“SBY” DAN “SABAR” – SOSIALISASI SEBELUM ADA REKOMENDASI
Sekitar Oktober 2009, Bambang Dwi Hartono (BDH), Walikota Surabaya saat itu, mengajukan judicial review terhadap pasal 58 huruf o UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah ke Mahkamah Konstitusi, agar dirinya berkesempatan maju lagi pada Pilwali 2010. Beralasan masa jabatannya tidak penuh dua periode (periode pertama menggantikan Soenarto yang meninggal dunia, dari 2002-2005), BDH menggugat ke MK, meski pasal yang sama sudah pernah digugat 2 orang sebelumnya dan ditolak MK. Selasa, 12 Nopember 2009, MK menolak permohonan uji materi BDH. Saleh Ismail Mukaddar sempat menuding Mahkamah Konstitusi tidak konsisten.
Tak putus asa, BDH pun
‘mengakali’ aturan : maju sebagai calon Wawali dengan menggandeng Saleh
Ismail Mukadar. Akhir 2009 Surabaya mulai dipenuhi poster bergambar
Saleh dan Bambang berbusana khas arek Suroboyo lengkap dengan udheng di kepala. Slogan yang diusung “SBY, Saleh Bambang Yes!” Maraknya poster yang dipaku di pepohonan sempat menuai kritik dari warga Surabaya karena BDH dianggap melanggar aturan yang dibuatnya sendiri
untuk tidak memasang poster di pepohonan. Sosialisasi itu sebenarnya
curi start, karena dari DPP PDIP belum ada rekomendasi siapa yang akan
diajukan. Akhirnya PDIP mempersilakan Satpol PP Surabaya untuk mencopoti poster “SBY” tersebut.
Slogan “SBY” dikabarkan memicu kekecewaan dan kemarahan Megawati. Mega menanyakan
kenapa pakai slogan SBY,apa tak ada slogan lain. Mega kecewa karena SBY
afiliasinya pasti ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, musuh Megawati.
Apalagi tahun 2009–2010 popularitas SBY masih tinggi. BDH disuruh
mengganti slogan itu. BDH membantah issu Megawati marah soal slogan “SBY”. Menurutnya slogan SBY tetap dipakai dan tidak diganti dengan slogan SaBaR (SAleh BAmbang Rek). Namun belakangan terbukti bahwa slogan SaBaR itulah yang digunakan, bahkan muncul di situs resmi DPD PDI Perjuangan Jawa Timur.
Meski belum ada rekomendasi DPP, relawan SaBaR optimistis Saleh-Bambang bisa maju dalam Pilwali Surabaya, karena dianggap
perwujudan aspirasi berbagai kalangan di Surabaya, yang masih
menginginkan BDH meneruskan pembangunan yang telah dilakukan selama
menjabat Walikota, demikian klaim dari Ketua Posko SaBaR, sebagaimana dimuat dalam situs resmi PDIP Jatim.
PENCALONAN YANG KONTROVERSIAL
Sementara itu, di masyarakat Surabaya menguat citra positif terhadap sosok Tri Rismaharini yang saat itu menjabat Kepala
Badan Perencanaan Kota (Bapeko) Surabaya. Sebelumnya Bu Risma pernah
menjabat Kadis Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan sebelumnya lagi Kadis
Tata Kota. Di tiap Dinas yang dipimpinnya,
Risma memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi kebaikan dan
kemajuan Kota Surabaya. Alumni Teknik Arsitektur ITS itu memang seorang
birokrat yang puluhan tahun berkarir sebagai PNS di Pemkot Surabaya.
Pemberitaan positif media lokal atas sejumlah prestasi Risma, membuatnya
makin disuka dan populer di kalangan warga Surabaya.
Di internal PDIP tampaknya ada intrik untuk menjegal Saleh-Bambang.
Upaya itu dilakukan Soetjipto (mantan Sekjen PDIP dan Wakil Ketua MPR),
yang tak lain ayah Wisnu Sakti dan dikenal sangat dekat dengan
Megawati. Ada upaya trio kader
PDIP, yakni Soetjipto, Seno dan Wisnu Sakti Buana (Ketua DPC PDIP
Surabaya) untuk menemui Megawati di ruang VVIP bandara Juanda setelah terlebih dahulu mengelabui BDH (yang hendak mengajak Saleh
menjemput Megawati) soal jam kedatangan pesawat Mega yang dimundurkan 2
jam.
Buntut dari penelikungan Saleh-Bambang, DPP
PDIP resmi merekomendasikan pencalonan Risma sebagai calon Walikota dan
BDH Calon Wawali-nya. 10 Februari 2010, relawan pendukung SABAR (Saleh Bambang Rek) mengancam memboikot PDIP jika dukungan pada Risma tak dicabut. Mereka mengaku sudah mengenal Saleh sebagai kader yang mumpuni. Sangat ironis kalau kader PDIP sendiri diabaikan tapi calon non kader justru didukung.
Penolakan terhadap Risma terus bergulir, dari 31 PAC, 19 PAC menolak paket Risma-BDH lantaran Risma bukan kader partai. Sebelumnya, PDIP dalam Rakercabsus telah merekomendasikan Saleh Ismail Mukadar, Bambang DH dan Wisnu Sakti Buana. “19 PAC menolak. Banyak kader partai yang berkualitas, kenapa harus mendukung orang yang bukan berasal kader partai ini”, kata Sri Hono Yularko, Ketua PAC Semampir saat jumpa pers di Posko Relawan SaBaR pada Senin (8/2/2010)
Jumat, 19 Maret 2010, dalam silahturahmi bersama Saleh Ismail Mukadar di RM Taman Sari, sejumlah PAC ngotot menolak Risma dan mengancam kabur dari partai. 22 Pengurus Anak Cabang (PAC) PDIP meneriakkan yel-yel menolak Risma-BDH karena tak sesuai mekanisme partai. Massa juga mengancam tak akan menggunakan hak pilihnya dalam Pilwali 2 Juni 2010 dan siap mundur dari PDIP bila partai tetap mempertahankan pencalonan Risma-BDH. Pencalonan Risma dinilai melukai kader PDIP, bahkan muncul opsi melayangkan mosi tak percaya pada DPP PDIP yang memberikan rekomendasi cawali kepada Risma. Di acara itu, kader PDIP membentangkan kain putih berisi tanda tangan sebagai bentuk penolakan atas pencalonan Risma-BDH.
Padahal, majunya Risma
menjadi Cawali sebenarnya bukan atas keinginan Risma. Birokrat tulen ini
bukanlah seorang yang memiliki ambisi pada jabatan politik. Risma maju
karena dipinang oleh sesepuh PDIP, Soetjipto. Sebagian warga Surabaya
saat itu mencurigai sikap PDIP yang tiba-tiba memaksakan menggandeng
Risma, padahal sebelumnya BDH ngotot ingin maju. Kekhawatiran warga : Risma hanya dimanfaatkan popularitasnya untuk meraih dukungan pemilih. Bahkan ada yang mengkhawatirkan jikalau
Risma diturunkan di tengah jalan, sehingga BDH bisa naik kembali,
menggantikan Risma. Maklumlah Risma bukan orang politik dan sama sekali
tak berafiliasi pada parpol, sebab beliau PNS.
RISMA TERPILIH, RISMA DIMAKZULKAN
Akhirnya pasangan Risma-BDH memenangi pilwali dan dilantik pada 28 September 2010. Jelang 100 hari kepemimpinannya, DPRD Surabaya sudah “cari gara-gara” untuk menjegal Risma dengan mempersoalkan penerbitan
Peraturan Walikota Surabaya (Perwali) No. 56/2010 tentang Perhitungan
Nilai Sewa Reklame dan Perwali No. 57 tentang Perhitungan Nilai Sewa
Reklame Terbatas di Kawasan Khusus Kota Surabaya yang menaikkan pajak
reklame menjadi 25%. Kabarnya banyak kalangan DPRD Surabaya yang tidak senang dengan sepak terjang Risma yang terkenal tak mau kompromi
dan terus maju berjuang untuk kebaikan Kota Surabaya, termasuk menolak
keras pembangunan tol tengah Kota Surabaya yang dinilai tidak akan
bermanfaat untuk mengurai kemacetan dan lebih memilih meneruskan proyek frontage road dan MERR-IIC (Middle East Ring Road)
yang akan menghubungkan area industri Rungkut hingga Jembatan Suramadu
melalui area timur Surabaya yang juga akan bermanfaat untuk pemerataan
pembangunan kota. Bahkan diduga, salah satu anggota DPRD Kota Surabaya adalah pemilik biro reklame yang tentu “dirugikan” dengan Perwali tersebut.
Senin 31 Januari 2011, DRPD
Surabaya menggelar Rapat Paripurna yang merekomendasikan pelengseran Tri
Rismaharini sebagai Walikota Surabaya kepada Mahkamah Agung. Keputusan
pemakzulan itu didukung oleh 6 dari 7 fraksi di DPRD Surabaya, termasuk
PDIP yang mengusung Risma. Hanya fraksi PKS yang menolak pemakzulan
dengan alasan belum cukup bukti dan data. Fraksi PKS saat itu satu-satunya fraksi yang tidak mau tandatangan kesepakatan pelengseran Walikota Tri Rismaharini.
Litbang PKS Kota Surabaya melakukan 2 kali survei terkait wacana pelengseran Walikota Surabaya. Survey pertama dilakukan Januari 2011, hasilnya 52% warga Surabaya tidak setuju keputusan impeachment, 13% setuju dan 35% tidak menjawab.
Tingginya prosentase yang tidak menjawab lantaran warga Surabaya masih
banyak yang belum mengetahui rekomendasi Pansus Hak Angket untuk
memberhentikan walikota. Namun, setelah warga tahu dari media massa,
jumlah yang tidak setuju Risma dilengserkan semakin meningkat. Terbukti
pada survey kedua yang dilakukan awal Februari 2011, 77% warga Surabaya tidak setuju alias menolak keputusan impeachment,
10% menyetujui dan 13% menyatakan tidak tahu. Ini menunjukkan warga
Surabaya semakin tak mendukung akrobat politik yang dilakukan para
“wakil rakyat” mereka.
Risma sendiri beralasan
pajak di kawasan khusus perlu dinaikkan agar pengusaha tak seenaknya
memasang iklan di jalan umum dan agar kota tak menjadi belantara iklan.
Dengan pajak yang tinggi pemerintah berharap pengusaha iklan beralih
memasang iklan di media massa ketimbang memasang baliho di jalan-jalan
kota. Akhirnya, Mendagri
Gamawan Fauzi angkat bicara dan menegaskan bahwa Tri Rismaharini tetap
menjabat sebagai Walikota Surabaya dan menilai alasan pemakzulan Risma
adalah hal yang mengada-ngada.
PDIP DINILAI “NABOK NYILEH TANGAN” DALAM MELENGSERKAN RISMA
Polemik antara Walikota
Tri Rismaharini dengan DPRD Kota Surabaya berlangsung sampai hampir 2
bulan, sementara Wawali BDH sama sekali tak bersuara. Padahal, sebagai mantan Walikota
2 periode dan sekaligus kolega separtai Wisnu Sakti yang juga Ketua DPC
PDIP Surabaya, semestinya BDH bisa menjembatani kesalahpahaman itu,
kalau dia punya itikad demi kemaslahatan Surabaya. Sikap diam BDH itu kemudian memunculkan spekulasi di kalangan warga Surabaya : BDH sengaja membiarkan polemik itu membesar hingga posisi Risma terjepit. Endingnya BDH bisa kembali naik ke kursi Walikota menggantikan Risma yang dilengserkan. Meski kemudian BDH membantahnya.
DPRD Surabaya sempat mencurigai manuver BDH. Sempat muncul issu dicabutnya dukungan PDIP kepada Risma dan rencana mundurnya BDH sebagai Wawali. Bahkan SL, wakil ketua Komisi C DPRD Surabaya mengatakan, wacana mundurnya Bambang DH saat ini merupakan tindakan yang “memancing di air yang keruh”.
Pengamat politik Unair M Asfar menilai kisruh itu sebagai upaya PDIP Surabaya untuk “nabok nyileh tangan” (menampar dengan meminjam tangan orang lain – pen.). Tindakan ini karena Risma dinilai menyeleweng dari ‘rute’ milik PDIP Surabaya, sebagai partai pengusungnya. Upaya nabok nyileh tangan disinyalir akan terus digagas sampai Risma lengser dari kursi Walikota. “Secara
politis hal itu bisa saja terjadi. Karena di dunia pilitik apa saja
yang menyangkut kedudukan dan kepentingan golongan hal itu tidak
mustahil”, kata Asfar. Apalagi ada keinginan dari sebagian
kalangan PDIP untuk mengisi kursi Walikota dengan kader aslinya sendiri.
Belakangan fraksi-fraksi di DPRD Surabaya kompak mencari kesalahan
kebijakan Risma. Ironisnya, PDIP sebagai pengusung Risma justru
memilih diam bahkan ikut memanaskan suasana dengan agenda pemanggilan
Risma oleh DPC PDIP Surabaya.
Muncul pula issu yang menyebutkan, Perwali
pajak reklame sengaja digulirkan untuk menjebak Risma. Padahal proses
pembuatan Perwali tersebut justru mulai dilakukan pada awal 2009, jauh
sebelum Risma terpilih sebagai Walikota. Pada Desember 2009 Perwali
telah selesai. Artinya, Perwali itu dibuat pada era BDH menjadi Walikota. Dari
hasil angket ditemukan bahwa rumusan Perwali tersebut hanya dikerjakan
oleh Kepala Bidang Pendapatan Pajak Daerah Djoestamaji. Pada saat itu,
rumusan sudah diajukan kepada Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan
Pendapatan, Purwito, tapi diminta untuk disimpan dulu tanpa alasan
jelas. Ketika Risma sudah menjabat menjadi Walikota, pada November 2010
rumusan Perwali tersebut diajukan ke Dinas Pengelolaan Keuangan dan
Pendapatan, yang Kepalanya telah dijabat oleh Soehatoyo. Perwali itu
kemudian diajukan ke bagian Hukum dan Asisten II Sekkota (Muhlas Udin),
Asisten I Sekkota (Hadi Siswanto Anwar) dan Sekkota, (Sukamto Hadi).
Walikota pun menyetujui dan Perwali itupun akhirnya sampai ke meja
Dewan.
Agenda kedua rapat Pansus
Hak Angket yang memeriksa tenaga ahli Walikota Surabaya, Don Rosano
bahkan berlangsung panas. Seorang pengusul hak angket berinitial “A”
melontarkan pertanyaan dengan nada tinggi, bahkan cenderung membentak
sambil menggebrak meja. Sehingga Don merasa diintimidasi dan langsung
melayangkan protes. Aksi saling serang tak terelakkan. Yang
menarik, selama aksi adu mulut tak ada satupun anggota Pansus
yangmenengahi, begitu juga pimpinan sidang. Seolah anggota Dewan A
tersebut sengaja diberi waktu untuk menjatuhkan mental serta menyerang
secara psikologis saksinya. Semacam “destroyer”
pada debat politik. Dengan demikian memang terkesan ada upaya
bersama-sama untuk memojokkan Walikota. Atau memang paradigma berpikir
anggota DPRD Surabaya saat itu hak Angket memang harus berujung pada
pemakzulan?
DUO WISNU SANG INISIATOR
Upaya pemakzulan Risma dimotori oleh “Duo Wisnu”, yaitu Ketua DPRD Surabaya Wishnu Wardhana (Demokrat) dan Wakil Ketua DPRD Surabaya Wisnu Sakti Buana (PDIP).
Muncul Gerakan Rakyat Surabaya (GRS) yang terdiri dari berbagai elemen
masyarakat, mereka bertekad akan melengserkan duo Wisnu tersebut yang
dianggap biang keladi pelengseran Risma. Mat Mochtar, koordinator GRS,
bahkan menuding Wisnu Sakti Buana sebagai orang yang haus kekuasan. Karena itu mereka ‘kongkalikong’ menghalalkan segala cara tidak elegan untuk melengserkan Risma.
“Ini
keinginan Wisnu jadi wali kota. Apalagi, PDIP selaku partai pengusung
malah mendukung upaya penurunan Risma. Kalau seperti ini, PDIP itu
brengsek”, ujar Mat Mochtar
Mat Mochtar menegaskan bahwa Bu Risma dipilih oleh rakyat, bukan dewan. Jadi yang bisa menurunkan Bu Risma adalah rakyat, bukan dewan. Mereka
menyesalkan keputusan Dewan yang merekomendasikan pemberhentian
sementara Risma dari jabatannya sebagai Walikota. Risma dinilai figur
Walikota yang jujur dan berjuang demi membela kepentingan rakyat, bukan
kepentingan pengusaha reklame.
Belakangan, Wishnu Wardhana (WW) dipecat oleh Partai Demokrat. WW disebut terlibat kasus korupsi Bimtek (Bimbingan Teknis) yang diduga merugikan negara hingga Rp. 2,7 milyar. Bahkan WW diakui Kapolrestabes Surabaya sempat berupaya melobby
dirinya dengan satu tas kresek uang, agar kasus yang menetapkan WW
sebagai tersangka itu tak sampai ke meja hijau, namun ditolak. Kini, Wishnu Wardhana pindah ke Partai Bulan Bintang dan menjadi caleg DPR RI Dapil jatim I dari PBB. Namun menurut Komisioner KPUD Jawa Timur, pencalonan mantan Ketua DPRD tersebut berpotensi
masalah jika ada protes dari masyarakat tentang pencalonannya saat uji
publik menyusul keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi bimtek. Nah, apakah masyarakat Surabaya dan Sidoarjo sudah menyadari hal ini dan protes ke KPUD Jatim?!
Sekedar informasi, sebelum Risma menjadi Walikota, Duo Wisnu pernah diminta koleganya di DPRD Surabaya untuk lengser karena dianggap menghambat RAPBD Pemkot Surabaya untuk tahun 2010. Koleganya sesama pimpinan Dewan, MR, menyebut : Agar RAPBD Pemkot Surabaya 2010 disetujui Gubernur Jatim, mau tidak mau dua pimpinan dewan, yakni Ketua DPRD Wisnu Wardhana dan wakil pimpinan Dewan Wisnu Sakti Buana harus dilengser terlebih dahulu. Jadi rupanya kedua tokoh bernama Wisnu tersebut memang sering berakrobat politik di DPRD Surabaya, siapapun Walikotanya.
============================================
Sejak pelengseran yang gagal, nyaris tak ada
lagi upaya menganggu dan menjegal Risma. Sejak itu pula Risma fokus
bekerja dan bekerja membangun kota Surabaya. Prestasi demi prestasi
diukirnya hingga membuat forum-forum internasional memberikan
penghargaan. Secara riil, perubahan kota Surabaya juga cukup signifikan.
Selain makin hijau dan asri, meriah dengan taman-taman kota thematik di
mana-mana, mirip di luar negeri. Bahkan bunga mirip sakura pun bisa
ditemui di dekat komplek perbelanjaan besar di Surabaya, membuat makin
nyaman ditinggali.
Mengubah mindset dan habit,
itu kata Bu Risma, agar kelak kalau beliau sudah tak lagi menjabat,
masyarakat Surabaya tetap terbiasa hidup bersih dan teratur. Warga kini
tak lagi membuang sampah sembarangan. Titik-titik genangan air bisa
dikurangi, bahkan sudah 2 kali musim penghujan ini tak ada lagi kabar
Surabaya kebanjiran, meski curah hujan sangat besar seperti tahun
2013-2014. Kali-kali di Surabaya dibenahi, tak lagi boleh jadi tempat
buang sampah. Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya layak
“dipamerkan” ke masyarakat Internasional.
Kini, setelah Risma sukses di Surabaya, PDIP mengaku akan mengadu Risma dan Jokowi, karena Risma menjadi pesaing berat Jokowi dalam survei Political Communication Institute. Sebagaimana ditulis Tempo.co, PDIP belum memastikan apakah kandidat calon presidennya Megawati atau Jokowi. PDIP menyatakan baru akan mengumumkan kandidatnya usai pemilu legislatif 2014, sebagaimana pernyataan Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari. Menurut Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo : apabila Megawati capres, cawapresnya sudah pasti. Namun, cawapres PDIP masih belum jelas, apabila PDIP mengusung Jokowi. Meski tak menyebut nama, tampaknya Jokowi akan jadi cawapres Megawati jika Ketum PDIP itu maju sebagai capres.
Mungkin karena sudah kenyang dipolitisir oleh PDIP,
itu sebabnya Bu Risma menyatakan tak mau di-capreskan, saat ditanya
sikapnya soal wacana pengusungan dirinya dalam Pilpres 2014. “Saya
tidak mau jadi yang terakhir masuk surga dari 250 juta rakyat
Indonesia. Misalnya hanya karena ada satu orang yang tidak suka hasil
kerja saya”, kata Risma. Sebenarnya sejak dulu dirinya tidak berminat menjadi orang nomor satu di Surabaya. Namun, dia diminta oleh PDIP. Menurutnya, kepemimpian dan jabatan adalah amanah dan bukan obsesi. Jadi, jabatan harus datang dari Tuhan, Risma menambahkan.
Sepakat Bu Risma, jangan mau dikadalin parpol, hanya akan menjerumuskan
ke lembah dosa. Tapi terimalah amanah jika rakyat yang mengusung.
Ira Oemar