Pemilu 09 April 2014 tinggal menghitung hari. Berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, peta kekuatan politik sepertinya bergeser. PDI Perjuangan dan Partai Golkar berada di papan atas, diikuti oleh Partai Gerindra atau Partai Demokrat. Di luar itu, partai-partai lain masih bersaing untuk mendapatkan suara, minimal lolos dari Parliamentary Threshold sebesar 3,5% dari total pemilih. Persaingan di papan tengah dan papan bawah berlangsung ketat, baik antara partai lama ataupun partai baru.
Persaingan juga terjadi di kalangan calon anggota legislatif. Kampanye tertutup sudah digelar, lalu diikuti kampanye terbuka. Masing-masing calon legislatif ini mencoba mendapatkan suara yang lebih dari kandidat yang lain. Beragam cara dilakukan, baik yang mengikuti aturan atau tidak. Penyelenggara dan pengawas pemilu juga bekerja keras, guna mendapatkan pemilu yang berkualitas, sekaligus hasil yang sesuai dengan pilihan rakyat.
Guna memenuhi kuota calon anggota legislatif, tidak semua calon memiliki kemampuan yang baik. Tinggal rakyat yang memilih di antara para calon itu. Apakah mereka layak atau tidak? Kemampuan itu diukur dari banyak hal, mengingat masa jabatan yang diemban adalah lima tahun. Selain harus menguasai aturan perundang-undangan terkait dengan tugasnya sebagai anggota legislatif, caleg yang bersangkutan juga perlu mengenal dan dikenal di daerah pemilihannya. Saling kenal-mengenal itu terutama dari aspek pemerintahan, di pelbagai bidang, selain tentunya kehidupan penduduknya.
Pengenalan itulah yang diformulasikan dalam bentuk program, terutama terkait dengan kerja di legislatif. Tapi, masih banyak caleg yang menawarkan program, seolah mau duduk di kursi eksekutif. Misalnya, pengadaan infrastruktur, barang dan jasa. Idealnya, caleg menjelaskan apa kerja di legislatif, agar harapan publik tidak terlalu tinggi. Janji-janji kampanye juga perlu realistis, misalnya membawa aspirasi warga ke dalam rapat-rapat yang terkait dengan anggaran pemerintah. Rapat-rapat itu terutama dalam masa penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kalau hanya mengandalkan gaji sebagai wakil rakyat, tentulah tidak ada anggaran yang bisa digunakan untuk rakyat. Bagaimanapun, kebutuhan sebagai anggota legislatif juga tinggi, termasuk dan terutama sebagai anggota partai politik. Rata-rata partai politik di Indonesia – dan luar negeri – memotong gaji seorang anggota legislatif. Pemotongan itu digunakan untuk membiayai kewajiban partai politik dalam mengelola kantornya, termasuk juga para staf tetap dan honorer yang digaji. Partai politik sedikit sekali dapat anggaran dari negara, sehingga kebutuhan anggaran itu dimintakan kepada anggota legislatifnya.
Kualitas Legislator
Persepsi masyarakat masih bias terhadap anggota legislatif. Rakyat menganggap, jalur legislatif adalah jalur mobilitas vertikal (naik status). Bagi para caleg yang dianggap tidak memiliki pekerjaan, jadi anggota legislatif dipersepsikan sebagai cara untuk menerima penghasilan bulanan. Bisa jadi ada motif seperti itu, tetapi motif itu harus dihilangkan. Kalaupun ada caleg yang berasal dari kalangan ekonomi lemah, tentu mereka memiliki formulasi yang akurat menyangkut peningkatan ekonomi. Pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Artinya, sebagai suara publik murni, para legislator yang berasal dari kalangan yang tidak berpunya bisa menjadi kekuatan perubahan sistem penganggaran.
Kualitas legislator kita memang masih kurang, dibandingkan dengan kompetensi yang diinginkan. Rata-rata sumber daya manusia yang berkualitas sudah terlebih dahulu memilih menjagi pegawai negeri sipil, pekerja profesional atau aktif sebagai wiraswasta. Makanya, terdapat sejumlah pensiunan pejabat atau pegawai pemerintah yang kemudian terjun ke dunia politik praktis. Dengan pengalaman yang mereka dapatkan, serta pengetahuan yang dimiliki, mereka berharap bisa semakin memperbaiki keadaan. Bagi saya, tidak ada masalah dari-manapun asalnya para legislator ini. Yang penting mereka memiliki nyali yang besar guna menghadapi kalangan eksekutif yang lebih kuat dan terlatih.
Diluar kualitas legislator yang rendah, partai politik juga memiliki keterbatasan dalam melatih dan mendidik mereka. Partai politik sudah dibebani dengan tugas-tugas yang diberikan undang-undang, mulai dari sarana, prasarana, pendidikan politik, sampai tugas-tugas yang ada di legislatif dan juga kader di eksekutif. Struktur organisasi partai politik hampir sama dengan struktur pemerintahan. Anggaran dari publik dan pemerintah terbatas. Partai politik mengandalkan anggaran dari pengurus, terutama pengurus di tingkat pusat, diluar pungutan yang dibebankan kepada anggota legislatif terpilih dan anggaran dari negara dalam jumlah kecil. Sementara, pendidikan politik jelas memakan anggaran besar.
Legislator juga memiliki keterbatasan. Selain kurang didukung oleh jaringan tenaga ahli yang ideal, guna mengikuti perkembangan sesuai dengan bidang tugasnya, legislator memiliki beban lain terhadap konstituen. Negara memberikan anggaran untuk kegiatan yang terkait dengan daerah pemilihan, yakni dana reses. Hanya saja, anggaran itu tidak bisa dipakai sesuai dengan kehendak sang legislator ataupun kehendak konstituen. Anggarannya dikemas dalam bentuk kegiatan tatap muka, sosialisasi aturan perundangan, sampai seminar publik tentang empat pilar kebangsaan. Bantuan langsung berupa dana jelas terbatas hanya kepada isi kantong sang legislator.
Sebaliknya dengan pegawai negara. Sebagian malahan sudah diberikan beasiswa sejak jenjang pendidikan formal. Lalu seluruhnya mendapatkan hak pensiun. Mau disebut sebagai pegawai pusat, ataupun pegawai daerah, tetap saja yang namanya pegawai negeri mendapatkan hak pensiun. Pelbagai tunjangan juga diberikan. Belum lagi beasiswa pendidikan, tanpa harus mengundurkan diri sebagai pegawai negeri. Tidak heran kalau gaji dan belanja pegawai negeri mencapai angka 60 % - 70% dari total APBD. Bandingkan dengan anggaran yang diperoleh partai politik yang tak sampai 1%-nya.
Nyali Legislator
Legislator layak laga jelas dibutuhkan untuk bangsa ini ke depan. Apalagi politik kian mengarah kepada individu, ketimbang kepada partai politik. Figur jauh lebih berpengaruh dari partai politik. Padahal, keseimbangan politik diperlukan guna mendekatkan antara figur dengan partai politik. Pengorganisasian politik kian dibutuhkan, dengan manajemen yang makin moderen. Anggaran partai politik juga perlu dibuat transparan, tetapi tentunya dengan memasukkan anggaran publik. Ironi demokrasi hari ini adalah semua pihak merasa berhak memeriksa dan menilai partai politik, sementara mereka sama sekali tidak mau berkontribusi kepada partai politik.
Sementara, legislator masih didominasi oleh kekuatan pribadi dan keluarga, ketimbang organisasi. Legislator harus mengurus banyak hal sekaligus secara bersamaan. Di samping menguasai bidang tugasnya di parlemen, legislator juga berusaha meraih dukungan dari publik di daerah pemilihannya. Di luar itu, legislator juga harus memiliki kontribusi kepada partai politik pengusungnya. Apabila sikap legislator itu bertentangan dengan pimpinan partai politik, bisa saja ditarik setiap saat dari kursi legislatif. Absensi juga diawasi publik, termasuk tatkala tertidur sebentar di dalam rapat yang terbuka untuk umum.
Legislator layak laga untuk kursi nasional juga diperlukan guna menghadapi globalisasi. Artinya, legislator-legislator ini perlu mengubah dirinya sebagai diplomat ketika berhadapan dengan pejabat-pejabat atau kepentingan-kepentingan negara lain. Penciuman legislator ini harus tajam, guna melihat kepentingan asing yang bermain dalam kebijakan-kebijakan nasional. Setiap saat, ketika ada masalah yang terkait dengan kerugian Indonesia dalam percaturan politik internasional, legislator nasional ini perlu memberikan peringatan. Tentu penguasaan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris, juga menjadi penentu bagi daya jelajah legislator jenis ini.
Diluar itu? Nyali sebagai legislator. Nyali itu penting, mengingat hambatan-hambatan yang dimiliki legislator dalam kiprahnya. Bukan hanya legislator itu berani berseberangan dengan seorang presiden yang dianggap lebih tinggi posisinya, melainkan juga terkadang perlu berbeda pendapat dengan pimpinan partainya sendiri. Legislator sebetulnya tidak perlu terlalu takut kepada pihak lain, mengingat publik pada gilirannya menjadi penentu tepat atau tidaknya pilihan yang diambil. Perseberangan dengan pihak lain justru bisa dihargai publik, dengan cara mengusung lagi untuk jabatan yang sama atau berbeda sama sekali.
Legislator layak laga adalah legislator yang memiliki nyali. Dalam posisi yang lebih moderen, tentunya legislator yang bisa mengumpulkan dana kampanye dan suara dari publik. Ke depan, legislator ini juga perlu membina komite-komite pemilih yang terus menyeberangkan aspirasi ke meja sang legislator. Komite-komite pemilih inilah yang bekerja di akar rumput, guna mengawal kerja seorang legislator, sekaligus juga memastikannya terpilih lagi. Bukan saatnya lagi uang memegang kendali dalam kontestasi politik, melainkan kemampuan yang benar-benar dimiliki oleh sang legislator.
Indra J Piliang