Demi mengetahui Angel Lelga berada pada nomor urut 1
di Dapil Jateng V, banyak orang berkomentar di media sosial, “Waduh,
pasti jadi tuh!” Apalagi melihat optimisme Angel yang seolah yakin pasti
melaju ke Senayan. Benarkah demikian?
Ketika Najwa Shihab menelanjangi keawaman Angel
Lelga soal wawasan politik, sebenarnya ada satu hal yang lupa
ditanyakan Najwa padahal itu amat sangat mendasar bagi mereka yang akan
terjun ke politik praktis dengan menjadi caleg. Meski sangat mendasar,
belum tentu caleg paham.
Pertanyaan itu adalah: apakah Angel Lelga sudah
paham benar bagaimana mekanisme pencalegan, Pemilu/Pileg, perhitungan suara sah dan penetuan caleg terpilih? Apakah Angel Lelga paham apa itu prinsip “proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak”? Bukan hanya Angel Lelga, ribuan caleg dari 12 partai politik nasional yang berlaga pada Pileg 2014, wajib tahu soal itu.
Tahukah para caleg – terutama caleg partai kecil atau yang menurut survey elektabilitasnya rendah – apa itu parliamentary threshold (PT) dan berapa prosentase minimal yang harus diraih suatu parpol dari suara sah nasional? Sebab tanpa lolos PT, sebuah parpol tak akan dihitung sama sekali perolehan suaranya,
meski di suatu Dapil parpol tersebut mampu mendulang suara 1 BPP atau
setidaknya menempati urutan teratas saat perhitungan sisa suara. Sistem
Pemilu kita memang tak menganut the winner takes all, di mana
dalam satu distrik pemilihan parpol yang kalah dalam perhitungan suara
maka suaranya akan hilang.
Namun, dengan adanya ketentuan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen, suatu
parpol baru dapat mengantar calegnya ke Senayan jika keseluruhan
perolehan suaranya secara nasional telah melebihi ambang batas parlemen.
Tahukah para caleg bagaimana tahapan mengonversi suara pemilih menjadi “kursi” DPR? Tahukah apa itu BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) dan berapa perkiraan BPP di Dapil-nya? Mengertikah mereka apa yang dimaksud penghitungan tahap ke-II, yaitu perhitungan sisa suara? Apa yang dimaksud dengan sisa suara terbanyak? Sadarkah mereka bahwa dengan prinsip proporsional terbuka berdasar suara terbanyak, caleg nomor urut 1 sekali pun belum tentu lolos?!
Pemahaman akan hal-hal di atas sangat fatal, sebab tampaknya
banyak caleg yang bahkan tak paham sistem pemilu dan perhitungan suara
serta penentuan caleg terpilih. Ini tampak dari ketidaksiapan mereka
jika ternyata tak terpilih. Mereka hanya berpikir bahwa dengan jor-joran
menggelontorkan dana kampanye, atau membayar mahar besar kepada parpol
agar mendapat nomor urut “topi”, sudah dijamin pasti jadi. Akibatnya,
jika hasil perhitungan KPU/KPUD ternyata nama mereka tak lolos, mereka
lalu mengamuk, menuduh pesaing berbuat curang, mengerahkan pendukung
atau orang bayaran untuk bertindak anarkhis atau yang tak bisa berbuat
apa-apa hanya bisa stress berat dan berujung sakit jiwa. Saya menduga
kuat, Angel Lelga dan ribuan caleg lainnya di seluruh Tanah Air, banyak
yang belum paham benar prinsip perhitungan suara.
Parpol belum tentu memberikan pemahaman, bahkan
terkadang pemberian nomor urut atas seolah jadi “hadiah hiburan”
padahal namanya hanya dijadikan vote getter semata. Ada lagi trik parpol mengkadali caleg terkait affirmative policy
yang mensyaratkan setiap parpol di tiap Dapil harus mencantumkan
minimal 30% caleg perempuan. Direkrutlah perempuan seleb, diberi nomor
urut “cantik” padahal ditempatkan di Dapil kering di mana parpol
tersebut tak punya basis massa.
MENGKONVERSI SUARA MENJADI KURSI PARLEMEN
Jika di suatu Dapil kuota kursi DPR/DPRD ada 5
kursi, maka setiap parpol berhak mengajukan caleg maksimal sampai 2x
(dua kali) jumlah kuota kursi DPR/DPRD, yaitu 10 caleg. Ini gengsi bagi
sebuah parpol, apalagi bagi parpol yang dikenal sebagai parpol lama dan
besar. Mereka akan jatuh gengsi kalau tak mengajukan caleg sejumlah
maksimal, masa iya sih gak punya stock caleg? Dari 10 caleg
itu, minimal 3-4 orang harus perempuan. Jadi, di Dapil tersebut, kursi
DPR/DPRD yang hanya 5 kursi saja bisa diperebutkan oleh 10 caleg x 12
parpol = 120 caleg (maksimal). Dengan kata lain, secara statistik –
dengan mengabaikan berbagai faktor lain – peluang seorang caleg untuk
terpilih di Dapil itu hanyalah 5/120 atau 0,0417 alias tak sampai 5%
saja.
Sebelum kursi dibagi ke para caleg, terlebih
dulu parpol dilihat perolehan suara nasionalnya, mampukah menembus
ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Parpol tak
lolos PT langsung tersingkir, suara pemilihnya hangus. Inilah perlunya
para caleg satu parpol harus kompak bahu-membahu membesarkan partainya
agar mampu menembus batas parlemen. Bukan saling menjatuhkan, sehingga
akibat citra buruk salah satu atau sebagian caleg, maka caleg dari
parpol tersebut tak dipercaya masyarakat.
Lalu berapa “harga” sebuah kursi? Dalam arti
berapa suara yang harus dikumpulkan seorang caleg untuk bisa ditukar
sebuah kursi. Ini disebut BPP, yaitu jumlah penduduk berhak pilih
(tercatat pada DPT) di dapil tersebut dibagi dengan jumlah kuota kursi
yang tersedia. Namun angka BPP itu bisa turun drastis jika banyak golput
dan suara rusak/tidak sah. Angka BPP akhir yang dipakai untuk membagi
kursi adalah jumlah suara sah dibagi jumlah kuota kursi. Itu sebabnya
rakyat tak pernah bisa menghukum parpol dengan golput sekalipun. Sebab,
meski angka golput nasional ekstrim mencapai 60% misalnya, jatah kursi
DPR RI tetap saja 560. Harga kursi justru akan murah, sebab untuk
menebus satu kursi jumlah suara yang diperlukan tak sebanyak seharusnya.
Misalnya jumlah pemilih dalam DPT 200.000 orang, jumlah kursi 5, maka
BPP = 40.000 suara. Namun setelah perhitungan suara ternyata suara sah
hanya 60% atau 120.000 suara, maka nilai BPP menjadi 24.000 suara saja.
Nah, itulah jumlah suara yang harus diraih si caleg untuk bisa langsung
terpilih.
Dalam satu Dapil, dilihat mana caleg yang
memperoleh suara senilai 1 BPP atau lebih. Jika ada, caleg tersebut
otomatis ditetapkan terpilih. Namun ini sulit sekali. Jika jumlah suara
yang didapat caleg itu lebih dari 1 BPP, maka sisa suaranya (setelah
dikurangi BPP) akan menjadi hak parpol. Jika tak ada caleg yang berhasil
meraih suara 1 BPP, maka dlihat keseluruhan pengumpulan suara dari
parpol tersebut. Perlu diketahui pemilih : anda boleh mencontreng hanya
tanda gambar/nomor urut parpol saja tanpa mencontreng nama caleg, maka
suara anda akan dihitung sebagai suara parpol dan nanti akan dihibahkan
pada caleg yang memperoleh suara terbanyak di internal parpol itu jika
tak mencapai 1 BPP.
Anda juga boleh mencontreng tanda gambar parpol
sekaligus nama calegnya dan suara anda akan dihitung sebagai suara untuk
caleg yang anda pilih. Sebaliknya, jika anda hanya mencontreng nama
caleg saja tanpa tanda gambar parpol, maka suara anda dianggap tidak
sah. Sebab suara untuk caleg hakikatnya suara untuk parpol pengusungnya.
Jika tak ada caleg maupun parpol yang perolehan
suaranya mencapai 1 BPP di Dapil tersebut, maka prioritas pembagian
kursi dilakukan untuk parpol yang memiliki sisa suara terbesar secara
berturut-turut. Kursi parpol tersebut diberikan pada caleg yang
memperoleh suara terbanyak. Begitu seterusnya, sampai sisa suara habis
terbagi. Pemilu kali ini sisa suara haruas habis dibagi di Dapil dan tak
boleh dibawa ke Dapil lain.
Cukup rumit perhitungannya? Memang! Bahkan
sengketa di MK menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari. Kita ingat kasus
yang pernah dicuatkan Mahfud MD perihal Andi Nurpati pernah dilaporkan
mengubah putusan MK soal caleg terpilih. Kini yang sedang hangat dan
ramai dibincangkan di twitter bahkan pernah dikupas Metro TV adalah soal
“kursi haram” Ahmad Muzani, Sekjen Gerindra yang kini sudah duduk di
DPR RI, yang dianggap perolehan suaranya digelembungkan saat perhitungan
suara secara nasional di Hotel Borobudur.
DEMOGRAFI PEMILIH DAN BASIS MASSA PEMILIH
Memperebutkan suara pemilih dalam suatu Dapil
dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain faktor keterkenalan caleg dan
parpol pengusungnya, juga issu-issu aktual yang bisa mendongkrak atau
justru memurukkan peluang parpol dan caleg dalam mendulang suara. Faktor
lain adalah basis massa yang dimiliki suatu parpol. Ada parpol yang
karena faktor historis atau kultural, memiliki keterikatan secara
tradisional dengan masyarakat di suatu daerah tertentu. Semisal di Jawa
Timur dikenal istilah daerah “tapal kuda” yang merupakan basis warga
Nahdliyyin (pengikut NU). Ini merupakan ladang bagi parpol Islam yang
punya keterkaitan sejarah dengan NU, misalnya PKB dan PPP. Wilayah Pulau
Madura misalnya, dulu di masa Orba saat kharisma Kyai Alawy Muhammad
sangat disegani, nyaris mutlak suara Madura menjadi “milik” PPP.
Sedangkan di bagian selatan Jatim, seperti Malang selatan, Blitar, dulu
dikenal sebagai basis massa PDI. Sekarang menjadi lumbung suara PDIP
sebagai reinkarnasi PDI. Daerah Pacitan punya keterikatan psikologis
dengan SBY dan tentu jadi lumbung bagi Demokrat.
Setiap wilayah bisa dipetakan karakter
masyarakatnya secara historis, kultural dan sosial ekonomi kira-kira
jadi basis massa bagi parpol apa. Jadi, seorang caleg yang ditempatkan
di Dapil dimana suatu parpol tak memiliki basis massa, meski diberi
nomor urut teratas, si caleg harus bekerja ekstra keras untuk bisa
terpilih. Mulai dari mengenalkan dirinya dan parpolnya, membangun
kedekatan dengan warga setempat sampai memastikan dia memiliki calon
pemilih loyal yang akan tetap memilihnya meski ada serangan fajar. Ini
jelas bukan persoalan mudah. Apalagi bagi caleg DPR RI dan DPRD Propinsi
yang Dapilnya terdiri dari beberapa Kabupaten/Kota. Sedangkan caleg
DPRD Kabupaten/Kota dapilya hanya beberapa kecamatan saja. Namun
tetaplah bukan urusan mudah mengumpulkan ribuan suara pemilih di tengah
kondisi masyarakat yang skeptis bahkan sinis dan apatis pada politik dan
tingkat ketidakpercayaan yang tinggi pada parpol.
===========================================
Angel Lelga sesungguhnya korban parpol. Ia
ditempatkan di Dapil kering, dapil dimana PPP belum memiliki kursi satu
pun. Klaten, Boyolali dan sekitarnya bukanlah basis massa PPP. Seorang
penggiat hak perempuan pernah mengkritisi strategi parpol menempatkan
caleg perempuan sekedar pemenuh kuota saja. Caleg-caleg itu dipasang
hanya agar DCS parpol tak ditolak KPU, asal memenuhi syarat komposisi
30% perempuan. Padahal, para caleg perempuan itu ditempatkan di Dapil
yang mereka tak kenal karakter masyarakatnya, tak paham bahasa
daerahnya, bagaimana akan menyerap aspirasi? Jika sebuah parpol belum
pernah meraih kursi di Dapil tertentu, itu artinya parpol tersebut tak
punya basis massa disana. Bagaimana bisa caleg yang tanpa kemampuan
sosial-kemasyarakatan, tanpa pengalaman organisasi, tanpa ilmu manajemen
massa, bisa membangun basis massa loyal yang kelak akan memilihnya?
Nah para caleg seleb dan bintang sexy, jangan bangga dulu bahwa kalian dilirik parpol dan diajak nyaleg.
Siapa tahu itu hanya strategi parpol untuk menutup kekurangan caleg
demi memenuhi kuota 30% perempuan dan popularitasnya sekedar dijadikan vote getter
saja. Sutiyoso, Ketum PKPI – di Metro TV dalam segmen khusus Metro
Malam Akhir Pekan perihal kontroversi caleg seksi – menyatakan bahwa
jika tak mencalegkan Destiara Talita, seluruh caleg partainya akan gugur
1 Dapil karena perempuannya kurang dari 30%. Kebetulan di Dapil itu
yang siap hanya Destiara Talita jelang deadline penyerahan DCS
ke KPU. Nah lho! Ternyata kejar setoran 30% kuota caleg perempuan dan
kejar tayang sebelum pendaftaran ditutup KPU.
Ira Oemar