Kemarin pagi, Kamis, saya menyaksikan tayangan
Dialog Pagi di Metro TV yang membahas gugatan uji materiil Undang-Undang
Pilpres oleh Aliansi Masyarakat Sipil (eefndi Ghazali, dkk.). Dialog
itu ibarat menjemput bola, karena siang harinya Mahkamah Konstitusi
diagendakan membacakan putusan uji materi tersebut. Nara sumber yang
hadri ada Effendi Ghazali sendiri, Maahfud MD sebagai mantan Ketua MK
saat gugatan uji materi itu dimasukkan dan dibahas, serta Ferry
Mursyidan Baldan, politisi Partai Nasdem.
Di awal, Effendi Ghazali menegaskan bahwa
gugatan kelompoknya diajukan jauh sebelum Yusril Ihza Mahendra melakukan
uji materi yang kurang lebih sama. Gugatan Effendi ddk sudah masuk
sejak Januari 2013. Yang menarik bagi saya adalah sikap Pak Mahfud MD.
Dari gestur, mimik muka dan pernyataan yang beliau lontarkan, terkesan
nada optimisme. Pak Mahfud mengatakan bahwa pengambilan keputusan atas
gugatan uji materi yang diajukan Effendi Ghazali itu sudah dibahas
menjelang akhir masa jabatannya sebagai Ketua MK. Mahfud menjelaskan
saat itu ia meminta 8 Hakim MK untuk mengambil putusan, jika
keputusannya berimbang (4 menolak vs 4 menerima), maka Ketua MK akan
memberikan keputusannya. Sebaliknya jika putusan sudah 5 vs 3, maka
Ketua MK tinggal mengesahkan saja. Begitu aturannya di MK, kata Mahfud.
Petang kemarin, setelah MK resmi mengetok palu
putusan atas gugatan Effendi dkk, saya sempat melihat ekspresi Pak
Mahfud yang – menurut tafsiran saya – kecewa, ketika beliau dicegat
wartawan TV dan ditanya soal itu. Jelas sekali Pak Mahfud berusaha
menyampaikan bahwa putusan itu sebenarnya sudah ada sejak jamannya
memimpin MK, kenapa baru dibacakan sekarang, sehingga implikasinya
penerapan Pileg dan Pilpres serentak baru dilakukan pada 2019.
Pertimbangannya adalah kesiapan pelaksanaan dan tahapan Pemilu 2014 akan
terganggu. “Ah.., itu hanya teknis saja. Itu teknis!” kata Pak
Mahfud sambil berlalu. Jadi, apakah sebenarnya Pak Mahfud pun
menghendaki putusan itu dibacakan segera dan efektif berlaku 2014?
Malam harinya, dalam sebuah acara live di Metro TV
jam 8 malam, Pak Mahfud kembali hadir, duduk bersama nara sumber lain,
Aziz Syamsudin dari Golkar dan Lukman Hakim Saifuddin, yang meski hadir
sebagai Wakil Ketua MPR tentu tak lepas dari keberadaannya sebagai
politisi PPP. Kali ini saya lihat Pak Mahfud sudah agak lebih melunak.
Menepis kecurigaan Ray Rangkuti yang menduga ada alasan politis dibalik
ditundanya pembacaan putusan, Pak Mahfud meski menegaskan bahwa
keputusan itu sudah diambil pada 26 Maret 2013, namun mengatakan bahwa
alasannya teknis, bukan politis. Dua minggu lalu, beliau sempat
memprotes mantan koleganya di MK, kenapa putusan MK bisa mundur sekian
lama. Biasanya hanya mundur 2 bulanan, seharusnya Mei – Juni 2013
putusan itu sudah bisa dibacakan. Jawaban yang didapat : MK sejak April
2013 kebanjiran gugatan sengketa Pilkada, yang mana dibatasi maksimal 14
hari saja sudah harus ada putusan. Setelah itu, MK disibukkan dengan
kasus tertangkapnya Akil Mochtar yang mengganggu konsentrasi MK.
Bagi saya, jawaban (yang diperoleh) Pak Mahfud
itu agak janggal juga. Akil Mochtar ditangkap awal Oktober, sementara
dari 26 Maret sampai dengan awal Oktober ada jeda waktu 6 bulan lebih.
Katakanlah gugatan sengketa Pilkada menumpuk, apakah memang tak mungkin
mengagendakan satu hari saja untuk sidang pembacaan putusan? Bukankah
tinggal membacakan putusan saja, bukan harus bermusyawarah dari awal?
Kecurigaan terhadap MK yang mengundurkan
pembacaan putusan hingga 10 bulan, tak bisa dihindari. Apalagi pasca
ditangkaptangannya Akil, MK mengalami krisis kepercayaan yang sangat
parah. Sepeninggal Mahfud MD, Ketua MK dijabat Akil, apakah tak ada
kemungkinan penundaan pembacaan putusan ada campur tangan Ketua MK?
Faktanya, putusan itu baru dibacakan setelah Akil menjadi tersangka.
Nama Akil sendiri sejak lama kerap diissukan tak bersih dan dicurigai
sering mentransaksikan putusan sengketa Pilkada. Refli Harun sudah
mengungkapkan kecurigaannya sejak akhir 2010 lalu. Kini, makin
terbongkar banyak kasus sengketa pilkada yang ditangani Akil diduga
diwarnai suap. Kalau pilkada yang hanya kepentingan 1-2 parpol pengusung
calon kepala daerah saja bisa membeli putusan Akil, apatah lagi putusan
uji materi UU Pilpres yang menyangkut kepentingan banyak parpol besar
yang berdampak pada Pilpres se-Indonesia? Segala kemungkinan bisa saja
terjadi, sebab ini keputusan yuridis yang implikasinya politis.
Sebenarnya siapa/ pihak mana yang diuntungkan jika
pemberlakuan Pileg dan Pilpres serentak dilakukan mulai 2014?
Sebaliknya, kalau diberlakukan mulai 2019, pihak mana yang diuntungkan?
Ada pengamat politik yang mencurigai SBY (dan Partai Demokrat) akan
diuntungkan jika Pileg diundur 3 bulan dan disatukan dengan Pilpres
menjadi 9 Juli 2014. Alasannya : PD punya waktu 3 bulan untuk
mendongkrak elektabilitasnya. Saya pribadi kok tidak yakin waktu 3 bulan
cukup untuk membuat PD naik elektabilitasnya. Ibarat penderita kanker
yang sudah stadium 4, sudah menjalani kemotheraphy berkali-kali bahkan
operasi pengangkatan sekalipun, tak juga sembuh, apa iya ada harapan
sembuh hanya dengan 3x kemotheraphy lagi? Sejak Mei 2011 nama Nazaruddin
disebut terlibat kasus suap Wisma Atlit, PD terus diguncang prahara.
Satu demi satu nama yang disebut kemudian dinon-aktifkan dari partai,
mulai Nazar lalu diikuti Angie. Belakangan Andi Mallarangeng pun mundur
dari Kabinet. Terakhir, Anas pun sudah berhenti jadi Ketum dan Pak SBY
sendiri turun gelanggang jadi Ketum. Apakah semua itu cukup efektif
memperbaiki citra Demokrat? Apakah selama hampir 3 tahun terakhir ada trend elektabilitas PD meningkat? Kok rasa-rasanya sih tidak.
Jadi, kalaupun Pileg diundur 3 bulan lagi,
menaikkan elektabilitas PD bak menggantang asap. Apalagi dengan adanya
nama Soetan Bhatoegana disebut-sebut meminta THR kepada Ketua SKK Migas.
Rumah Soetan, ruang kerja Soetan, rumah staf ahli Soetan, ruang Fraksi
Demokrat DPR, semua sudah digeledah KPK. Secara yuridis Soetan belum
punya status hukum. Ia hanya diperiksa/ dimintai keterangan sebagai
saksi. Namun, di mata publik, Soetan Bhatoegana sudah “tersangka”. Kesan
ini sulit dipungkiri. Belum lagi Jero Wacik yang juga diujung tanduk.
KPK sudah menetapkan Sekjen Kementrian ESDM Waryono Karno sebagai
tersangka dalam kasus suap SKK Migas. Banyak pengamat yang menduga
selangkah lagi KPK akan mengarah ke Menteri ESDM, seperti ketika Sekjen
Kemenpora jadi tersangka kasus suap Wisma Atlit, Menterinya pun
terseret.
Baik Soetan maupun Jero keduanya kini nyaleg. Mungkin
kalau ditanyakan pada mereka, akan lebih baik kalau Pileg dimajukan
saja, kalau perlu minggu depan, mumpung kasus SKK Migas belum melebar
kemana-mana dan nama mereka makin sering disebut media massa. Jadi,
kalau Pileg diundur 3 bulan sampai 9 Juli 2014 bersamaan dengan Pilpres,
dalam pandangan saya pribadi, justru tak menguntungkan bagi Partai
Demokrat.
Sementara, parpol mana yang kelihatan sangat tak
suka dengan uji materill terhadap UU Pilpres? Nasdem sudah jelas, sangat
kentara sekali lewat pemberitaan dan running text Metro TV
yang selalu mengarah kesana. Lalu siapa lagi selain Nasdem?
Partai-partai besar dan menengah yang sampai saat ini masih belum juga
mengumumkan siapa Capres yang akan mereka ajukan, sekaligus bersikukuh
baru akan menetapkan Capres pasca Pileg, termasuk yang menentang
pemberlakuan Pemilu serentak pada 2014. Mereka masih akan wait n see
dengan hasil Pileg. Jika perolehan suara parpol mereka cukup
signifikan, elite politiknya akan menentukan siapa yang maju menjadi
Capres. Apalagi jika otoritas pengambilan keputusan parpol selama ini
hanya tersentral pada figur tertentu, misalnya Ketua Umum saja.
Begitu pun parpol menengah yang perolehan
suaranya tak cukup signifikan untuk mengusung capres sendiri, namun
cukup lumayan untuk menggenapi persyaratan Presidential Treshold
– yaitu 25% suara sah nasional pada Pemilu 2014 atau 20% perolehan
kursi DPR RI 2014 – juga akan mengambil keuntungan dari jeda waktu
antara Pileg dan Pilpres. Seperti tahun-tahun sebelumnya (2004 dan 2009)
mereka akan segera kasak-kusuk mencari mitra koalisi atas dasar
pragmatisme politis yang sempit, bukan atas dasar ideologi. Bahkan tak
jarang suatu parpol bermain di dua kaki atau lebih. Mereka melakukan
pendekatan dan pembicaraan dengan lebih dari satu parpol besar yang
sudah memiliki Capres, lalu bernegosiasi, mana yang lebih menguntungkan,
itu yang akhirnya didukung. Poltik transaksional, sekian persen
perolehan suara sah nasional, yang tak lain adalah suara rakyat pemilih,
“ditukar” dengan jatah sekian kursi Menteri bahkan sampai privelege
untuk memilih pos Kementrian mana yang diincar parpol A dan mana yang
jadi jatah parpol B.
Sesungguhnya, dengan adanya jeda 3 bulan antara
Pileg dan Pilpres, inilah keuntungan politis bagi parpol. Sekarang
teknologi hitung cepat sudah sangat canggih dan diakui akurasinya, sudah
terbukti dalam berbagai ajang Pilkada dan 2x Pilpres sebelumnya. Jadi,
untuk tahu perolehan suara parpol tak perlu menunggu sampai KPU mengetuk
palu. Sore hari pada 9 April 2014, sudah bisa diprediksi berapa
prosentase perolehan 12 parpol nasional. Dan sejak malam itulah dimulai
gerilya lobbying, kasak-kusuk, mencoba mendesakkan agar Capres
mereka bisa jadi Cawapres dari parpol yang lebih besar perolehannya,
meminta jatah kursi di Kabinet untuk Ketua Umum parpol dan elite
politiknya, dll. Nah, siapa yang diuntungkan dengan putusan MK? Waspadai
parpol besar dan menengah yang sampai saat ini masih merahasiakan
Capresnya atau tak mau menetapkan Capres sebelum Pileg 2014. Sebab
parpol-parpol itulah yang punya kemungkinan mentransaksikan suara
pemilih menjadi koalisi pragmatis demi kepentingan elite politiknya.
Ira Oemar