“Surabaya sekarang ini sudah bukan miliknya PDIP lagi, Mbak”,
kata seorang teman yang kebetulan menjadi Ketua RW di salah satu
kelurahan di wilayah Surabaya Timur, beberapa hari usai Pemilu 2009
lalu. “Sepertinya bukan hanya di Surabaya, Mbak, di Jawa Timur juga”,
tambahnya. Teman yang sudah terbiasa jadi petugas KPPS itu
membandingkan dengan 2 kali Pemilu pasca reformasi, 1999 dan 2004,
dimana PDIP memenangkan mayoritas perolehan suara di banyak TPS, merata
di 31 kecamatan se-Surabaya. Tapi kali itu, Pemilu 2009, PDIP mengalami kemerosotan suara sangat signifikan, merata di seluruh wilayah Surabaya.
Bahkan, di kantong-kantong basis PDIP di Jawa Timur, fenomena penurunan
suara itu tidak hanya terjadi di Dapil Jatim I (Surabaya–Sidoarjo)
saja.
Beberapa dapil yang selama ini menjadi basis pendulang suara PDIP, turun perolehan suaranya, seperti
Dapil Jatim VI (Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kabupaten
Kediri dan Tulungagung) juga mengalami penurunan. Maka, PDIP Surabaya
yang selama 2 periode menjadi penguasa mayoritas kursi DPRD Surabaya, sejak 2009 terpaksa mengaku kalah pada Demokrat. PDIP yang pernah menguasai 24 kursi DPRD Kota Surabaya, kini harus puas hanya dengan 8 kursi saja.
Di tengah kemerosotan suara PDIP, setahun setelahnya di Surabaya akan digelar Pilwali. Bambang DH yang telah 2x masa jabatan menjadi Walikota, masih ingin maju lagi dengan
alasan periode pertama tidak penuh, hanya melanjutkan kepemimpinan
Soenarto Soemoprawiro yang meninggal pada tahun 2002. Sayangnya ambisi
Bambang DH terpaksa kandas karena Mahkamah Konsitusi menolak permohonan judicial review yang diajukannya.
Maka dimajukanlah pasangan Saleh Mukadar – Bambang DH. Hanya saja,
kalau kedua kader PDIP Surabaya itu yang maju, belum tentu kemenangan
didapat, mengingat anjloknya perolehan suara PDIP. Maka harus dicari
terobosan baru : menggandeng sosok populer yang dapat diterima warga Surabaya, tak hanya mengandalkan pemilih tradisional PDIP.
Maka dipinanglah Tri Rismaharini, Kepala Bapeko Surabaya, yang juga
mantan Kepala Dinas Pertamanan, yang cukup populer di kalangan warga
Surabaya. Keberadaan Risma sebagai figur yang non partisan, akan mampu
memperluas segmen dukungan tak melulu hanya pada pemilih tradisional
PDIP.
Sampai disini bisa dilihat, siapa yang lebih membutuhkan siapa.
Apakah Risma yang butuh PDIP karena dia berambisi sekali jadi Walikota?
Atau PDIP yang butuh Risma untuk mendongkrak popularitas sekaligus
elektabilitas? Dalam jawabannya di Mata Najwa, Risma mengaku saat
dicalonkan dulu sebenarnya keluarganya tak setuju dan dia sendiri pun
tak menyangka bakal memenangkan Pilwali. Bahkan pernah ditulis di
Kompasiana yang kemudian dikutip ke Kompas, bahwa saat itu Bu Risma
sempat menghubungi salah satu ulama, minta didoakan agar dirinya tak jadi Walikota. Tapi Tuhan punya rencana lain, pasangan Risma – BDH memenangkan Pilwali.
Baru 100 hari dilantik, Risma
digoyang. Tepat 4 bulan menjabat, Risma dilengserkan melalui hak angket
yang berujung pada penandatanganan permohonan pencopotan Risma oleh 6
fraksi dari 7 fraksi di DPRD Surabaya – minus PKS – untuk diajukan ke
Mahkamah Agung. Tapi sekali lagi Tuhan berkehendak lain. Lagi-lagi Risma
selamat, pemakzulan dianulir Mendagri.
Kini, tepat 3 tahun setelah
peristiwa pemakzulan yang gagal total itu, salah satu dari duo
“sutradara” pemakzulan : Wisnu Sakti Buana (WSB), dilantik menjadi Wakil
Walikota, yang akan mendampingi Risma selama 1,5 tahun sisa masa
jabatannya. Sekitar 10 hari sebelum pelantikan, WSB ditemani
pendahulunya BDH, mulai bersosialisasi kepada sebagian warga Surabaya. “Ini Pak Wisnu adalah pengganti saya, sekarang dia Wawali, ini calon pemimpin Surabaya, biar kenal dan dekat dengan warga,” kata Bambang DH, mantan Walikota Surabaya di hadapan ribuan warga dalam acara Grebek Maulud di Rangkah, Surabaya, Selasa, 14 Januari 2014.
Menurut Bambang DH, sebagai kader partai, kinerja Wisnu tidak akan
optimal membantu warga jika statusnya hanya sebagai Wakil Walikota.
Dalam Pilwali mendatang, BDH optimis PDIP akan merekomendasikan WSB
sebagai calon walikota. Dan waktu satu tahun
menuju Pilwali, diharapkan Wisnu bisa lebih optimal dalam menjangkau
masyarakat sehingga lebih dikenal dan dekat dengan masyarakat. Harap dicatat, pernyataan itu bahkan sudah disampaikan 10 hari sebelum Wisnu dilantik.
Apa pendapat WSB sendiri? Ditemui di saat dan lokasi acara yang sama, WSB mengaku akan menjalankan amanat partai jika pada pilkada 2015 dia dicalonkan sebagai Walikota menggantikan Tri Rismaharini. WSB yang juga Ketua DPC PDIP Surabaya itu mengaku untuk saat ini dirinya fokus pada pemenangan pemilu 2014.
Dia sendiri optimis PDIP akan kembali merebut kemenangan di Surabaya dengan minimal meraih 40% suara. “Kita
akan konsentrasi pada pertempuran akbar tahun ini, ini adalah tahun
penentuan, perkara pilkada nanti kita ndak mau konsentrasi kita
terpecah,” ujarnya pada suarasurabaya.net. Sekali
lagi perlu dicatat : menjadi Wawali hanya sasaran antara. WSB justru
akan lebih fokus pada pemenangan partainya pada Pileg 9 April nanti, sehingga PDIP dapat kembali berjaya di Surabaya. Ujung-ujungnya WSB akan mendapat reward
dicalonkan menjadi Walikota Surabaya. Ingat, ancang-ancang menjadi
walikota bahkan sudah disampaikan 10 hari sebelum resmi dilantik jadi
Wawali. Dan fokus konsentrasi Wisnu saat ini pada bagaimana memenangkan partainya pada Pileg 2014, BUKAN membenahi Surabaya.
Entah apa hubungannya, di sela-sela acara Gerebek Maulid pada 10 Januari lalu, tiba-tiba BDH mengundhat-undhat (bahasa Jawa : mengungkit-ungkit/menggugat) soal dana kampanye Risma. BDH
menilai Risma mulai melupakan komitmen awal saat dirinya diusung PDIP
pada Pilwali 2010. Padahal, kata BDH saat itu Risma tak keluar uang
sepeserpun ketika pilkada karena semua dibiayai secara
gotong royong dari seluruh kader partai. BDH bahkan menceritakan Risma
sempat menghadap Ketua DPC PDIP Surabaya yang dijabat WSB, Risma
menyampaikan dirinya mendapat rekomendasi sebagai calon walikota,
padahal hanya punya uang Rp. 70 juta dan mobil kijang.
Disinilah tampak jelas
perbedaan persepsi dan sudut pandang antara Risma yang sama sekali bukan
orang politik, dengan BDH atau WSB yang memang kader parpol. Sebagai
seorang profesional dan birokrat karir, wajar jika Risma kaget dirinya
dipinang parpol dan mendapat rekomendasi maju jadi Cawali. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa calon yang akan maju berlaga di Pilkada – apalagi
kalau bukan kader parpol –akan diminta menyetorkan sejumlah “uang mahar”.
Jadi, wajar jika Risma dengan kejujurannya menyampaikan bahwa harta
yang dimilikinya hanyalah tabungan Rp. 70 juta dan mobil kijang. Artinya
sejak awal Risma berusaha terbuka menyampaikan bahwa dirinya tak punya modal materi untuk maju menjadi Walikota Surabaya.
Sebaliknya, BDH dengan kacamata
politisi-nya, berpandangan pragmatis, khas para politisi parpol. Jika
dulu diusung parpol, apalagi kalau tak keluar sepeserpun uang untuk
proses Pilkada, maka harus “tahu diri” terhadap partai. Rupanya BDH
“menagih” komitmen Risma terhadap partai pengusung. Padahal, sebagai
negawaran, seharusnya berpegang pada prinsip : “Loyalitas saya pada partai berakhir ketika loyalitas saya pada negara dimulai”. Seperti juga kata BJ. Habibie di acara Mata Najwa, seorang
pemimpin setelah dia dipilih haruslah melepaskan semua atribut
partainya, melepaskan semua jabatan di parpol dan menjadi milik seluruh
rakyat, bukan lagi berjuang untuk parpol. Itulah yang dilakukan
Risma, sejak dulu dia sudah terbiasa menjadi abdi negara (PNS) yang tak
boleh partisan. Apalagi sejak menjadi Walikota Surabaya, maka dia
menjadi pelayan warga Surabaya, berkomitmen pada rakyat pemilihnya, bukan pada partai pengusungnya.
Dari sudut pandang masing-masing, tentu saja Risma salah dimata BDH yang kader dan politisi PDIP. Dimata
seorang politisi yang bukan negarawan, maka Risma adalah sosok yang tak
tahu diri akan komitmennya pada parpol pengusung. Sekali lagi
ini soal pragmatisme politik yang menggejala di negeri ini sejak pasca
reformasi. Pilkada tak lebih sekedar ajang politik transaksional antara
tokoh yang diusung dan parpol pengusungnya. Risma telah menyalahi
konsensus tak tertulis yang kaprah terjadi di tubuh parpol. Politisi PDIP Jatim, Kusnadi bahkan menuduh Risma berkhianat pada PDIP. Buktinya pada saat BDH maju sebagai Cagub Jatim, Risma tak sedikitpun memberi dukungan apalagi ikut berjuang memenangkan BDH.
Nah, sekali lagi ini beda sudut pandang politisi versus birokrat
pelayan rakyat. Politisi parpol selalu bisa disuruh-suruh parpol, dengan
dalih “menjalankan tugas partai” untuk berkampanye bagi rekan
separtainya. Risma tidak, dia menjalankan tugasnya sebagai Walikota, tak
ada waktu untuk cuti berkampanye bagi BDH. Lagi pula, jika nama BDH
melekat di hati rakyat, tentunya dia akan dipilih. Faktanya, perolehan
suara BDH sangat tidak signifikan dalam Pilgub Jatim. Jangankan di
seantero Jatim, bahkan di Surabaya yang pernah dipimpinnya pun BDH kalah
telak!
Bagaimana di mata warga
Surabaya? Mayoritas warga Surabaya sudah apatis dengan partai politik
dan antipati terhadap politisi. Sejak pasca reformasi, berbagai akrobat
dan intrik politik di DPRD Surabaya memang memuakkan. Jadi, bagi warga
Surabaya sendiri tak masalah meski Bu Risma dianggap tak tahu etika
politik, sebab yang mereka butuhkan adalah pemimpin yang punya
kepedulian pada kesejahteraan rakyatnya dan punya komitmen pada penataan
kota yang lebih baik, lebih nyaman ditinggali dan aman. Warga Surabaya sudah melihat hasilkerja nyata Bu Risma. Karena itu, pernyataan ngundhat-undhat Bambang DH itu justru memicu kemarahan warga Surabaya dan makin menguatkan tekad untuk mengusung Bu Risma jadi Wakilota lewat jalur independen.
ISSU RISMA MUNDUR
Sekitar 2 pekan setelah
pernyataan-pernyataan BDH dan WSB di atas dan setelah WSB dilantik jadi
Wakil Walikota, di penghujung Januari 2014 beredar issu Bu Risma akan mundur. Jelas,
issu itu baru merebak setelah WSB dilantik dan Risma mempersoalkan
prosedur pengajuan WSB sebagai cawali yang menurut Panlih DPRD Surabaya
tidak prosedural. Bahkan Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan bahwa secara
peraturan dan perundang-undangan, seharusnya Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini yang mengusulkan nama Wisnu Sakti Buana sebagai calon
wakilnya kepada DPRD pada saat proses pemilihan Wakil Walikota, sebagaimana dikutip Kompas.com. “Mekanismenya, wali kota mengusulkan 2 nama ke DPRD kemudian dari DPRD ke Gubernur, lalu Gubernur ke saya,” ujar Gamawan di Gedung Kemendagri, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Pebruari 2014.
Jelas, kemunduran Risma dipicu
oleh ketidaknyamanan harus berpasangan dengan seorang yang dulu pernah
memakzulkannya. Namun apa reaksi PDIP? Mereka – dari PDIP Surabaya, PDIP
Jatim sampai DPP PDIP – seakan kompak menafikan faktor ketidakcocokan Risma dengan WSB.
Pernyataan-pernyataan elite politik PDIP di berbagai media massa,
justru menuding pihak-pihak lain yang jadi penyebab Risma ingin mundur.
Sampai-sampai seorang komentator di Kompas.com menulis kurang lebih
begini : “Coba saja ibu Mega suruh berpasangan sama orangnya PDI Surjadi yang dulu pernah melengserkannya, mau enggak?”. Ya, sebagai sesama perempuan dan pernah mengalami upaya disingkirkan, Megawati seharusnya bisa berempati pada kondisi Risma.
Tak usah mundur terlalu jauh sampai
ke masa Orba dimana Mega disingkirkan PDI kubu Surjadi. Mari kita
tengok peristiwa Maret 2003, ketika Mega merasa ditelikung SBY yang
diam-diam ternyata akan mencalonkan diri jadi capres. Itu baru mau akan
maju jadi pesaing di Pilpres lho, bukan melengserkan,
Megawati sudah sedemikian marahnya pada SBY. Bahkan Taufik Kiemas waktu
itu sempat melontarkan ejekan pada SBY yang akhirnya membuat SBY mundur
dari Kabinet dan pasca peristiwa itu justru membuat elektabilitas SBY
naik. Sejarah kemudian mencatat, hubungan Mega dengan SBY bak
perseteruan dua musuh bebuyutan. Mega tak pernah mau bersalaman dengan
SBY, menoleh pun tidak meski berada dalam satu forum acara yang sama.
Mega baru mau menerima salaman SBY 10 tahun kemudian, yaitu pada
pemakaman Taufik Kiemas, tahun 2013. Jadi, cobalah
Megawati sedikit berempati, bagaimana sulitnya bersanding seperahu
dengan orang yang jelas-jelas pernah menjadi dalang “penikaman” dirinya. Tidak nyaman sekali bukan?
Pernyataan-pernyataan elite
PDIP seperti Tjahjo Kumolo dan Puan Maharani justru menjadi blunder yang
tidak menyelesaikan masalah. Puan mengatakan, sebaiknya Risma tak
berbicara keluar partai, jika ada yang ingin disampaikan pada Bu Mega,
sampaikan saja pada Puan nanti akan diteruskan kepada Ketua Umum
(Megawati). Ini justru menunjukkan bahwa Risma memang tak semudah itu
bertemu – apalagi curhat langsung – dengan Megawati. Masalah sudah
berlarut-larut pun Mega tetap duduk di menara gading dan tak turun
tangan. Pembelaan-pembelaan politisi PDIP terhadap
Wisnu, justru mengesankan WSB jauh lebih dipertahankan ketimbang Risma.
Banyak kalangan, termasuk pengamat politik, menilai PDIP lebih memilih kehilangan Risma ketimbang WSB.
Tak sedikitpun ada upaya PDIP – yang selalu mengusung jargon partai wong cilik
– untuk menengok ke Surabaya dan melakukan jajak pendapat langsung
kepada warga Surabaya, apakah mereka lebih menghendaki WSB atau Risma. Padahal,
bagi partai sebesar PDIP, semestinya punya “intel politik” yang bisa
menyusup ke komunitas-komunitas dukungan terhadap Risma, untuk mendengar
langsung kegeraman warga Surabaya. Bagi arek-arek Suroboyo, peduli amat
dengan politik, “atiku loro, ibukku dilarani, tak bales sing ngelarani ibukku” (Hatiku sakit, Ibuku disakiti, akan kubalas yang menyakiti Ibuku). Maka, bersiaplah PDIP menerima punishment politik dari warga Surabaya pada Pileg yang tinggal 40 hari lagi.
Warga Surabaya paham, yang membuat Ibu Risma tak nyaman adalah keberadaan WSB. Nah, masihkah PDIP akan tutup mata dan telinga atas kondisi riill aspirasi masyarakat Surabaya yang menolak Wisnu dan mempertahankan Risma? Akankah PDIP yang katanya ‘partainya wong cilik’ berbalik jadi ‘partainya wong licik’? Upaya
PDIP mempertahankan BDH sebagai caleg meski telah ditetapkan sebagai
tersangka kasus korupsi japung dan kini kasusnya sudah dilimpahkan ke
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, serta upaya untuk mempertahankan WSB, makin menunjukkan bahwa PDIP berkhianat atas slogannya sendiri, PDIP menutup telinga atas aspirasi rakyat. Semoga belum terlambat bagi PDIP untuk menyadari bahwa kebencian dan antipati warga Surabaya sudah mencapai puncaknya.
Catatan : Ira Oemar