Selasa, 11 Pebruari 2014, tepat jam 9 pagi saya
sudah berdiri di depan pintu masuk KBS. Semalam saya diperkenalkan
dengan Mbak Sutini, karyawan KBS, oleh Ibu Aridha Prasetya, sahabat
Kompasianer yang tinggal di Surabaya. Setelah memberi tahu Mbak Sutini
bahwa saya sudah di KBS, saya pun menuju loket penjualan tiket masuk,
membeli selembar tiket dan menunggu Mbak Sutini. Setelah bertemu, Mbak
Sutini memberi tahu kalau Pak Agus Supangkat, Humas KBS, belum ada di
tempat. Saya pun memutuskan untuk berkeliling KBS dulu, nanti kalau Pak
Agus sudah datang, Mbak Sutini akan menghubungi saya.
Karena yang terdekat dari pintu masuk adalah
kandang unggas, saya berkeliling di sekitar kandang unggas dulu. Yang
pertama menarik perhatian saya kandang merak. Saya lihat 2 ekor merak
biru, bulu ekornya yang biasanya panjang, lebat dan berwarna-warni, kini
hanya tersisa beberapa helai saja. Kebetulan ada petugas yang sedang
membersihkan kandang. Saya tanyakan kenapa bulu ekornya jadi begitu.
Petugas itupun menjelaskan kalau si merak sedang mengalami siklus
pergantian bulu yang bisa berlangsung sekitar 3 bulanan, untuk nantinya
berganti bulu yang baru. Petugas itupun menunjukkan saya jenis merak
lain, yaitu merak hijau, yang ekornya “buntung”. Artinya semua bulu
sudah rontok dan kini masih menunggu proses tumbuhnya bulu baru. Kini,
mengertilah saya, bahwa merak pun seperti ular, ada masanya berganti
bulu. Saya bayangkan, dalam kondisi KBS yang sedang disorot
habis-habisan, lalu ada yang melihat si merak buntung dan si merak
rontok bulunya, bisa jadi kabar yang keluar justru negatif : merak tak
terawat sehingga bulunya habis.
Setelah berkeliling beberapa kandang unggas,
saya berganti ke kandang binatang buas. Melihat 2 ekor beruang yang
tampak sedang bersantai. Saya sempat berpikir : kasihan juga beruang
yang habitat hidupnya di tempat yang bersuhu rendah, sementara Surabaya
dari ‘sononya’ suhunya tinggi. Tapi tampaknya kedua beruang itu sudah
terbiasa dengan kondisi kandangnya. Untung saja pepohonan di sekitarnya
cukup banyak, sehingga suasana rindang masih bisa dirasakan.
Dari kandang beruang saya ke kandang harimau,
dimana sekelompok anak TK dan guru-guru mereka disertai pemandu sedang
bergerombol di depan kandang harimau Sumatra. Ada 3 ekor harimau Sumatra
yang saya lihat, satu sedang asyik tidur, yang satu duduk manis dan cuek
dengan ramainya pengunjung, sedang yang satu justru sibuk hilir mudik
mengitari kandangnya. Tak ada yang istimewa dari kandang-kandang hewan
yang saya kunjungi. Sebagian memang sedang direnovasi atau sedang
dibangun sarana buatan dari semen mirip bebatuan alam, untuk kenyamanan
satwa. Kesan yang saya tangkap, kondisi KBS cukup bersih. Lokasi-lokasi public facilities
pun bersih, termasuk toilet umum yang lantainya putih, bersih dan tidak
meruakkan bau pesing. Diantara kali buatan tempat kandang buaya,
dipisahkan dengan jembatan. Jembatan itu pun bersih sekali,
sampai-sampai sepasang pasutri membiarkan putri kecil mereka merangkak
di jembatan itu.
Tak sengaja langkah kaki saya tiba di suatu
tempat yang sepi pengunjung. Ada tulisan “Dilarang memberi makan satwa
dalam perawatan”. Saya tertarik, saya pikir ini satwa yang sedang sakit
dan dipindahkan dari kandangnya. Ternyata dugaan saya keliru. Satwa yang
ada disitu adalah anak satwa yang masih perlu perawatan khusus, namun
induknya tak mau atau tak bisa merawat, sehingga perawatan anak satwa
pun dilakukan oleh para petugas KBS yang disebut “keeper”. Ada anak orang utan dan sejumlah anak ular yang saya tak berani memotret karena saya ‘gilo’
(maaf, sulit menterjemahkan kata ‘gilo’ ke dalam bahasa Indonesia.
Antara jijik dan takut, kira-kira begitu). Juga ada satu kandang khusus
untuk bayi-bayi komodo yang mirip tokek raksasa.
Saya menyapa seorang petugas paruh baya yang
ada di dekat kandang itu, sebut saja namanya Pak YS. Ketika saya hendak
bertanya soal bayi komodo, Pak YS menunjukkan rekannya “Iki lho mbak, keeper e” (ini lho mbak, keepernya). “Iyo mbak, aku iki keeper e arek-arek sing nakal iku” candanya (Iya mbak, aku ini keepernya anak-anak yang nakal itu), sambil menunjuk sekelompok bayi komodo. Keeper
yang murah senyum dan sabar itupun menjelaskan kalau di kandang itu ada
17 bayi komodo yang menetas tahun lalu, sayang salah satunya mengalami
cacat bawaan sejak menetas. Yaitu tulang punggungnya agak bengkok. Keeper
itupun menunjukkan mana bayi komodo yang mengalami kelainan tulang
punggung. Memang geraknya terlihat lebih lamban dan ia selalu berada di
sudut. Saya kemudian mencoba memotret berkali-kali aksi bayi-bayi komodo
itu.
Pak YS menyapa saya “Mbak, sampean teko endi?”
(Mbak, anda dari mana?). Ketika saya jawab dari Jakarta, Pak YS
bertanya lagi bukankah di Jakarta ada bonbin yang lebih besar dan lebih
bagus, ‘ngapain saya harus ke Surabaya. Saya jelaskan bahwa saya ini aslinya “arek Suroboyo”.
Kebetulan ada saudara yang sedang punya hajat, jadi saya pulang
kampung, sekalian ingin mengunjungi KBS. Pak YS tampak tak percaya
alasan saya, meski saya berbicara dengan dialek Suroboyoan dan logat Suroboyo yang kental. Dia menebak saya ini awak media, katanya dilihat dari penampilan dan tas-nya. Saya sampai tertawa ngakak,
karena penampilan saya jauh dari kesan wartawan atau reporter. Tapi Pak
YS tetap saja tak percaya ketika saya jelaskan saya hanyalah. seorang
warga Surabaya yang ingin melihat sendiri kondisi KBS yang belakangan
ramai diberitakan.
Akhirnya, saya katakan padanya bahwa sesekali
saya menulis, tapi tulisan saya itu bukan di koran atau majalah. Saya
menulis di ‘internet’ – saya rasa dia tak paham apa itu citizen journalism – dan itu bukan profesi saya. Pekerjaan saya hanyalah seorang karyawan di perusahaan swasta. Lalu dia bertanya “Lha lapo sampean gawe gelang barang?”
(Untuk apa anda pakai gelang segala), tanyanya. Saya sempat bingung.
Tapi kemudian dia menunjuk pada tiket masuk yang dipakai melingkari
pergelangan tangan. “Opo’o kok gak nduduhne kartune wae?” (Kenapa tak menunjukkan kartunya saja), tambahnya masih dengan pandangan menyelidik.
Saya katakan bahwa saya ini pengunjung umum,
jadi wajib membeli tiket masuk dan mengenakannya selama di lokasi KBS.
Profesi saya bukan wartawan, jadi tak memiliki kartu pers yang
memungkinkan saya masuk gratis. Dan karena menulis bukan pekerjaan saya,
jadi saya tak punya target untuk menulis suatu berita. Saya bisa
menulis apa saja yang saya lihat, dengar dan rasakan, kapan saja saya
mau, sebaliknya saya bisa juga tak menulis sampai kapanpun saya mau.
Tampaknya dia mulai melunak dan mempersilakan saya duduk serta jagongan (mengobrol) bersamanya dan dua rekannya.
Katanya dia mulai percaya saya “wartawan” yang
lain dari wartawan biasanya. Wah, ternyata masih sulit untuk membuatnya
percaya saya bukan awak media. Kebetulan melintas 2 reporter dan
kameraman Metro TV, katanya mereka setiap hari membuat liputan di KBS
untuk edisi berita Metro TV khusus channel Jawa Timur. Setelah
awak Metro berlalu, dia bertanya pada saya, apa yang akan saya tuliskan.
Saya katakan, sebagai arek Suroboyo, saya ingin tahu seperti apa
kondisi KBS. Saya tunjukkan beberapa foto yang sudah saya ambil. Saya
sampaikan kesan kekaguman saya pada kebersihan KBS, termasuk toiletnya.
Tapi saya tetap ingin tahu, benarkah banyak satwa yang mati akhir-akhir
ini.
Ketiga keeper itupun bergantian menjelaskan, bahwa fenomena satwa mati itu sudah sejak dulu selalu ada (lihat BAGIAN-1).
Pemicunya ada 3 faktor, bisa karena usia satwa yang sudah tua, sakit
yang tak bisa disembuhkan dan perkelahian antar satwa sekandang. Saya
pun coba memancing soal kematian Michel, seekor singa yang matinya
diduga tidak wajar. Mereka pun sama-sama geleng kepala, pertanda tak
tahu kenapa bisa kejadian seperti itu. “Yang jelas, mbak, kalo kami-kami yang keeper ini, gak mungkinlah membunuh satwa asuhan kita”, kata mereka. Pak YS pun menjelaskan, bertahun-tahun merawat satwa, sudah terjalin hubungan batin yang erat antara keeper dengan
satwa yang dipercayakan pada mereka. Sebuah hubungan yang dilukiskannya
sebagai saling ketergantungan, saling membutuhkan, sudah seperti
“saudara” sendiri.
“Mana bisa mbak, kita ini mau menyakiti.
Sedangkan kalo satwa itu sakit, dia gak ngomong aja kita tahu kok kalo
dia itu pengen mengeluh”, katanya. “Coba kita tatap matanya, gak usah ngomong, ‘ooh…, iya, kamu ini yang ngasih makan anak-anakku, yang nyekolahin anak-anakku…’ perasaan kita begitu mbak”,
tambahnya.
Saya mendadak tercekat, apalagi melihat mata Pak YS seolah
menerawang jauh. Saya pun membuang pandangan dan mengalihkan tatapan ke
bayi-bayi komodo. Oh, Tuhan, mereka, struktur terendah dalam organisasi
KBS, yang sampai tua mengabdi merawat satwa, sampai sebegitunya merasa
diri bahwa kehidupannya tergantung pada keberadaan satwa-satwa yang
diasuhnya. Sampai dia merasa bahwa satwa itulah yang memberi makan
anak-anak mereka. Sehingga ada rasa memiliki yang kuat pada satwa yang
dipercayakan ke tangan mereka.
Pak YS dan teman-temannya sempat curhat, mengungkapkan kekesalannya pada sejumlah media yang kerap memuat berita tak sesuai fakta. “Saya pernah, mbak, diwawancara, eeeh…, besoknya yang keluar ndak seperti yang saya omongkan”,
katanya. Teman yang lain menimpali bahwa dirinya pernah disebut sebagai
yang memberikan keterangan, tapi ternyata keterangannya sudah
dipelintir. Makanya mereka berharap saya mau menuliskan keterangan dan curhat mereka apa adanya.
“Semua ini kan ada maksudnya, mbak. Kalau
bilang KBS sekarang jelek, gak bisa merawat satwanya, berarti kan ndak
percaya sama kita-kita ini. Kalo ndak percaya sama kita sih ndak
apa-apa, ndak mungkin kita yang kena. Tapi ‘kan pasti bukan kita mbak,
yang kena. Pasti Bu Risma yang kena. Nhaa…, jadinya yang dibilang ndak
enthos (tidak becus) kan Bu Risma” katanya. Pemahaman wong cilik atas blow up dan over exposed media – terutama media asing – yang berlebihan atas KBS. “Namanya
pulitik itu kan kotor, mbak! Pulitik itu bisa apa saja kalo sudah ndak
suka, bisa lewat mana saja. Nhaa.., sampean ngerti toh maksudku?” tanyanya.
Maksudnya, bidikan lewat ketidakbecusan mengurus KBS akan membuat Bu
Risma terdeligitimasi dan Pemkot Surabaya tak mendapatkan ijin untuk
mengelolanya lagi. Sehingga pihak yang punya kepentingan bisnis bisa
lebih mudah masuk. Saya mengangguk mengiyakan.
“Makane, mbak, nek sampean bener arek Suroboyo, mau ndak sampean menyuarakan kalo nanti ada acara Surabaya Bicara?”
ia kembali bertanya. Saya jawab : saya sih berani saja, hanya saja
besok saya sudah pulang dan kalau acara itu berlangsung, saya tak
mungkin pulang ke Surabaya lagi. Pak YS tak putus asa, ia meminta nomor
HP saya. Nanti kalau acara itu jadi diadakan, dia akan hubungi saya.
Saya pun berjanji akan meminta rekan saya yang hadir ke acara itu.
Obrolan itu terjadi Selasa siang, 11 Pebruari
2014. Esok malamnya, Rabu, 12 Pebruari 2014, Bu Risma muncul di acara
Mata Najwa dan langsung menimbulkan reaksi simpati hingga lahirnya
gerakan moral #SAVERISMA.
Kini, kepedulian arek-arek Suroboyo untuk membentengi Ibu Walikota yang
mereka sayangi, bergulir kian hari kian mengkristal. Kohesi sosial
sesama warga Surabaya dalam 2 pekan ini seakan makin mengejawantah lewat
media sosial, bahkan kemarin, Minggu pagi di Taman Bungkul, sekelompok
rekan yang tergabung dalam Grup #SaveRisma di facebook,
berkumpul dengan berbagai elemen masyarakat pendukung Ibu Risma lainnya,
mematangkan rencana-rencana gerakan moral untuk menyelamatkan Ibu Risma
dari berbagai gangguan yang berpotensi mengacau kerja Bu Risma
membenahi kota Surabaya, setidaknya sampai akhir masa jabatan.
Pak YS
sampai sekarang belum menghubungi saya lagi, saya pun tak sempat
menghubunginya, sebab 3 hari setelah kepulangan saya dari Surabaya, Ibu
saya sakit dan banyak urusan yang harus saya selesaikan. Tapi saya
yakin, kalau acara itu suatu saat dilaksanakan, arek-arek Suroboyo akan
siap berbicara, termasuk mempertahankan keberadaan KBS sebagai asset
kota yang berada di jantung Surabaya. Pak YS, jangan kuatir, sampean
dan teman-teman tetap akan bisa memberi makan satwa-satwa itu, seperti
juga satwa-satwa itu akan tetap “memberi makan” anak-anak sampean.
Ira Oemar