasi bakal calegnya.
Salah satu teman saya
mengeluhkan, bapak X yang dulu menipu ibu mertua dan teman-teman ibu
mertuanya, kini jadi caleg suatu parpol. Teman saya baru tahu ketika si
caleg sudah pasang atribut kampanye, artinya sudah ditetapkan DCT. Harus
dipahami sebagai sebuah realitas : banyak penipu berkeliaran di
masyarakat dengan kedok arisan atau investasi abal-abal, tak pernah
diajukan ke meja hijau karena korban-korbannya malas berurusan dengan
hukum.
Atau bisa saja ada caleg mengaku
bergelar sarjana dari perguruan tinggi Y padahal masyarakat setempat tak
pernah tahu dia kuliah.
Nah, informasi semacam itu
yang perlu jadi umpan balik bagi parpol dan KPU/KPUD. Masyarakat bisa
langsung melapor ke parpol maupun ke KPU/KPUD.
Karena itu, perlu ada jarak
antara pengajuan DCS hingga penetapan DCT, semisal 3–6 bulan. Selama
DCS, caleg sudah diterjunkan ke dapil agar masyarakat tahu dan segera
melapor. Selama ini pemeriksaan DCS ditetapkan jadi DCT hanya dari sisi
kelengkapan administratif saja bukan?
3. Perpanjang durasi kampanye pengenalan diri caleg dengan aksi riil.
Agar caleg tak semata mengandalkan baliho/spanduk/poster/kalender untuk mengenalkan diri, maka beri
kesempatan caleg untuk benar-benar terjun ke masyarakat dengan
melakukan kerja-kerja sosial kemasyarakatan yang riil. Dengan cara ini,
caleg “anak mami-papi” yang hanya mengandalkan kekayaan semata, tanpa pengalaman organisasi dan bermasyarakat, bisa tereliminasi. Caleg
yang kuat dari segi modal finansial, selama ini cukup membayar tim
sukses dan konsultan politik untuk “menggarap” dapilnya atau beli suara
dari makelar suara.
Karena itu, perlu dipikirkan
pencalegan sekitar 2 tahun sebelum Pemilu. Bukan seperti sekarang
setahun sebelum Pemilu tapi hanya perang spanduk dan sejenisnya. Terjunkan caleg ke dapilnya agar teruji komitmennya. Caleg yang tak cukup tangguh akan gugur sendiri, caleg yang hanya mencari peruntungan materiil, akan menyerah sebelum waktunya.
Dengan sistem rekrutmen
jauh-jauh hari sebelum Pemilu, parpol juga tak bisa seenaknya dengan
instant merekrut artis/public figur/tokoh masyarakat lokal/pengusaha
untuk dijadikan caleg dan dipasang sebagai pengumpan. Selama
kurun waktu itu pula, bisa dimanfaatkan bersama oleh caleg dan parpol
untuk bersama-sama mempersiapkan diri menjadi legislator, belajar
politik praktis, dll.
Saya pernah mendengar berita VOA beberapa tahun
lalu, seorang caleg wanita keturunan Palestina memenangkan pemilu di
distriknya. Wajah dan namanya tidak populer, bahkan melafalkan namanya
yang berbau Arab saja sudah susah bagi lidah Amerika. Tapi ia dengan
tekun “blusukan”, mengetuk pintu rumah warga setiap hari, mengobrol
dengan warga kota di distrik pemilihannya, mencari tahu apa yang mereka
mau, mengajak berdiskusi apa yang bisa diperbuat untuk warga, dll.
Inilah yang benar-benar wakil rakyat. Semalam menonton wawancara dengan
seorang ibu koordinator pengerah massa dan seorang bapak makelar suara,
saya prihatin karena ini Pemilu ke-4 dalam iklim reformasi, tapi
ternyata demokrasi kita menggelinding ke tubir jurang democrazy yang
barbar. Semuanya ditentukan oleh uang. Padahal, di negara yang
demokrasinya baik, sudah tidak masanya lagi mengedepankan politik uang
yang hanya mencetak koruptor-koruptor baru.
Itu semua hanya sekedar sebuah pemikiran yang
muncul dari keprihatinan mendalam melihat tingginya biaya kampanye caleg
perorangan serta ekses negatif yang ditimbulkan. Namun apakah parpol
tertarik untuk mengakomodir, atau ada caleg yang berminat memperjuangkan
revisi UU Pemilu kalau dia bisa masuk Senayan kelak? Entahlah…! Sebagai
warga negara, saya hanya ingin berbagi pemikiran yang mungkin bisa
berguna demi kemajuan demokrasi di negeri ini.
Catatan Ira Oemar