Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pejabat Publik versus Pejabat Non Publik

29 Desember 2013 | 29.12.13 WIB Last Updated 2013-12-29T12:10:55Z




Perkembangan yang terjadi dewasa ini kurang memberi dampak kepada sikap kritis terhadap pemerintahan. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya pendidikan politik terhadap warga negara, baik yang dilakukan oleh partai politik ataupun kalangan lembaga swadaya masyarakat. Salah satunya adalah membedakan mana yang pejabat publik mana yang bukan. Masalah ini kemudian melebar kepada sikap yang kurang peduli terhadap pencapaian-pencapaian tujuan pemerintahan, yakni melayani publik secara keseluruhan.

Jumpalitannya pemahaman ini bisa kita lihat dari lebih banyak pejabat publik yang mengurusi politik, ketimbang mengurusi publik secara luas. Betul, pejabat pemerintahan bisa juga disebut sebagai pejabat politik. Itu dikaitkan dengan konsepsi partai di pemerintahan dan partai di luar pemerintahan. Hanya saja, konsepsi ini perlu lebih dibedakan, mengingat tidak semua yang duduk di pemerintahan mewakili partai politik. Lebih banyak lagi yang sedari awal bukan mewakili kepentingan politik, bahkan dilarang menjadi anggota partai politik.

Dari sekian banyak pimpinan partai politik, kita bisa membedakan mana yang merupakan pejabat publik, mana yang bukan. Untuk kategori pejabat publik adalah Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali, dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Mata. Untuk kategori bukan pejabat publik adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarno Putri, Ketua Umum Partai Golkar (PG) Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Hanura (PH) Wiranto, Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi, Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) MS Ka’ban.

Jadi, terdapat lima Ketua Umum partai politik yang menjadi pejabat publik, sementara tujuh yang bukan. Pejabat publik ini terkait dengan jabatan publik yang diemban, mulai dari Presiden, Menteri ataupun anggota DPR RI. Pejabat publik adalah orang yang menggunakan anggaran negara dan bahkan pengambil keputusan tentang penggunaan anggaran itu. Sementara, non pejabat publik adalah orang biasa seperti rakyat kebanyakan, sekalipun memegang kendali di dalam partai politik yang dipimpinnya. Perbedaan ini diperlukan untuk menimbang bagaimana kinerja publik dan non publik di masing-masing jabatan. Bagaimanapun, setiap pejabat publik tentulah punya tanggungjawab sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Tentu, nama-nama itu bisa diteruskan daftarnya, terutama untuk mereka yang ikut mencalonkan diri lagi sebagai anggota legislatif atau bahkan posisi presiden dan wakil presiden tahun depan. Sebagai pejabat publik, mereka layak disebut sebagai incumbent (petahana), sekalipun sama sekali bukan ingin menduduki jabatan publik yang sama. Di sini kita melihat betapa banyaknya yang masih menjabat menteri, lalu ikut menerjunkan diri lagi di kancah politik praktis sebagai kandidat. Dengan pertimbangan itu, berarti jabatan mereka pertama dan utama sekali perlu melihat aspek pencapaian kinerja, ketimbang mencoba lagi untuk meraih kekuasaan yang sama atau berbeda sama sekali. Diskusi soal ini sungguh kurang.

Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri menjadi pihak yang terlihat garang belakangan, ketika menyurati sejumlah hak tersangka kasus-kasus korupsi. Sementara, KPK RI sama sekali mengabaikan fakta betapa potensi “korupsi” tidak terletak pada kasus gitar yang berupa gratifikasi saja, melainkan pada korupsi dari sisi waktu. Berapa banyak waktu yang dihabiskan oleh pejabat publik itu untuk kegiatan politik praktis, dibandingkan dengan mengurusi jabatannya dan juga tanggungjawabnya? Ketika KPK RI berbicara soal etika dan moralitas dari sisi tersangka kasus-kasus korupsi, sebetulnya ada bidang lain yang juga penting dipertanyakan etikanya, yakni waktu yang disia-siakan oleh para pejabat publik.

Ambil contoh peserta Konvensi Nasional Partai Demokrat. Bagaimana KPK RI menghitung pelanggaran etikanya, ketika banyak nama merupakan pejabat-pejabat publik? Beragam studi menunjukkan bahwa kinerja pemerintahan dinilai negatif oleh publik, termasuk tingkat keberhasilan yang rendah guna mencapai parameter-parameter yang sudah ditetapkan. Berapa banyak waktu dihabiskan untuk mengejar popularitas dan elektabilitas, ketimbang mencapai tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang sudah dicanangkan melalui asumsi-asumsi APBN? Diskusi yang sangat etis ini sama sekali luput dari perhatian, hanya karena bukan masalah korupsi. Padahal, korupsi juga berarti penelantaran tugas dan wewenang guna mencapai tujuan dan kepuasan pribadi.

Akibat yang dirasakan rakyat sudah ada, yakni hampir “lumpuh”-nya pemerintahan. Masyarakat sudah melakukan penilaian bahwa pemerintahan sama sekali tidak akan maksimal bekerja, ketika kalender politik sedang berjalan. Naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok sudah disuarakan oleh masyarakat. Belum lagi terkaparnya nilai Rupiah dibandingkan dengan Nilai U$. Di sini sama sekali jarang ada suara guna mengingatkan kembali agar pemerintahan bekerja. Dalam masalah ini tentu termasuk rendahnya kualitas pelayanan publik, baik di jalanan, kantor-kantor pemerintah, bandara, sampai sekolah atau perguruan tinggi. Kesibukan sejumlah pejabat publik untuk kembali menjabat, sudah dipastikan adalah bagian dari faktor yang memperlambat pelayanan publik itu.

Untuk itu, diperlukan mata yang lebih jernih lagi untuk melihat dan menilai, seberapa sesuaikah antara apa yang dibebankan oleh undang-undang dengan apa yang dikerjakan pejabat publik bersangkutan? Seberapa banyak yang dikerjakan, ketimbang anggaran yang digunakan? Untuk kementerian-kementerian yang idealnya dibebaskan dari sentimen kepartaian atau pencapaian individu secara politik, para menteri terpaksa berbicara sesuai dengan target politik yang hendak dicapai. Sentimen pengumpulan massa lebih dikedepankan, ketimbang sentimen publik dalam arti yang sebenarnya, tanpa melihat minoritas atau mayoritas.

Di sinilah kita perlu melihat lagi, setting agenda seperti apa yang sedang berjalan? Pembiaran terhadap persoalan ini hanya akan meneguhkan bahwa kekuasaan demi kekuasaan belaka. Kekuasaan bukan untuk publik, melainkan bagi kepuasan pejabat publiknya semata... 


Catatan Indra Jaya Piliang

×
Berita Terbaru Update