Kamis pagi pekan lalu, saya dikejutkan sebuah foto
yang diposting salah satu teman di grup BBM alumni SMA saya. Dia
memotret berita sebuah koran lokal tentang “Mantan Angggota DPRD Penadah
Motor Curian”. Kebetulan teman saya tersebut seorang PNS yang
di-BKO-kan ke KPUD setempat (bukan komisioner KPUD). Dia memberi judul
foto itu “satu persatu dipreteli”. Saya tak paham apa maksud
judul itu, apalagi foto pelaku tak jelas. Terlihat jelas pun belum tentu
saya kenal karena sudah puluhan tahun saya tak lagi tinggal di kota
itu.
Tak lama berselang, beberapa teman mengomentari
foto itu. Saya yang tak tahu apa-apa hanya bertanya : siapa dia, dari
partai apa, kok menjijikkan sekali kelakuannya. Seorang teman menjawab
nama orang tersebut dan menyebut nama eks parpol yang dulu dia wakili di
DPRD sebelum kemudian di PAW. Kini orang tersebut pindah ke partai lain
dan mencalonkan diri kembali untuk ikut Pileg 9 April 2014 nanti. Innalillahi…!!!
Tak lama, salah satu teman yang tadi menjawab, mem-PING saya dan kami pun ngobrol. “Ira,
aku tahu banyak tentang dia. Aduuuh, kasusnya banyak Ir, gak hanya itu,
macem-macem pokoknya. Aku tahu pasti soalnya istrinya sering curhat
sama aku”, teman saya nyerocos di BBM. Saya pun mencoba
menjadi pendengar yang baik, sesekali bertanya kalau ada yang kurang
jelas. Karena terlalu semangatnya teman saya cerita, alurnya
melompat-lompat. Tampaknya teman saya ini sudah lama ingin bisa
mengeluarkan uneg-uneg yang dia tahu. Hanya saja tak mungkin dia bicara pada sembarang orang. Teman saya itu memang ramah, gaul, menyenangkan dan teman ngobrol yang enak. Tak salah kalau banyak yang menjadikannya tempat curhat.
Baiklah saya rangkum saja kisah si mantan anggota
DPR sekaligus caleg itu. Sebut saja namanya si X, awalnya X seorang
Kades (kepala desa) dari Desa A, yang letaknya “pucuk gunung”
– benar-benar di daerah pegunungan – di sebuah kota kecil di Jawa
Timur. Bukan Kades yang dipilih melalui pemilihan, namun dijabat secara
turun temurun dari orang tua/keluarganya. Si X ini pendidikannya
setingkat SMA, lulus dari situ ia dinikahkan dengan “gadis cilik”
pilihan ortunya. Gadis cilik sebab memang si gadis sebenarnya masih di
bawah umur, belum layak menikah. Namun karena ortunya “penguasa” di
desanya, apalagi terjadi sekitar 25 tahun lalu, semua bisa diatur.
Perjodohan antar keluarga seperti itu jamak terjadi di kampung, agar
harta kekayaan keluarga tak lari kemana. Masih ada hubungan keluarga
antara si X dengan gadis cilik yang dijodohkan dengannya.
Seiring berjalannya waktu, jabatan Kades pun tiba ‘giliran’nya dijabat si X. Ketika era euphoria
multi partai pasca reformasi, X mencalonkan diri jadi caleg DPRD
kabupaten tempat tinggalnya dari parpol yang didirikan oleh tokoh ulama
yang jadi panutan mayoritas warga di sana. Si X terpilih, jabatan Kades
“dihibahkan” kepada istrinya untuk melanjutkan. Sayangnya, si X yang
memang berkelakuan buruk, semakin merajalela setelah jadi anggota dewan.
Ia terlibat banyak kasus, mulai penggelapan dana bantuan sapi,
penggelapan dana-dana bantuan lainnya, penipuan, penadah hasil curanmor
sampai menjadi pemakai dan pengedar narkoba. Ironisnya, setiap ajang
pesta demokrasi 5 tahunan, X selalu mencalonkan diri dan selalu
terpilih. Maklumlah, sekampung masih terhitung keluarga dan kerabatnya
semua. Soal partai, X pindah-pindah parpol, termasuk yang terakhir,
Pemilu 2009 lalu ia bernaung di bawah parpol yang tak lolos parliamentary treshold secara nasional, namun kursinya di DPRD Kabupaten setempat masih terpenuhi.
Bukan hanya kejahatan seperti itu saja, si X juga
punya banyak selingkuhan. Hidupnya tak pernah sepi dari selingkuh.
Inilah yang membuat istrinya kerap curhat pada teman saya. Saya tanya
kenapa si istri tak memilih cerai saja. Kata teman saya “kondisi tak
memungkinkan Ira, mereka kan masih ada hubungan keluarga, tinggalnya
juga kumpul di situ semua, gak mungkinlah, kamu bisa bayangkan!”
Saya pun paham kondisi tak memungkinkan yang dikatakan teman saya.
Selingkuhan si X rata-rata masih seumuran anaknya yang SMA atau baru
lulus SMA.
Kata teman saya, kerap putri pertama X melabrak selingkuhan bapaknya, karena meletakkan bong sabu
sembarangan di jok mobil mereka, sehingga teman-teman putrinya X tahu.
Anak perempuannya ini selepas SMA dimasukkan jadi PNS dengan jalan
menyuap. Akhirnya ketahuan dan dikeluarkan, kini ia memilih kuliah.
Sedangkan anak lelakinya, awalnya muak dengan kelakuan bapaknya yang
suka selingkuh. Tapi lama kelamaan, anak lelaki ini jadi ikut kelakuan
bejat bapaknya. Ketika masih SMP, anak lelaki X sudah terlibat video
porno. Hanya saja karena mereka tinggal di kota kecil, tak terekspose
media. Setelah SMA, anak lelaki ini sudah punya 2 anak, entah hasil
hubungan di luar nikah atau dinikahkan resmi, saya tak menanyakan. Si
anak sama sekali tak merasa malu, malah bangga menceritakannya pada
teman saya, sahabat ibunya. Bukan hanya punya 2 anak, anak lelaki X ini
sudah terbiasa melakukan seks bebas dengan siapa saja, termasuk dengan
perempuan bule. Mungkin kelakuan itu wujud pemberontakannya pada sang
ayah. Maklum, anak usia ABG hingga remaja yang sedang mencari jati diri,
mendapat contoh buruk dari bapaknya.
Selingkuhan si X terkadang berani melabrak
istri sah X, bahkan sampai menyatroni rumahnya dan memecahkan kaca
segala. Rumah X sendiri terbilang megah, “istana megah yang tersembunyi di pucuk gunung”,
kata teman saya. Meski X punya banyak selingkuhan dan hanya dijadikan
teman kencan saja, namun ortu dari selingkuhan-selingkuhan X umumnya
bangga anaknya dikencani anggota dewan, kaya pula. Salah satu
selingkuhannya adalah anak penjual rujak langganan teman saya. Si ibu
penjual rujak dengan bangga cerita anaknya jadi “pacar” si X, meski tahu
si X orang bejat. Kini rumah ibu itu dibangun mentereng dan tanahnya
diperluas. Maklum, selain dikencani, selingkuhannya itu disuruh
merangkap jadi kurir narkoba, kaki tangan X. Bahkan rumah yang sudah
dirombak itu kini jadi pangkalan orang yang bertransaksi narkoba. Pantas
saja uangnya banyak.
Kini, istri sah X malah punya anak bayi. Kata teman
saya, itu hanyalah cara X membuat istrinya tak bisa kemana-mana, di
rumah terus, sibuk mengurus bayi, hingga tak bisa ke kota dan mendengar
banyak kabar buruk soal kelakuan suaminya. Beberapa waktu lalu X di PAW,
karena pindah parpol. Maklum parpol yang mengantarnya ke kursi DPRD
Pemilu 2009 lalu, tak punya tiket untuk berlaga di Pileg 2014. Jadi X
harus segera cari ‘tunggangan’ baru. “Capek aku ngitunginnya, Ira, pokoknya dia ganti-ganti partai terus tiap Pemilu”, kata teman saya.
Makin dekat ajang Pileg, rupanya ada yang
membongkar borok-borok X. Entah kenapa, “kesaktiannya” sudah tak
mandraguna lagi. Dimulai dari kasus penadahan motor curian yang
dibongkar, kata teman saya, dia sudah dengar issu bahwa nanti
kasus-kasus lainnya akan digeber. Bahkan mobil-mobil mewah buatan Eropa
milik X, kemungkinan tak lama lagi dimilikinya, sebab semua mobil itu
diperoleh dengan jalan menipu showroom/dealer. Teman saya kelihatannya lega akhirnya satu demi kejahatan X akan dibongkar. “Wes susah Ir, gak bisa lagi dinasehati, percuma”,
keluhnya. Saya pun membesarkan hatinya bahwa orang seperti itu memang
telah membutakan mata dan menulikan telinga, hatinya telah membatu,
hanya Allah saja yang bisa memberinya pelajaran. Teman saya berdoa
semoga X sadar kalau nanti jeruji penjara sudah mengungkungnya.
========================================
Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun…,
itu yang saya ucapkan setelah mendengar cerita teman saya. Benar-benar
musibah bagi warga desa A punya Kades perilakunya seperti itu. Makin
parah ketika mereka, orang sekampung dengan mudah diarahkan untuk
memilih si X menjadi wakil mereka di DPRD. Celakanya lagi, kebodohan itu
terus berulang setiap 5 tahun sekali, tak masalah meski si X jadi kutu
loncat parpol. Lalu siapa yang salah? Masyarakat yang bodoh memang lahan
empuk untuk terus dikerjain.
Tapi benarkah masyarakat sebodoh itu? Bukankah
akses informasi kini sudah masuk sampai ke kampung? Orang kampungnya si X
juga sudah banyak yang punya ponsel, semua punya televisi. Hanya saja,
memang masyarakat kita mayoritas baru bisa dibilang “modern” dalam hal
punya piranti simbul modernitas, namun belum pada pikirannya. Punya
televisi tapi tayangan yang dipilih bukan yang menambah informasi, tapi
sinetron dan hiburan yang membodohi dan melenakan. Punya ponsel pintar
bisa akses internet, yang dicari bukan berita tapi video mesum di youtube
atau berita gosip artis yang sensasional. Kalaupun punya uang lebih
untuk beli koran dan majalah, yang dibeli tabloid gosip, klenik, atau
majalah “dewasa”. Jadilah modernitas hanya sebatas kulit saja. Seolah
melek informasi namun sebenarnya hanya tahu apa yang mereka ingin tahu
tapi bukan apa yang seharusnya mereka tahu. Banyak orang kampung sudah
cukup bangga punya piranti modern, meski tak tahu memanfaatkannya dengan
optimal.
Iseng saya coba search di pustaka Mbah Google,
dengan kalimat kunci seperti judul berita koran yang fotonya diunggah
teman saya. Astaga!! Betapa terkejutnya saya, banyak sekali berita yang
saya temukan. Kebanyakan berita yang sudah beberapa bulan bahkan tahun
lalu, dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, yang melibatkan anggota
dewan atau caleg dari berbagai parpol dalam kasus penadahan hasil
curanmor. Keisengan saya berlanjut, kali ini search dengan kata kunci “caleg terlibat narkoba”, hasilnya juga cukup banyak. Bahkan caleg terlibat penjualan perempuan (human traficking)
juga ada. Ada pula caleg terlibat perampokan, bahkan jadi dalangnya.
Caleg terduga korupsi?! Wow, jangan ditanya, banyak sekali.
Kalau sudah seperti itu bahan bakunya, bisa dibayangkan seperti apa keluarannya. Garbage in garbage out, tak mungkin bisa garbage in gold out.
Nazaruddin contohnya, bukankah rekam jejaknya menunjukkan ia ternyata
sudah jadi pengusaha “nakal” sejak muda dulu? Di berbagai daerah, lebih
banyak lagi anggota dewan yang rekam jejaknya buruk, awalnya profesinya
preman, rentenir, yang kemudian alih profesi jadi “anggota dewan yang
terhormat” karena punya cukup uang atau kekuatan massa untuk dilirik
parpol.
Ironisnya, semestinya di daerah yang relatif
kecil, issu kelakuan buruk seseorang dengan mudah terdengar dan jadi
pembicaraan, alih-alih di-black list, orang seperti itu justru terus dipilih. Kalau sudah begini, siapa yang salah? Parpol menjual dagangan busuk, dari displaynya
saja masyarakat sudah bisa lihat, tapi celakanya yang busuk itu pun
tetap di”beli” dengan suara mereka. Sebenarnya, pemimpin atau wakil
rakyat yang buruk adalah cerminan dari pemilih yang buruk. Mungkinkah
masyarakat kita sebenarnya tidak atau belum siap punya pemimpin dan
wakil yang bersih, lurus pada aturan, tak kenal kompromi, karena kita
juga masih suka “berselingkuh” dengan aturan, masih suka main
pat-gulipat, ngembat uang yang tak seberapa? Dari 250 juta rakyat
Indonesia, sekitar 185 juta berhak pilih, berapapun yang benar-benar
memilih nantinya, tetap akan diwakili 560 orang di parlemen pusat. Dan
itulah cerminan pemilihnya.
Ira Oemar