Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kepentingan Siapa Mundurnya Pemilu Serentak hingga 2019?

24 Januari 2014 | 24.1.14 WIB Last Updated 2014-01-24T16:24:50Z
13905382611971265345
                                        foto : news.liputan6.com

Kemarin pagi, Kamis, saya menyaksikan tayangan Dialog Pagi di Metro TV yang membahas gugatan uji materiil Undang-Undang Pilpres oleh Aliansi Masyarakat Sipil (eefndi Ghazali, dkk.). Dialog itu ibarat menjemput bola, karena siang harinya Mahkamah Konstitusi diagendakan membacakan putusan uji materi tersebut. Nara sumber yang hadri ada Effendi Ghazali sendiri, Maahfud MD sebagai mantan Ketua MK saat gugatan uji materi itu dimasukkan dan dibahas, serta Ferry Mursyidan Baldan, politisi Partai Nasdem.

Di awal, Effendi Ghazali menegaskan bahwa gugatan kelompoknya diajukan jauh sebelum Yusril Ihza Mahendra melakukan uji materi yang kurang lebih sama. Gugatan Effendi ddk sudah masuk sejak Januari 2013. Yang menarik bagi saya adalah sikap Pak Mahfud MD. Dari gestur, mimik muka dan pernyataan yang beliau lontarkan, terkesan nada optimisme. Pak Mahfud mengatakan bahwa pengambilan keputusan atas gugatan uji materi yang diajukan Effendi Ghazali itu sudah dibahas menjelang akhir masa jabatannya sebagai Ketua MK. Mahfud menjelaskan saat itu ia meminta 8 Hakim MK untuk mengambil putusan, jika keputusannya berimbang (4 menolak vs 4 menerima), maka Ketua MK akan memberikan keputusannya. Sebaliknya jika putusan sudah 5 vs 3, maka Ketua MK tinggal mengesahkan saja. Begitu aturannya di MK, kata Mahfud.

Petang kemarin, setelah MK resmi mengetok palu putusan atas gugatan Effendi dkk, saya sempat melihat ekspresi Pak Mahfud yang – menurut tafsiran saya – kecewa, ketika beliau dicegat wartawan TV dan ditanya soal itu. Jelas sekali Pak Mahfud berusaha menyampaikan bahwa putusan itu sebenarnya sudah ada sejak jamannya memimpin MK, kenapa baru dibacakan sekarang, sehingga implikasinya penerapan Pileg dan Pilpres serentak baru dilakukan pada 2019. Pertimbangannya adalah kesiapan pelaksanaan dan tahapan Pemilu 2014 akan terganggu. “Ah.., itu hanya teknis saja. Itu teknis!” kata Pak Mahfud sambil berlalu. Jadi, apakah sebenarnya Pak Mahfud pun menghendaki putusan itu dibacakan segera dan efektif berlaku 2014?

1390538334875467805
Mantan Ketua MK ini tampak sedikit kecewa karena apa yang telah diputuskan di sisa masa jabatannya ternyata baru dibacakan 10 bulan kemudian dan pemberlakuannya menjadi tahun 2019 (foto : nasional.kompas.com)

Malam harinya, dalam sebuah acara live di Metro TV jam 8 malam, Pak Mahfud kembali hadir, duduk bersama nara sumber lain, Aziz Syamsudin dari Golkar dan Lukman Hakim Saifuddin, yang meski hadir sebagai Wakil Ketua MPR tentu tak lepas dari keberadaannya sebagai politisi PPP. Kali ini saya lihat Pak Mahfud sudah agak lebih melunak. Menepis kecurigaan Ray Rangkuti yang menduga ada alasan politis dibalik ditundanya pembacaan putusan, Pak Mahfud meski menegaskan bahwa keputusan itu sudah diambil pada 26 Maret 2013, namun mengatakan bahwa alasannya teknis, bukan politis. Dua minggu lalu, beliau sempat memprotes mantan koleganya di MK, kenapa putusan MK bisa mundur sekian lama. Biasanya hanya mundur 2 bulanan, seharusnya Mei – Juni 2013 putusan itu sudah bisa dibacakan. Jawaban yang didapat : MK sejak April 2013 kebanjiran gugatan sengketa Pilkada, yang mana dibatasi maksimal 14 hari saja sudah harus ada putusan. Setelah itu, MK disibukkan dengan kasus tertangkapnya Akil Mochtar yang mengganggu konsentrasi MK.

Bagi saya, jawaban (yang diperoleh) Pak Mahfud itu agak janggal juga. Akil Mochtar ditangkap awal Oktober, sementara dari 26 Maret sampai dengan awal Oktober ada jeda waktu 6 bulan lebih. Katakanlah gugatan sengketa Pilkada menumpuk, apakah memang tak mungkin mengagendakan satu hari saja untuk sidang pembacaan putusan? Bukankah tinggal membacakan putusan saja, bukan harus bermusyawarah dari awal?

Kecurigaan terhadap MK yang mengundurkan pembacaan putusan hingga 10 bulan, tak bisa dihindari. Apalagi pasca ditangkaptangannya Akil, MK mengalami krisis kepercayaan yang sangat parah. Sepeninggal Mahfud MD, Ketua MK dijabat Akil, apakah tak ada kemungkinan penundaan pembacaan putusan ada campur tangan Ketua MK? Faktanya, putusan itu baru dibacakan setelah Akil menjadi tersangka. Nama Akil sendiri sejak lama kerap diissukan tak bersih dan dicurigai sering mentransaksikan putusan sengketa Pilkada. Refli Harun sudah mengungkapkan kecurigaannya sejak akhir 2010 lalu. Kini, makin terbongkar banyak kasus sengketa pilkada yang ditangani Akil diduga diwarnai suap. Kalau pilkada yang hanya kepentingan 1-2 parpol pengusung calon kepala daerah saja bisa membeli putusan Akil, apatah lagi putusan uji materi UU Pilpres yang menyangkut kepentingan banyak parpol besar yang berdampak pada Pilpres se-Indonesia? Segala kemungkinan bisa saja terjadi, sebab ini keputusan yuridis yang implikasinya politis.

13905384431418825697
Para Hakim MK yang mengambil putusan (foto : www.tribunnews.com)

Sebenarnya siapa/ pihak mana yang diuntungkan jika pemberlakuan Pileg dan Pilpres serentak dilakukan mulai 2014? Sebaliknya, kalau diberlakukan mulai 2019, pihak mana yang diuntungkan? Ada pengamat politik yang mencurigai SBY (dan Partai Demokrat) akan diuntungkan jika Pileg diundur 3 bulan dan disatukan dengan Pilpres menjadi 9 Juli 2014. Alasannya : PD punya waktu 3 bulan untuk mendongkrak elektabilitasnya. Saya pribadi kok tidak yakin waktu 3 bulan cukup untuk membuat PD naik elektabilitasnya. Ibarat penderita kanker yang sudah stadium 4, sudah menjalani kemotheraphy berkali-kali bahkan operasi pengangkatan sekalipun, tak juga sembuh, apa iya ada harapan sembuh hanya dengan 3x kemotheraphy lagi? Sejak Mei 2011 nama Nazaruddin disebut terlibat kasus suap Wisma Atlit, PD terus diguncang prahara. Satu demi satu nama yang disebut kemudian dinon-aktifkan dari partai, mulai Nazar lalu diikuti Angie. Belakangan Andi Mallarangeng pun mundur dari Kabinet. Terakhir, Anas pun sudah berhenti jadi Ketum dan Pak SBY sendiri turun gelanggang jadi Ketum. Apakah semua itu cukup efektif memperbaiki citra Demokrat? Apakah selama hampir 3 tahun terakhir ada trend elektabilitas PD meningkat? Kok rasa-rasanya sih tidak.

Jadi, kalaupun Pileg diundur 3 bulan lagi, menaikkan elektabilitas PD bak menggantang asap. Apalagi dengan adanya nama Soetan Bhatoegana disebut-sebut meminta THR kepada Ketua SKK Migas. Rumah Soetan, ruang kerja Soetan, rumah staf ahli Soetan, ruang Fraksi Demokrat DPR, semua sudah digeledah KPK. Secara yuridis Soetan belum punya status hukum. Ia hanya diperiksa/ dimintai keterangan sebagai saksi. Namun, di mata publik, Soetan Bhatoegana sudah “tersangka”. Kesan ini sulit dipungkiri. Belum lagi Jero Wacik yang juga diujung tanduk. KPK sudah menetapkan Sekjen Kementrian ESDM Waryono Karno sebagai tersangka dalam kasus suap SKK Migas. Banyak pengamat yang menduga selangkah lagi KPK akan mengarah ke Menteri ESDM, seperti ketika Sekjen Kemenpora jadi tersangka kasus suap Wisma Atlit, Menterinya pun terseret. 

Baik Soetan maupun Jero keduanya kini nyaleg. Mungkin kalau ditanyakan pada mereka, akan lebih baik kalau Pileg dimajukan saja, kalau perlu minggu depan, mumpung kasus SKK Migas belum melebar kemana-mana dan nama mereka makin sering disebut media massa. Jadi, kalau Pileg diundur 3 bulan sampai 9 Juli 2014 bersamaan dengan Pilpres, dalam pandangan saya pribadi, justru tak menguntungkan bagi Partai Demokrat.

13905386531134827820
Dua politisi Nasdem yang paling getol menyoal uji materi UU Pilpres akan menimbulkan chaos politik dan sekarang paling mendukung pemberlakuan Pemilu serentak mulai 2019 (foto : www.indopos.com)

Sementara, parpol mana yang kelihatan sangat tak suka dengan uji materill terhadap UU Pilpres? Nasdem sudah jelas, sangat kentara sekali lewat pemberitaan dan running text Metro TV yang selalu mengarah kesana. Lalu siapa lagi selain Nasdem? Partai-partai besar dan menengah yang sampai saat ini masih belum juga mengumumkan siapa Capres yang akan mereka ajukan, sekaligus bersikukuh baru akan menetapkan Capres pasca Pileg, termasuk yang menentang pemberlakuan Pemilu serentak pada 2014. Mereka masih akan wait n see dengan hasil Pileg. Jika perolehan suara parpol mereka cukup signifikan, elite politiknya akan menentukan siapa yang maju menjadi Capres. Apalagi jika otoritas pengambilan keputusan parpol selama ini hanya tersentral pada figur tertentu, misalnya Ketua Umum saja.

Begitu pun parpol menengah yang perolehan suaranya tak cukup signifikan untuk mengusung capres sendiri, namun cukup lumayan untuk menggenapi persyaratan Presidential Treshold – yaitu 25% suara sah nasional pada Pemilu 2014 atau 20% perolehan kursi DPR RI 2014 – juga akan mengambil keuntungan dari jeda waktu antara Pileg dan Pilpres. Seperti tahun-tahun sebelumnya (2004 dan 2009) mereka akan segera kasak-kusuk mencari mitra koalisi atas dasar pragmatisme politis yang sempit, bukan atas dasar ideologi. Bahkan tak jarang suatu parpol bermain di dua kaki atau lebih. Mereka melakukan pendekatan dan pembicaraan dengan lebih dari satu parpol besar yang sudah memiliki Capres, lalu bernegosiasi, mana yang lebih menguntungkan, itu yang akhirnya didukung. Poltik transaksional, sekian persen perolehan suara sah nasional, yang tak lain adalah suara rakyat pemilih, “ditukar” dengan jatah sekian kursi Menteri bahkan sampai privelege untuk memilih pos Kementrian mana yang diincar parpol A dan mana yang jadi jatah parpol B.

1390538756965725418
Para pemohon uji materi UU Pilpres (foto : www.tribunnews.com)

Sesungguhnya, dengan adanya jeda 3 bulan antara Pileg dan Pilpres, inilah keuntungan politis bagi parpol. Sekarang teknologi hitung cepat sudah sangat canggih dan diakui akurasinya, sudah terbukti dalam berbagai ajang Pilkada dan 2x Pilpres sebelumnya. Jadi, untuk tahu perolehan suara parpol tak perlu menunggu sampai KPU mengetuk palu. Sore hari pada 9 April 2014, sudah bisa diprediksi berapa prosentase perolehan 12 parpol nasional. Dan sejak malam itulah dimulai gerilya lobbying, kasak-kusuk, mencoba mendesakkan agar Capres mereka bisa jadi Cawapres dari parpol yang lebih besar perolehannya, meminta jatah kursi di Kabinet untuk Ketua Umum parpol dan elite politiknya, dll. Nah, siapa yang diuntungkan dengan putusan MK? Waspadai parpol besar dan menengah yang sampai saat ini masih merahasiakan Capresnya atau tak mau menetapkan Capres sebelum Pileg 2014. Sebab parpol-parpol itulah yang punya kemungkinan mentransaksikan suara pemilih menjadi koalisi pragmatis demi kepentingan elite politiknya.

Ira Oemar
×
Berita Terbaru Update