Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kali Ini PKS Kompak Dengan Demokrat

7 Februari 2014 | 7.2.14 WIB Last Updated 2014-02-07T15:00:15Z
1391735187220788719


Mau lihat PKS duduk “bersanding” dengan Demokrat, kompak dan saling dukung? Kalau anda sempat menonton TV One, acara DEBAT semalam, anda akan bisa lihat pemandangan langka itu. Fahri Hamzah berdiri berdampingan dengan ibu Andi Nurpati di sisi kanan stage berhadapan dengan Fajrul Rachman dan Arief, politisi PDIP, di sisi kiri stage. Topik yang diperdebatkan apalagi kalau bukan soal dana saksi parpol. Seperti banyak diberitakan akhir-akhir ini, Pemerintah akan menggelontorkan Rp. 1,5 trilyun untuk dana saksi yang dikelola Bawaslu. Yang Rp. 800 milyar untuk mitra pengawas lapangan dari Bawaslu, sedangkan sisanya sebesar Rp. 700 miliar dialokasikan untuk dana saksi 12 parpol peserta Pemilu di setiap TPS.

Sebenarnya saya malas menonton acara itu. Tapi karena kali ini pemandangan “langka”, PKS rukun dan se-iya se-kata dengan Demokrat, saya paksakan untuk menonton. Ini kali kedua saya menonton Fahri Hamzah mewakili partainya berdebat membenarkan pengucuran dana saksi parpol. Yang pertama saya lihat dua hari sebelumnya, Selasa malam, di Metro TV dalam acara “Lawan Bicara”. Saat itu Fahri bersama Bawaslu berhadapan dengan politisi dari Nasdem, PDIP dan Gerindra.

Ada kesamaan argumen Fahri di dua acara berbeda itu. Kalau disinggung besarnya dana saksi parpol, Fahri dengan emosi langsung membandingkan dana pelaksanaan Pemilu yang besarnya Rp. 15 trilyun. “Kalau begitu bubarkan saja Pemilunya! Kita ndak usah adakan Pemilu!”, begitulah reaksi emosional Fahri Selasa malam lalu. Kamis semalam, kembali argumen konyol itu diulanginya. Bahkan lucunya kali ini ditambahinya kalimat : “Lebih baik sekalian saja tidak perlu ada Pemilu. Uang Rp. 15 trilyun kita pakai buat bantu Jokowi bikin monorel dan bangun waduk 10 biji biar gak ada banjir lagi!”. Jelas sebuah argumen “asbun” yang menunjukkan sentimen pribadi pada Jokowi. Bicara soal Pemilu, khusunya dana saksi parpol, kenapa harus Jokowi diseret-seret? Lucu sekali Fahri Hamzah! Itu sebabnya acara yang biasanya memuakkan, semalam saya anggap sedang menonton lawak.

Kenapa saya anggap argumen konyol, sebab logika “bubarkan saja Pemilu-nya, tak usah diadakan Pemilu” itu sesuatu yang sangat bodoh – maaf – bagi seorang anggota DPR yang sudah 3 periode duduk di kursi parlemen melalui Pemilu. Pemilu adalah hajatan politik yang rutin dilakukan 5 tahunan. Tahapannya banyak, persiapan dilakukan setidaknya 2 tahun sebelum tahun pelaksanaan Pemilu. Para Komisioner KPU sudah diseleksi dan dilakukan fit n proper test sejak tahun 2012. Dilanjutkan dengan verifikasi calon parpol peserta pemilu berbulan-bulan lamanya pada tahun 2012. Januari 2013, parpol peserta Pemilu sudah ditetapkan dan diundi nomor urutnya. Lalu parpol mengajukan daftar caleg sementara, KPU melakukan verifikasi administratif, hingga ditetapkan DCT. Semuanya butuh waktu berbulan-bulan. Belum lagi menetapkan jumlah pemilih hingga menjadi DPT. 

Barulah setelah itu dilakukan pengadaan logistik Pemilu (surat suara, kotak suara, tinta Pemilu, dll).

Dengan banyaknya tahapan dan panjangnya durasi persiapan Pemilu yang makan waktu 2,5 tahun, tentu pengucuran dananya tidaklah sekaligus. Semua disesuaikan dengan tahapan dan tentunya sudah dianggarkan dalam APBN sejak 3 tahun terakhir yang puncaknya pada 2014. Jadi Pemilu bukanlah sesuatu yang tak direncana alias dadakan. Rakyat tak pernah mempersoalkan dana Pemilu, karena memang kewajiban negara untuk membiayai pelaksanaan seluruh tahapan Pemilu di seluruh Indonesia hingga TPS luar negeri.

Tapi dana saksi parpol?! Dari dulu alokasi untuk itu tak pernah ada, bahkan sejak Pemilu dimasa Orde Lama yang diikuti 100 parpol sekalipun. Begitupun Pemilu 2014, kali pertama ada dana saksi parpol, sebenarnya tidak pernah dianggarkan pada APBN. Mendadak saja dana itu dimintakan dan diambil dari dana taktis. Padahal, tanpa dana saksi parpol pun, pemilu tetap bisa berjalan. Itu sebabnya dana saksi parpol ditolak banyak pihak dan diminta dibatalkan. Bukan seperti logika Fahri : Pemilunya sekalian dibubarkan, ketimbang dana saksi ditiadakan. Pemilu tetap bisa terselenggara dengan atau tanpa saksi parpol, jangan dibalik!

Pemilu hanya memerlukan penyelenggara pemilu (KPU dan perangkatnya hingga ke tingkat KPPS), logistik pemilu, parpol peserta pemilu dan Bawaslu (sampai ke tingkat Panwaslu di daerah). Soal saksi parpol, itu kewajiban parpol, bukan kewajiban negara. Keberadaannya diperlukan namun tidak wajib. Parpol yang tak bisa menghadirkan saksi di tiap TPS tak akan dikenai sanksi, pemilu tetap bisa berjalan. Misalnya di daerah yang sangat terpencil dan penduduknya awam politik sehingga tak ada relawan yang mau menjadi saksi parpol, juga tak membuat Pemilu menjadi tidak sah. Jadi, jangan karena kekuatiran tak semua parpol bisa menghadirkan saksi (apapun alasannya, karena kekurangan kader/simpatisan maupun kekurangan dana) lalu Pemilunya diusulkan dibubarkan.

Bukan hanya konyol, argumen Fahri juga makin lucu ketika dia membawa nama Jokowi. Jikalau Pemda DKI berencana membangun sejumlah sarana penanggulangan banjir atau sarana transportasi untuk memecahkan masalah utama di DKI, tentu pendanaannya sama sekali tak terkait Pemilu. Ada bagian yang dapat dimintakan kepada Pemerintah Pusat melalui APBN, ada pula yang jadi tanggungan Pemda DKI melalui APBD. Jadi, kalau Pemilu batal sekalipun, tak otomatis dana itu bisa mengalir begitu saja ke kantong Pemda DKI.

Kenapa Fahri tak mengatakan saja begini : “Kalau begitu bubarkan saja Pemilunya, uangnya kita distribusikan ke daerah-daerah yang tertimpa bencana untuk merekonstruksi kembali daerah itu dan memberi bantuan modal usaha bagi korban bencana”. Kalau arahnya kesana, mungkin argumen Fahri masih lebih manusiawi. Tapi kalau tiba-tiba ‘menyenggol’ Jokowi, ini makin menunjukkan kebencian akut PKS terhadap Jokowi. Kenapa tak juga menyebut : “kita pakai saja uangnya untuk menanggulangi banjir di Jawa Barat dan memperbaiki jalur pantura Jabar supaya pantura tak lumpuh lagi”. Bukankah banjir di Jabar telah menenggelamkan sawah-sawah di sentra penghasil beras di Jabar? Bukankah jalur pantura Jabar juga jalur yang vital bagi distribusi logistik?

Kalau argumen Andi Nurpati, tak ada yang penting untuk ditulis. Begitupun argumen Ahmad Yani dari PPP yang datang terlambat. Intinya : parpol-parpol yang setuju –bahkan terkesan ngotot dan ngebet – untuk mendapatkan kucuran dana saksi, akan mengajukan 1001 alasan agar dana itu seolah demi kepentingan demokrasi, demi kualitas pemilu yang lebih baik. Padahal, kalau parpol tak mampu menghadirkan saksi yang bersedia duduk di TPS, ya percuma saja. Dengan adanya dana Rp. 100.000,00/saksi, justru akan mendorong parpol mencari orang “bayaran” yang mau bekerja hanya karena iming-iming upah seratus ribu, bukan karena loyalitas pada parpol yang didukungnya.

Ah…, parpol-parpol, makin kelihatan jelas bahwa di dunia politik memang tak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi. Kalau soal kenaikan harga BBM, PKS berseteru dengan Demokrat, seolah demi keberpihakan pada rakyat, spanduk ditebar dimana-mana “PKS MENOLAK kenaikan harga BBM!”. Nah, sekarang soal bagi-bagi dana taktis untuk dijadikan dana saksi parpol, PKS bersatu dengan Demokrat memperjuangkan pembenaran. Lalu kenapa PKS kali ini tidak tebar spanduk “PKS MENERIMA dana saksi parpol!”. Berani?

Ira Oemar
×
Berita Terbaru Update