Kalau Jakarta diramaikan dengan pemberitaan
pengunduran diri Gita Wirjawan, Surabaya diguncang issu pengunduran diri
Walikota yang mereka cintai : Ibu Tri Rismaharini. Memang berita
tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya. Bu Risma saat ditanya soal
itu hanya menjawab : “Nanti dilihat, nanti saya akan ngomong, nanti nunggu ya”. Risma mengaku sedang sakit tenggorokan, butuh istirahat “Nanti ada waktunya saya bicara. Tunggu saya sembuh, ya”, katanya.
Issu itu santer setelah anggota DPRD Jatim,
Saleh Ismail Mukadar, menerima pesan BBM yang mengabarkan Bu Risma akan
mundur dari jabatannya. Kabar itu didapat Saleh dari orang terdekat
Risma, yang enggan diungkap siapa orangnya. Ibu Risma memang
tidak hadir saat pelantikan Wisnu Sakti Buana sebagai Wakil Walikota
Surabaya, Jumat 24 Januari lalu. Wisnu menggantikan Bambang Dwi Hartono
(BDH) yang mengundurkan diri karena maju dalam Pilgub Jatim Agustus
2013. Risma dikabarkan tidak setuju dengan terpilihnya Whisnu.
Ketidakhadiran Bu Risma berlanjut, selama lima hari ia tidak masuk
kantor sehingga Wisnu sulit menemuinya.
Bu Risma sendiri menegaskan bahwa dirinya
tidak ada persoalan pribadi dengan Wisnu. Risma hanya mempersoalkan
proses pemilihan Wawali Surabaya yang dinilai tak sesuai prosedur. “Saya minta itu sesuai prosedur. Jangan sampai masyarakat menggugat karena itu akan menjadi beban kita semua”
demikian penjelasan Risma. Risma menerima laporan adanya kejanggalan
dalam penandatangan kelengkapan berkas calon Wawali sebagaimana diminta
Kemendagri.
Saleh Mukadar mengakui bahwa memang hubungan Risma dan Wisnu sudah sejak lama tak harmonis. Diduga
Risma tak suka pada Wisnu karena Wisnu pernah terlibat pelengseran
Risma saat baru beberapa bulan menjadi Walikota Surabaya. “Semua sudah tahu kalau tidak harmonis. Mereka sangat berseberangan”, kata Saleh. Menyikapi issu mundurnya Risma, Saleh menegaskan bahwa Risma tidak boleh mundur meski menghadapi kondisi apa pun di pemerintahannya. Kalaupun Risma ingin mundur, harus mendapat persetujuan PDIP selaku partai pengusung. “Yang jelas, PDIP tidak akan mengizinkannya. Kami berharap Risma bertahan” tegas Saleh. Begitu pun Ketua DPRD Surabaya Muhammad Machmud, menyatakan tidak akan memberi persetujuan bila Risma mengajukan surat pengunduran diri.
Di Jakarta, Ketua DPP PDIP, Maruarar Sirait tak mau berkomentar soal issu pengunduran diri Risma karena DPP PDIP akan mempelajari terlebih dulu kebenaran issu itu.
Maruarar mengaku tak tahu kabar Risma sakit. Ia tak mau berkomentar
tentang ketidakcocokan antara Risma dan Wisnu, karena partai masih akan
mempelajari persoalan yang sebenarnya.
“DOSA POLITIK” WISNU TERHADAP RISMA
Sebenarnya sejak November 2013, sudah muncul
polemik terkait penetapan wakil wali kota pengganti Bambang DH.
Resistensi atas pencalonan Wisnu Sakti Buana justru datang dari kader
PDIP sendiri. Padahal, Wisnu adalah ketua DPC PDIP Surabaya. Mantan
ketua tim relawan pemenangan pasangan Risma–BDH pada Pilwali 2010, Mat
Mochtar, menolak Wisnu karena dinilai Wisnu sebelumnya pernah berupaya melengserkan Risma dari kursi wali kota. Waktu itu, tepat 3 tahun lalu, Januari 2011, Wisnu
Sakti Buana yang juga wakil ketua DPRD bersekongkol dengan Ketua DPRD
Kota Surabaya saat itu, Wishnu Wardhana (Fraksi Demokrat) untuk
menggelar hak angket demi memakzulkan Risma. Menurut Mat
Mochtar, Wisnu Sakti Buana mencatut nama Ketua Umum DPP PDIP Megawati
dalam upayanya melengserkan Risma. Itulah dosa politik Wisnu yang
dianggap kesalahan fatal.
Menurutnya, tanpa Wawali roda pemerintahan di
Surabaya tetap berjalan. Namun jika Risma dan Wisnu dipaksakan
berdampingan, Mat Mochtar yakin akan ada ketidakharmonisan. Mochtar
membandingkan dengan masa Bambang DH menjadi Walikota yang pernah juga
tanpa didampingi Wawali – sepeninggal Soenarto Soemoprawiro pada 2002,
BDH naik menggantikan sebagai Walikota dan tidak diadakan pemilihan
Wawali sampai akhir masa jabatan 2005 – dan saat itu tidak ada masalah.
Disamping itu, pencalonan
Wisnu dinilai mencederai amanah rakyat. Sebab pada Pilwali 2010 yang
dipilih rakyat secara langsung adalah pasangan Risma – BDH, bukan Risma –
WSB.
SEJAK AWAL RISMA SETENGAH HATI DIDUKUNG PDIP SURABAYA
Sejak awal proses majunya Risma menjadi cawali dari
PDIP memang kontroversial dan sempat mengundang protes bahkan demo
penolakan lebih dari 2/3 PAC PDIP. Padahal, majunya Risma menjadi cawali
bukan atas keinginan Risma mencari restu partai. Birokrat tulen ini
bukanlah seorang yang memiliki ambisi pada jabatan politik. Ia seorang
pekerja keras yang berusaha melakukan yang terbaik bagi kotanya. Saat
itu popularitas Risma di kalangan warga Surabaya memang cukup tinggi.
Risma kemudian dipinang oleh sesepuh PDIP, Soetjipto (Mantan Sekjen PDIP
dan mantan Wakil Ketua MPR, orang yang dikenal dekat dengan Mega).
Risma mau dengan syarat dukungan dari warga Surabaya sekurangnya
mencapai 35%. Ternyata, survey menunjukkan bahwa dukungan pada Risma
telah melampaui, maka Risma pun bersedia dipinang untuk “dijodohkan”
dengan Bambang DH.
Sebagian warga Surabaya saat itu sebenarnya
sudah mencurigai sikap PDIP yang tiba-tiba memaksakan menggandeng Risma,
padahal sebelumnya BDH masih ngotot ingin maju. Bahkan
beberapa bulan sebelumnya di Surabaya sudah beredar poster dan spanduk
bergambar Saleh Ismail Mukadar dan Bambang DH sebagai Cawali dan
Cawawali dengan slogan SBY (Saleh Bambang Yes!) kemudian SaBaR (Saleh
Bambang Rek). Warga mengkhawatirkan jika Risma hanya dimanfaatkan
popularitasnya untuk meraih dukungan pemilih. Bahkan ada yang curiga
Risma bakal diturunkan di tengah jalan, sehingga BDH bisa naik kembali,
menggantikan Risma. Maklumlah Risma bukan orang politik dan sama sekali
tak berafiliasi pada parpol, mengingat Risma seorang PNS.
Penolakan terhadap Risma terus bergulir dan
membuat internal PDIP memanas. Sikap antipati kepada Risma disampaikan
perwakilan PAC DPC PDIP Kota Surabaya. Dari 31 PAC, 19 PAC menolak paket Risma-BDH lantaran Risma bukan kader partai. Padahal sebelumnya, PDIP melalui Rakercabsus telah merekomendasikan Saleh Ismail Mukadar, Bambang DH dan Wisnu Sakti Buana. “19 PAC menolak. Banyak kader partai yang berkualitas, kenapa harus mendukung orang yang bukan berasal kader partai ini”, kata Sri Hono Yularko, Ketua PAC Semampir saat jumpa pers di Posko Relawan SaBaR pada Senin (8/2/2010)
Jumat, 19 Maret 2010, dalam silahturahmi bersama
Saleh Ismail Mukadar di RM Taman Sari, arus bawah PDIP Surabaya tetap
ngotot menolak Risma bahkan muncul ancaman kabur dari partai. 22 Pengurus Anak Cabang (PAC) PDIP meneriakkan yel-yel penolakan Risma-BDH karena tidak sesuai mekanisme partai. Massa juga mengancam tidak akan menggunakan hak pilihnya dalam Pilwali 2 Juni 2010 dan siap mundur dari PDIP bila partai tetap mempertahankan pencalonan Risma-BDH. Pencalonan Risma dinilai telah melukai kader PDIP bahkan muncul opsi melayangkan mosi tidak percaya kepada DPP PDIP yang telah memberikan rekomendasi cawali kepada Risma.
Akhirnya pencalonan Risma–BDH tetap dilaksanakan.
Berkat dukungan warga Surabaya, pasangan Risma-BDH memenangi pilwali 2
Juni 2010, dengan perolehan 358.187 suara atau 38,53%. Pasangan itu
dilantik pada 28 September 2010. Baru 4 bulan menjabat, Ketua DPRD Kota
Surabaya saat itu, Whisnu Wardhana menginisiasi penurunan Risma melalui
hak angket. Alasannya karena Risma menerbitkan Peraturan Walikota
Surabaya (Perwali) No. 56/2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame
dan Perwali No. 57 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame Terbatas di
Kawasan Khusus Kota Surabaya yang menaikkan pajak reklame menjadi 25%.
Walikota dinilai tidak melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
terkait dalam membahas maupun menyusun Perwali. Ironisnya : upaya pelengseran Risma itu didukung Fraksi PDIP di DPRD Surabaya.
Rapat Paripurna DRPD Surabaya pada 31 Januari
2011, merekomendasikan pelengseran Tri Rismaharini sebagai Walikota
Surabaya kepada Mahkamah Agung. Keputusan
pemakzulan itu didukung oleh 6 dari 7 fraksi di DPRD Surabaya, termasuk
Fraksi PDIP yang mengusung Risma. Hanya fraksi PKS yang menolak
pemakzulan dengan alasan belum cukup bukti dan data.
Kini, selama hampir 3,5 tahun Risma memimpin
Surabaya, ia telah membuktikan berhasil menjadi “IBU” bagi warga
Surabaya, yang dicintai rakyatnya dan didukung program-programnya. Di
masa kepemimpinannya Surabaya menjadi lebih asri, hijau dan segar.
Banyak taman kota dibangun dengan tema-tema khas, termasuk pemugaran
taman Bungkul dengan konsep all-in-one entertainment park. Beberapa tempat yang dulunya mati sekarang tiap malam dipenuhi dengan warga Surabaya. Risma juga membangun pedestrian
bagi pejalan kaki dengan konsep modern di sepanjang jalan Basuki Rahmat
yang dilanjutkan hingga jalan Tunjungan, Blauran dan Panglima Sudirman.
Di bawah kepemimpinan Risma, Kota Surabaya meraih 3x piala Adipura
(tahun 2011, 2012, 2013) kategori kota metropolitan. Pada Juli 2012,
Risma membawa Surabaya menjadi kota terbaik se-Asia Pasifik atas
keberhasilan pemerintah kota dan partisipasi rakyat dalam mengelola
lingkungan. Pada Oktober 2013, Kota Surabaya memperoleh penghargaan
tingkat Asia-Pasifik yaitu Future Government Awards 2013 di 2 bidang
sekaligus yaitu data center dan inklusi digital menyisihkan 800 kota di
seluruh Asia-Pasifik. Belum lagi keberhasilannya menutup beberapa
lokalisasi prostitusi dan mengubahnya menjadi pusat-pusat usaha warga.
Sesuatu yang bagi kepala daerah lain impossible dilakukan tanpa mengundang konflik horisontal antar kelompok warga.
Entah bagaimana tinjauannya dari hukum tata
negara, seorang Kepala Daerah dan Wakilnya yang dipilih langsung oleh
rakyat, jika salah satu mengundurkan diri atau berhalangan tetap,
termasuk meninggal dunia, apakah boleh parpol pengusungnya
secara sepihak mengajukan calon pengganti tanpa berdiskusi dan
mempertimbangkan aspirasi pejabat yang sudah menjabat? Bolehkah
pemilihan langsung oleh rakyat digantikan oleh pemilihan di DPRD yang
bisa menjadi politik transaksional tanpa bisa dikontrol oleh rakyat
termasuk oleh pejabat yang telah dipilih rakyat? Mungkin para
pakar Hukum tata Negara bisa mengkajinya, bila perlu mengajukan uji
materi kepada MK, agar mandat rakyat tidak dengan semena-mena dicederai
oleh parpol.
Tak salah jika kini Risma merasa tak nyaman ketika dipaksa berjodoh dengan Wisnu, orang yang pernah mencoba memakzulkannya. Bukankah Bu Risma juga manusia yang punya hak bicara dan berpendapat? Mengatur dan mengendalikan kota sebesar Surabaya dibutuhkan team work yang kompak dan satu visi. Akan sangat riskan jika keberadaan wawali justru beda visi dengan walikota.
Salah besar jika PDIP mengira Risma adalah sosok
yang bakal merasa berhutang budi pada partai pengusungnya, sebab bukan
Risma yang mengemis meminta dukungan untuk dijadikan Walikota. Risma
bukan tipe yang akan sowan ke rumah Ketua Umum Partai, mencium
tangannya demi meminta restu. Risma terbukti berani melawan sikap Fraksi
PDIP, jika ia yakin apa yang dilakukannya berpihak pada kepentingan
warga dan kota Surabaya. Selama ini, Risma konsisten menunjukkan independensinya sebagai BUKAN orang parpol.
Risma tak pernah terlihat ikut dalam acara-acara resmi partai apalagi
mengenakan jas dan atribut partai berlambang banteng moncong putih itu.
Terbiasa menjadi PNS puluhan tahun, menjadi abdi masyarakat dan bukan
abdi parpol.
Karena itu, jika seandainya rumor mundurnya
Risma kelak terbukti benar – semoga saja jangan pernah terjadi – maka
PDIP telah bertaruh sangat besar. Demi mempertahankan anak Soetjipto,
Risma terpaksa lepas. Meski Risma tak jadi mundur, masih perlu dilihat apakah Wisnu bisa sejalan dengan Risma atau justru jadi penghalang bagi kerja Risma. Maka, tak ada salahnya jika warga
Surabaya yang ingin Surabaya lebih baik di bawah kepemimpinan Bu Risma,
mencoba “menyeret” Risma keluar dari dominasi parpol. Kenapa tidak pada Pilwali 2015 Risma diusung menjadi Cawali independen?
Masih ada waktu 1,5 tahun bagi warga Surabaya untuk bahu membahu,
membentuk komunitas dukungan, mengumpulkan dana swadaya – misalnya 1000
perak sehari – untuk mengkampanyekan Bu Risma. Kampanye ala Bu Risma,
yang tidak suka narsis memajang wajahnya. Bukan dengan memasang spanduk
dan baliho besar-besar, bukan menempel stiker di tembok-tembok jalanan
atau memaku poster di pepohonan, tapi dengan kerja-kerja nyata dan
menyapa warga. Bagimana warga Surabaya, siap mengusung Cawali indepen?
Ira Oemar