Dalam sistem parlementer, hari pemilu ditetapkan oleh Perdana Menteri. Biasanya, pemilu diadakan ketika ekonomi membaik atau pemerintahan sedang stabil. Kecuali ada gugatan dari pihak oposisi yang menginginkan pemilu dipercepat, sebagaimana terjadi di Thailand. Pemerintah bisa saja menunda pemilu, apabila diprediksi akan memberikan kerugian secara politik. Tujuannya tentu agar partai pemerintah bisa memenangkan pemilu.
Masalahnya, Indonesia menganut sistem presidensial. Ada banyak istilah yang dipakai, baik presidensial yang lemah atau presidensial yang kuat. Sebelum amandemen UUD 1945, sistem presidensial kita begitu kuat. Hasilnya adalah pemerintahan Presiden Sukarno selama 20 tahun dan pemerintahan Presiden Soeharto selama 30 tahun lebih. Presiden bisa dipilih berkali-kali. Pembatasan masa jabatan presiden selama dua periode mengurangi kelanggengan sistem presidensial itu. Belum lagi beragam hak yang semula menjadi prerogatif presiden, kemudian dialihkan atau dibagi ke lembaga legislatif.
Bentuk pemerintahan yang sentralistis, juga menjadi desentralistis. Kekuasaan lembaga kepresidenan kian terbagi ke daerah-daerah, baik provinsi, kabupaten ataupun kota. Hadirnya sejumlah lembaga negara atau komisi negara barupun mendapatkan legitimasi dari parlemen. Artinya, sulit berharap kalau seorang presiden saja bisa menyelesaikan masalah-masalah besar di Indonesia, apalagi kalau ruang lingkupnya masuk kewenangan pemerintahan daerah atau lembaga lain itu. Sekuat apapun seorang presiden, tetap saja memiliki keterbatasan menurut konstitusi dan aturan perundangan lainnya.
Sayangnya, kurangnya pendidikan kewarga-negaraan menyebabkan sedikit sekali upaya untuk memahaminya di kalangan penyelenggara negara, apatah lagi masyarakat banyak. Padahal, di tengah kontestasi dan kompetisi politik sekarang, pemahaman ini amat diperlukan guna menjaga ekspektasi publik. Sejumlah survei persepsi publik menunjukkan lonjakan perhatian kepada figur calon presiden, ketimbang mencoba melihat persoalan secara lebih utuh. Begitu pula amat mudah melemparkan tanggungjawab persoalan tertentu ke lembaga kepresidenan, ketimbang menyelesaikan berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh pihak lain. Figur kini kian dilirik, sementara struktur kelembagaan yang menyokong figur itu sama sekali kurang digali.
Geliat Oposisi
Dalam banyak survei juga terlihat kian lemahnya kinerja pemerintahan pusat secara umum. Publik mengalami ketidak-puasan yang nyata atas kondisi hari ini. Melambungnya harga kebutuhan pokok menjadi perhatian utama publik, ketika kinerja di sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan dirasakan kian baik. Perhatian publik juga terjadi ke sektor lapangan kerja. Kian banyaknya angkatan kerja tidak diimbangi oleh ketersediaan lapangan kerja.
Akibatnya, jumlah angka pengangguran membengkak, rata-rata di Pulau Jawa. Bahkan, janji pertumbuhan ekonomi sebesar 7% yang disampaikan pasangan SBY-Boediono dalam debat Pilpres 2009 sama sekali sulit dicapai.
Akibat paling terasa dari lemahnya kinerja pemerintah ini adalah berkurangnya secara drastis dukungan publik terhadap partai-partai pendukung pemerintah. Hanya Partai Golkar yang mampu berada di atas batas psikologisnya, yakni di atas perolehan suara dalam pemilu 2009. Partai-partai koalisi pemerintah lain rata-rata turun sampai 50%, bahkan lebih. Partai-partai yang menyebut diri sebagai “oposisi” menggeliat, bahkan meraup angka elektabilitas signifikan, terutama PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Masyarakat langsung memberikan hukuman kepada pihak yang dianggap mengemudikan perjalanan kapal besar Indonesia ini.
Padahal, kalau mau dilihat, bahkan partai-partai yang menyebut diri sebagai “oposisi” juga memiliki kepala-kepala pemerintahan di daerah, baik provinsi, kabupaten atau kota. DKI Jakarta dan Jawa Tengah, misalnya, dipimpin kader PDI Perjuangan. Sementara Jawa Timur memang dipimpin kader Partai Demokrat, Jawa Barat dipimpin kader Partai Keadilan Sejahtera, sementara Banten dipimpin kader Partai Golkar sebelum dijadikan tersangka. Publik sama sekali belum bisa membagi-bagi reward and punishment berdasarkan kewenangan pemerintahan, melainkan terus melihat pada titik puncak penguasa negara. Hal ini tentu tidak terlepas dari cengkraman informasi yang hinggap dalam kepala masyarakat. Desentralisasi kekuasaan belum dengan sendirinya membuahkan desentralisasi informasi dengan skala yang sama-sama masifnya.
Kalangan Ahli
Ke depan, diperlukan lebih banyak kalangan ahli untuk memasuki lapangan politik praktis, baik di pemerintahan, lagislatif ataupun komisi-komisi negara. Selama ini ada yang sudah memiliki keahlian seperti itu, tetapi kurang memberikan kontribusi kepada khalayak ramai. Bagi yang biasa berpikir politis, mereka dimasukkan ke dalam kategori orang-orang yang “bermain aman”. Tetapi bagi mereka sendiri, itulah contoh kerja profesional. Tanpa bermaksud memberikan arahan, sebaiknya mereka menulis buku usai bekerja di lingkungan yang masuk kategori politik praktis itu. Banyak negarawan menjadi negarawan, justru setelah mengakhiri masa tugasnya. Tulisan-tulisan Mohammad Hatta tentang ekonomi ataupun AH Nasution tentang militer, misalnya, ditulis setelah tidak lagi memiliki jabatan di pemerintahan dan militer.
Tetapi, diluar itu, jangan sampai pemahaman publik melenceng selama perjalanan pemerintahan. Karena itu diperlukan penjelasan lebih dalam, walau hanya sekilas, setiap kali satu persoalan muncul. Penjelasan ini perlu berkali-kali. Setiap orang yang merasa dirinya sebagai intelektual, mau berada di lingkungan manapun, sebetulnya memiliki kewajiban intelektual untuk menjelaskan soal-soal ini kepada publik. Apalagi, kebebasan media begitu besar. Jangan sampai persepsi keliru telanjur terbentuk, sehingga siapapun yang berikutnya berada di lingkungan kekuasaan harus menjelaskan ulang. Semakin banyak yang memiliki pemahaman yang sama, semakin mudah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul.
Di sinilah diperlukan nalar intelektual di setiap aliran kekuasaan. Nalar intelektual itu berupa sikap kritis dan skeptis atas apapun yang dikerjakan, apalagi ketika menggenggam kekuasaan. Di harian ini saya pernah ulas tentang sejumlah intelektual yang menjadi terpidana kasus-kasus korupsi. Bukan makin berkurang, melainkan jumlah kaum intelektual atau minimal dalam pengertian yang mencapai jenjang akademis tertinggi malah bertambah. Barangkali, orang masih menganggap “wajar” ketika politisi menjadi terpidana kasus korupsi.
Tetapi apakah demikian dengan mereka yang mendapat status terhormat sebagai kaum intelektual? Politisi saja sangat tak wajar menjadi terpidana, apatah lagi kaum intelektual.
Lagipula, apa yang mau dikejar lewat kekuasaan yang terbatas itu? Tidak ada kekuasaan yang benar-benar absolut sekarang. Keterbatasan bisa dalam artian kewenangan, anggaran, juga waktu. Belum tentu keterlibatan dalam kekuasaan itu satu atau dua periode, bisa saja setengah periode. Nalar intelektual yang benar diperlukan, guna memperbaiki pengaruh negatif kekuasaan itu. Nalar itu bukan hanya ketika berkuasa, melainkan terus-menerus setelah tak lagi berkuasa. Usia manusia dibandingkan dengan usia negara bisa saja lebih panjang, terutama di negara-negara baru. Tetapi ketika usia panjangpun ada masalah yang menunggu: kepikunan dalam berpikir.
Kewajiban kaum intelektuallah untuk menghentikan kepikunan ini. Tentu dengan nalar yang terus dipakai, apalagi ketika berkuasa..
Indra Jaya Piliang