Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Leonardy: Etika Aristoteles

10 Januari 2014 | 10.1.14 WIB Last Updated 2014-01-09T23:29:42Z




Menjadi manusia utuh, disadari atau tidak, menjadi cita-cita kita. Aristoteles, disamping Plato, filosof Yunani terbesar, menawarkan itu: Jalan untuk menjadi utuh. Barangkali kita ragu apakah seorang pemikir yang hidup 2300 tahun lalu masih dapat menunjukkan suatu jalan bagi kita, manusia abad ke-21. Tetapi Aristoteles, bersama Plato, sampai hari ini menjadi acuan pemikiran para filosof. Pernah, selama seribu tahun, Aristoteles agak dilupakan. Yang menemukannya kembali adalah para filosof Islam, terutama Ibn Rushd (1126-1198), sang bijak dari Cordova. Dari Ibn Rushd, Aristoteles diperkenalkan ke Eropa abad pertengahan dimana Thomas Aquinas (1225-1274) menjadikannya dasar system filosofisnya. Sejak itu Aristoteles dikenal sebagai “sang filosof”.

Gagasan dasar Aristoteles adalah bahwa manusia hidup dengan bijaksana semakin ia mengembangkan diri secara utuh. Menunjuk jalan bagaimana manusia dapat menjadi utuh itulah maksud Aristoteles. Aristoteles menulis etikanya agar mereka yang membacanya dapat membangun suatu kehidupan yang bermakna dan bahagia. Dan itu dicapai dengan memperlihatkan bagaimana manusia dapat mengembangkan diri, dapat membuat potensi-potensinya menjadi nyata, dan bagaimana karena itu ia menjadi pribadi yang kuat. Menjadi pribadi yang kuat berarti berhasil dalam kehidupan sebagai manusia. Itulah yang membuat kita bahagia dan itulah yang mau ditunjukkan oleh Aristoteles.

Pandangan Aristoteles mengenai etika mewakili opini kaum terpelajar dan berpengalaman yang ada dalam kehidupannya. Pandangan Aristoteles tidak sama dengan Plato yang memenuhi pikirannya dengan gagasan-gagasan dan keyakinan agama bersifat mistik. Sasaran utama etika Aristoteles berorientasi pada kebahagiaan umum. Menurut Aristoteles, setiap tindakan manusia pasti memiliki tujuan, sebuah nilai. Ada dua macam tujuan: tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah sarana untuk tujuan lebih lanjut.

Tujuan akhir adalah tujuan yang tidak kita cari demi tujuan lebih lanjut, melainkan demi dirinya sendiri, tujuan yang kalau tercapai, mestinya tidak ada lagi yang masih diminati selebihnya. Jawaban yang diberikan Aristoteles untuk tujuan akhir ini menjadi sangat berarti dalam sejarah etika selanjutnya, yaitu: Kebahagiaan! Kalau seseorang sudah bahagia, tidak ada yang masih diinginkan selebihnya. Maka pertanyaan kunci adalah: Hidup macam apa yang menghasilkan kebahagiaan?

Menurutnya ada dua macam keutamaan yang berhubungan dengan jiwa yaitu intelektual dan moral. Keutamaan intelektual dihasilkan dari pengajaran, keutamaan moral berasal dari kebiasaan. Dalam hal politik tugas legislator adalah menciptakan warganegara yang baik dengan cara membentuk kebiasaan yang baik.

Kita menjadi adil dengan menjalankan tindakan-tindakan yang adil, demikian pula dengan keutamaan yang lainnya. Dengan dipaksa untuk menerima kebiasaan baik, menurut Aristoteles, suatu saat kita akan menemukan kenikmatan dalam menjalankan tindakan-tindakan yang baik itu. Dalam hal ini kita diingatkan pada apa yang diucapkan Hamlet, seorang filusuf kepada ibunya : "lakukan keutamaan jika kau belum melakukan. Raksasa itu, adat istiadat, yang merangkum semua akal sehat, pada kebiasaan jahat, dalamnya masih ada malaikat, dengan adil dan jujur dalam tindakan, iapun memberimu pangkat dan kemuliaan, yang pantas dikenakan".

Pendapat Aristoteles tentang persoalan moral tak lain adalah pandangan konvensional pada zamannya. Dalam beberapa segi pandangan itu berlaku di kehidupan kita, di mana kita berpendapat bahwa semua manusia, dalam teori etika, memiliki hak-hak yang setara, dan bahwa keadilan tidak lepas dari kesetaraan. Aristoteles berpendapat bahwa keadilan bukanlah kesetaraan, namun dalam pembagian hak tidak selalu berarti kesetaraan. Individu yang terbaik menurut konsepsi Aristoteles adalah ia yang hendaknya memiliki harga diri sepantasnya, dan tidak merendahkan kelebihannya sendiri.

Manusia yang berbudi luhur tidak selayaknya melarikan diri dari bahaya, berpangku tangan atau menyalahkan orang lain. Bagi Aristoteles, manusia tidak berkembang dengan memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri, melainkan dengan membuka diri terhadap orang lain. Manusia tidak mencapai kebahagiaan dan keluhurannya dengan mau memiliki sesuatu, melainkan dengan mengarahkan diri pada usaha bersama.

H. Leonardy Harmainy, S.IP, MH, Dt.Bandaro Basa
×
Berita Terbaru Update