Sabtu besok akan jadi weekend terakhir di
mana kita dapat menikmati lancarnya jalanan tanpa hiruk-pikuk konvoi.
Minggu 16 Maret 2014, akan jadi hari pertama kampanye terbuka dimulai.
Jalanan akan dipenuhi iring-iringan konvoi mobil dan motor, arak-arakan
kendaraan hias dipenuhi atribut partai politik dan suara pelantang
memekakkan telinga. Bahkan rombongan bus, truk dan pick up bak
terbuka yang mengangkut massa dari berbagai kota menuju ke lokasi
kampanye nasional suatu parpol. Tak jarang iring-iringan kendaraan massa
yang mengenakan atribut partai tertentu berpapasan dengan konvoi massa
yang mengenakan atribut parpol lain. Sedikit saja terjadi senggolan,
bisa menyulut kericuhan antarmassa.
Kali ini, Pemilu diikuti 12 partai politik
nasional (di luar 3 parpol lokal Aceh). Durasi kampanye selama 21 hari
dari 16 Maret s/d 5 April 2014, sedangkan di Indonesia ada 34 Propinsi
(termasuk yang terakhir Propinsi Kaltara). Jadi bisa dibayangkan betapa
repotnya KPU menyusun jadwal kampanye nasional masing-masing parpol.
Jika 1 provinsi mendapat jatah 1 hari untuk pelaksanaan kampanye
nasional, setidaknya ada 13 hari di mana satu parpol berkampanye
nasional di 2 provinsi. Tak heran jika parpol yang punya dana besar
memilih untuk menyewa pesawat pribadi demi memudahkan mobilitas para
jurkamnas dan elite politiknya.
Biasanya jurkamnas terdiri dari pemimpin
parpol, elite politik parpol yang jadi pejabat negara (menteri atau
anggota DPR RI) dan para caleg DPR RI. Kini, trend-nya
bertambah: para kepala daerah setingkat gubernur dan wakil gubernur yang
diusung parpol. Tak heran jika 17 gubernur dan 5 wagub serta puluhan –
atau bahkan ratusan – Walikota/Wakil Walikota dan Bupati/Wakil Bupati
yang sudah mengajukan cuti demi menjadi jurkam parpolnya masing-masing.
Presiden dan beberapa Menteri kabinet pun selama 3 minggu ke depan akan
meninggalkan tugas dan kewajibannya selama beberapa hari, tak lain untuk
kepentingan mengkampanyekan parpolnya masing-masing.
Tapi jangan salah, cuti kampanye bukan hanya
monopoli pejabat negara dan pejabat publik saja. Pekerja sektor informal
pun bisa juga ambil cuti untuk kampanye parpol. Ini pernah dialami
kakaknya teman saya yang dibuat kaget saat asisten rumah tangga yang
bekerja di rumahnya minta ijin untuk cuti sementara karena akan ikut
kampanye parpol. Kakak teman saya itu yang tinggal di pinggiran Jakarta
yang sudah masuk wilayah Tangsel. Mbak yang kerja di rumahnya tidak
menginap, setiap pagi datang ke rumahnya dan petang hari pulang. Sebagai
wanita bekerja yang sejak pagi sudah menembus kemacetan menuju jakarta
dan petang hari baru sampai di rumah, keberadaan si Mbak untuk
menyelesaikan urusan rumah tangga sangatlah penting. Karenanya kakak
teman saya kaget, untuk apa si Mbak sampai cuti kampanye segala? Jadi
calegkah dia?
Ternyata si mbak sudah berkomitmen dengan “broker” pengerah massa. Dia sudah di-booking
untuk ikut kampanye parpol setiap hari, apa pun parpolnya dan di mana
pun lokasinya, yang pasti seputaran Tangsel dan Jakarta. Waktu itu
parpol peserta pemilu ada lebih dari 20-an partai, jadi dalam sehari ada
banyak parpol berkampanye di satu dapil. Soal transport tak usah
khawatir karena sudah disediakan, entah berupa truk, pick up
bak terbuka, angkot atau bus kota. Konsumsi minimal nasi bungkus dan air
kemasan juga ada. Honor pengganti uang lelah pun sudah dipatok. Belum
lagi “bonus”nya kaos parpol dan kalau ada acara bagi-bagi paket sembako
juga bisa ikut antri. Sehari bisa 2–3 kali kampanye, cukup berganti kaos
yang sudah disediakan. Di lokasi kampanye tugasnya hanya menikmati
goyang dangdut, meneriakkan yel-yel yang diserukan elite parpol atau
caleg yang berorasi di podium, bertepuk tangan kalau ada yang selesai
orasi, tak ada yang sulit. Dengan jobdes yang menyenangkan itu, bisa menambah pendapatan pula. Siapa yang tak tergiur?
Fenomena pengerahan massa bayaran ini bukan
hanya terjadi saat kampanye Pemilu Legislatif saja, saya pernah melihat
tukang ojek langganan saya melakukan hal serupa saat musim kampanye
Pilkada hampir 4 tahun lalu. Siang hari, saat ojeknya sepi penumpang, si
Abang menyediakan dirinya untuk ikut kampanye. Siapa pun pasangan
kandidat yang berkampanye, tak jadi masalah. Dia hanya cukup tahu di
mana lokasinya, lalu dengan motor yang dipakainya mengojek dia ikut
konvoi. Sore dia pulang dengan selembar kaos baru, kadang tas plastik
bergambar pasangan calon berisi paket kecil sembako, menggantung di
motornya. Uang pengganti bensin tentunya juga ada.
Inilah fenomena yang marak setidaknya dalam 10
tahun terakhir. Awal masa reformasi, saat masyarakat masih tersihir
euforia kebebasan berpartai dan berpolitik, muncullah kelompok-kelompok
pendukung partai politik. Selama 32 tahun “dipasung” pastisipasinya
dalam berpolitik praktis, membuat rakyat seolah “kemaruk”
mengekspresikan dukungannya kepada parpol atau tokoh idolanya yang
mendirikan parpol. Tak jarang, fanatisme akar rumput itu menimbulkan
gesekan dan konflik horisontal. Namun, 5 tahun berlalu ternyata keadaan
tak banyak berubah, muncullah pragmatisme politik pada sebagian orang
dan apatisme pada sebagian yang lain. Yang apatis tak mau lagi
menunjukkan dukungan secara aktif dengan menghadiri kampanye, yang
pragmatis melihat ini sebagai peluang bisnis. Ya, bisnis yang
menjembatani antara kebutuhan pengurus parpol untuk menciptakan citra
bahwa partainya punya banyak pendukung, dengan realitas sebenarnya bahwa
tak mudah mengumpulkan massa pendukung.
Tak heran jika selama musim kampanye marak
bermunculan calo/makelar yang menawarkan jasa pengerahan massa. Apalagi
Pileg 2004 parpol peserta Pemilu jumlahnya 24 dan pada Pileg 2009 ada 23
parpol yang berlaga. Apalagi sejak 2004 Presiden juga dipilih langsung
melalui Pileg, yang tentunya juga ada masa kampanye. Selain hajatan 5
tahunan Pileg dan Pilpres, sejak 2005 juga ada Pilkada langsung. Jadi
sepanjang tahun selalu ada saja daerah yang menyelenggarakan Pilgub,
Pilwali, Pilbup. Tampaknya para broker massa tak perlu khawatir
ladang bisnisnya bakal sepi order. Selama politisi dan partai politik
masih mengedepankan pencitraan, masih lebih suka memamerkan pada media
massa bahwa kampanye mereka ramai dengan massa pendukung, selama itu
pula penyedia jasa massa bayaran akan tetap dibutuhkan.
Itulah kenapa biaya kampanye di Indonesia sangat mahal. Biaya sewa stadion/lapangan, pembuatan panggung dan sewa sound system,
honor artis, perijinan, semuanya bisa diprediksi. Tapi biaya pengerahan
massa dan “paket” ikutannya itu yang tak sedikit. Makin besar lapangan
yang disewa, makin banyak massa yang harus didatangkan. Apalagi kalau
jurkamnas yang hadir adalah Ketua Umum parpol. Maka pimpinan parpol di
daerah seolah ditargetkan wajib bisa menghadirkan ribuan massa agar
lapangan tak tampak kosong. Mengerahkan massa 1.000 orang saja sulit,
apalagi kalau hari kerja. Berharap simpatisan partai datang dengan
sendirinya? Mungkin hanya loyalis dan pemilih tradisional yang
benar-benar setia saja yang mau datang karena semangat mendukung
partainya. Selebihnya datang karena berharap imbalan.
Fenomena kampanye di masa reformasi ini
tampaknya masih sama dengan gaya kampanye di masa Orde Baru. Masih
mengedepankan banyaknya massa dan dipancing dengan hiburan musik –
terutama dangdut yang memang bisa mengajak orang berjoget bersama –
serta pembagian berbagai logistik kampanye. Tak ada perubahan, kampanye
jaman Orba dulu juga begitu. Saya ingat waktu masih SD ada kampanye
sebuah parpol mendatangkan Rhoma Irama ke kota kecil saya. Maka
membludaklah massa dari berbagai kota datang ke alun-alun di kota kami.
Tentu saja tujuan utamanya menonton pagelaran gratis orkes dangdut
Soneta dan suara emas Bang Haji. Tapi parpol yang mendatangkan bisa
mengklaim bahwa kampanye mereka sukses.
Sampai kapan fenomena ini akan berlangsung?
Bukankah itu artinya parpol menipu dirinya sendiri? Itu sebabnya hasil
perhitungan suara kerap tak bersesuaian dengan membludaknya massa yang
berjubel dan berjoget di depan panggung kampanye. Sebab sekumpulan besar
massa yang datang ya hanya itu-itu saja. Saat tiba waktu pencoblosan,
mereka – para massa bayaran itu – libur karena tanggal merah. Mereka tak
hadir ke TPS, sebab sekarang saatnya menikmati uang hasil kampanye 3
minggu, bisa jalan-jalan ke pertokoan, menghibur diri, sesekali
mentraktir keluarga makan di luar atau membelikan mainan yang sudah lama
dijanjikan pada anaknya. Jadi, siapa sebenarnya yang lebih pintar
bersiasat? Para politisi dan parpol yang “membohongi” media massa dengan
banyaknya massa pendukung, atau para broker yang panen rejeki?
Massa bayaran hanyalah obyek semata. Obyek dari
tak kunjung pintarnya demokrasi. Parpol terus saja berpikir bahwa
membludaknya massa di arena kampanye bisa mempengaruhi pilihan publik.
Parpol masih saja percaya bahwa tokoh-tokoh elite mereka yang didapuk
jadi jurkamnas berkeliling Indonesia, bisa mengajak orang untuk memilih
partainya. Bahkan cuti meninggalkan tugas dan tanggung jawab pun
dilakukan. Padahal, tindakan itu justru menimbulkan reaksi tak simpati
dan penilaian negatif dari masyarakat, utamanya floating mass
yang seharusnya dibidik parpol untuk jadi pemilih potensial. Selamat
menikmati cuti Pak Presiden, Pak Menteri, Pak Gubernur, Pak Wagub,
Pak/Bu Walikota dan Wawali, Pak/Bu Bupati dan wabup. Bersyukurlah
masyarakat yang kepala daerahnya masih punya komitmen kuat untuk lebih
mengutamakan menjalankan tugas dan kewajiban di daerahnya ketimbang
mendahulukan kepentingan partai.
Ira Oemar