Mau lihat PKS duduk “bersanding” dengan
Demokrat, kompak dan saling dukung? Kalau anda sempat menonton TV One,
acara DEBAT semalam, anda akan bisa lihat pemandangan langka itu. Fahri
Hamzah berdiri berdampingan dengan ibu Andi Nurpati di sisi kanan stage berhadapan dengan Fajrul Rachman dan Arief, politisi PDIP, di sisi kiri stage.
Topik yang diperdebatkan apalagi kalau bukan soal dana saksi parpol.
Seperti banyak diberitakan akhir-akhir ini, Pemerintah akan
menggelontorkan Rp. 1,5 trilyun untuk dana saksi yang dikelola Bawaslu.
Yang Rp. 800 milyar untuk mitra pengawas lapangan dari Bawaslu,
sedangkan sisanya sebesar Rp. 700 miliar dialokasikan untuk dana saksi
12 parpol peserta Pemilu di setiap TPS.
Sebenarnya saya malas menonton acara itu. Tapi
karena kali ini pemandangan “langka”, PKS rukun dan se-iya se-kata
dengan Demokrat, saya paksakan untuk menonton. Ini kali kedua saya
menonton Fahri Hamzah mewakili partainya berdebat membenarkan pengucuran
dana saksi parpol. Yang pertama saya lihat dua hari sebelumnya, Selasa
malam, di Metro TV dalam acara “Lawan Bicara”. Saat itu Fahri bersama
Bawaslu berhadapan dengan politisi dari Nasdem, PDIP dan Gerindra.
Ada kesamaan argumen Fahri di dua acara berbeda
itu. Kalau disinggung besarnya dana saksi parpol, Fahri dengan emosi
langsung membandingkan dana pelaksanaan Pemilu yang besarnya Rp. 15
trilyun. “Kalau begitu bubarkan saja Pemilunya! Kita ndak usah adakan Pemilu!”,
begitulah reaksi emosional Fahri Selasa malam lalu. Kamis semalam,
kembali argumen konyol itu diulanginya. Bahkan lucunya kali ini
ditambahinya kalimat : “Lebih baik sekalian saja tidak perlu ada
Pemilu. Uang Rp. 15 trilyun kita pakai buat bantu Jokowi bikin monorel
dan bangun waduk 10 biji biar gak ada banjir lagi!”. Jelas sebuah argumen “asbun”
yang menunjukkan sentimen pribadi pada Jokowi. Bicara soal Pemilu,
khusunya dana saksi parpol, kenapa harus Jokowi diseret-seret? Lucu
sekali Fahri Hamzah! Itu sebabnya acara yang biasanya memuakkan, semalam
saya anggap sedang menonton lawak.
Kenapa saya anggap argumen konyol, sebab logika
“bubarkan saja Pemilu-nya, tak usah diadakan Pemilu” itu sesuatu yang
sangat bodoh – maaf – bagi seorang anggota DPR yang sudah 3 periode
duduk di kursi parlemen melalui Pemilu. Pemilu adalah hajatan politik
yang rutin dilakukan 5 tahunan. Tahapannya banyak, persiapan dilakukan
setidaknya 2 tahun sebelum tahun pelaksanaan Pemilu. Para Komisioner KPU
sudah diseleksi dan dilakukan fit n proper test sejak tahun
2012. Dilanjutkan dengan verifikasi calon parpol peserta pemilu
berbulan-bulan lamanya pada tahun 2012. Januari 2013, parpol peserta
Pemilu sudah ditetapkan dan diundi nomor urutnya. Lalu parpol mengajukan
daftar caleg sementara, KPU melakukan verifikasi administratif, hingga
ditetapkan DCT. Semuanya butuh waktu berbulan-bulan. Belum lagi
menetapkan jumlah pemilih hingga menjadi DPT.
Barulah setelah itu
dilakukan pengadaan logistik Pemilu (surat suara, kotak suara, tinta
Pemilu, dll).
Dengan banyaknya tahapan dan panjangnya durasi persiapan Pemilu yang makan waktu 2,5 tahun, tentu pengucuran dananya tidaklah sekaligus. Semua disesuaikan dengan tahapan dan tentunya sudah dianggarkan dalam APBN sejak 3 tahun terakhir yang puncaknya pada 2014. Jadi Pemilu bukanlah sesuatu yang tak direncana alias dadakan. Rakyat tak pernah mempersoalkan dana Pemilu, karena memang kewajiban negara untuk membiayai pelaksanaan seluruh tahapan Pemilu di seluruh Indonesia hingga TPS luar negeri.
Tapi dana saksi parpol?! Dari dulu alokasi
untuk itu tak pernah ada, bahkan sejak Pemilu dimasa Orde Lama yang
diikuti 100 parpol sekalipun. Begitupun Pemilu 2014, kali pertama ada
dana saksi parpol, sebenarnya tidak pernah dianggarkan pada APBN.
Mendadak saja dana itu dimintakan dan diambil dari dana taktis. Padahal,
tanpa dana saksi parpol pun, pemilu tetap bisa berjalan. Itu sebabnya
dana saksi parpol ditolak banyak pihak dan diminta dibatalkan. Bukan
seperti logika Fahri : Pemilunya sekalian dibubarkan, ketimbang dana saksi ditiadakan. Pemilu tetap bisa terselenggara dengan atau tanpa saksi parpol, jangan dibalik!
Pemilu hanya memerlukan penyelenggara pemilu
(KPU dan perangkatnya hingga ke tingkat KPPS), logistik pemilu, parpol
peserta pemilu dan Bawaslu (sampai ke tingkat Panwaslu di daerah). Soal
saksi parpol, itu kewajiban parpol, bukan kewajiban negara.
Keberadaannya diperlukan namun tidak wajib. Parpol yang tak bisa
menghadirkan saksi di tiap TPS tak akan dikenai sanksi, pemilu tetap
bisa berjalan. Misalnya di daerah yang sangat terpencil dan penduduknya
awam politik sehingga tak ada relawan yang mau menjadi saksi parpol,
juga tak membuat Pemilu menjadi tidak sah. Jadi, jangan karena
kekuatiran tak semua parpol bisa menghadirkan saksi (apapun alasannya,
karena kekurangan kader/simpatisan maupun kekurangan dana) lalu
Pemilunya diusulkan dibubarkan.
Bukan hanya konyol, argumen Fahri juga makin
lucu ketika dia membawa nama Jokowi. Jikalau Pemda DKI berencana
membangun sejumlah sarana penanggulangan banjir atau sarana transportasi
untuk memecahkan masalah utama di DKI, tentu pendanaannya sama sekali
tak terkait Pemilu. Ada bagian yang dapat dimintakan kepada Pemerintah
Pusat melalui APBN, ada pula yang jadi tanggungan Pemda DKI melalui
APBD. Jadi, kalau Pemilu batal sekalipun, tak otomatis dana itu bisa
mengalir begitu saja ke kantong Pemda DKI.
Kenapa Fahri tak mengatakan saja begini : “Kalau
begitu bubarkan saja Pemilunya, uangnya kita distribusikan ke
daerah-daerah yang tertimpa bencana untuk merekonstruksi kembali daerah
itu dan memberi bantuan modal usaha bagi korban bencana”. Kalau
arahnya kesana, mungkin argumen Fahri masih lebih manusiawi. Tapi kalau
tiba-tiba ‘menyenggol’ Jokowi, ini makin menunjukkan kebencian akut PKS
terhadap Jokowi. Kenapa tak juga menyebut : “kita pakai saja uangnya
untuk menanggulangi banjir di Jawa Barat dan memperbaiki jalur pantura
Jabar supaya pantura tak lumpuh lagi”. Bukankah banjir di Jabar
telah menenggelamkan sawah-sawah di sentra penghasil beras di Jabar?
Bukankah jalur pantura Jabar juga jalur yang vital bagi distribusi
logistik?
Kalau argumen Andi Nurpati, tak ada yang
penting untuk ditulis. Begitupun argumen Ahmad Yani dari PPP yang datang
terlambat. Intinya : parpol-parpol yang setuju –bahkan terkesan ngotot dan ngebet
– untuk mendapatkan kucuran dana saksi, akan mengajukan 1001 alasan
agar dana itu seolah demi kepentingan demokrasi, demi kualitas pemilu
yang lebih baik. Padahal, kalau parpol tak mampu menghadirkan saksi yang
bersedia duduk di TPS, ya percuma saja. Dengan adanya dana Rp.
100.000,00/saksi, justru akan mendorong parpol mencari orang “bayaran”
yang mau bekerja hanya karena iming-iming upah seratus ribu, bukan
karena loyalitas pada parpol yang didukungnya.
Ah…, parpol-parpol, makin kelihatan jelas bahwa di dunia politik memang tak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi. Kalau soal kenaikan harga BBM, PKS berseteru dengan Demokrat, seolah demi keberpihakan pada rakyat, spanduk ditebar dimana-mana “PKS MENOLAK kenaikan harga BBM!”. Nah, sekarang soal bagi-bagi dana taktis untuk dijadikan dana saksi parpol, PKS bersatu dengan Demokrat memperjuangkan pembenaran. Lalu kenapa PKS kali ini tidak tebar spanduk “PKS MENERIMA dana saksi parpol!”. Berani?
Ira Oemar