Sumatera Barat akhir-akhir
ini sering diguyur hujan. Terkadang pagi, siang, sore, tengah malam ataupun
seharian. Kondisi ini sering dianggap sebagai biang keladi nasib buruk yang
dialami masyarakat. Seperti halnya banjir. Kondisi banjir dituding melumpuhkan
setiap aktivitas keseharian masyarakat. Masyarakat terpaksa berdiam diri di
dalam rumah atau melakukan evakuasi ketika kondisi banjir sudah mulai
menjadi-jadi.
Selain itu hujan juga membuat para
pedagang kaki lima, seperti mereka yang menjajakan es buah, minuman-minuman
dingin dan lain merasa kewalahan. Pasalnya, cuaca dingin tidak senada dengan
apa yang mereka jual.
Para pegawai negeri, anak sekolahan
dan lain, kerap kali menjadikan hujan sebagai alasan terlambat bahkan tidak
masuk kerja atau masuk sekolah. Kejadian seperti ini seringkali diwartakan di
berbagai media bahwa hujan adalah faktor penghambat dalam pelbagai aktivitas
keseharian.
Sangat banyak sekali tetek bengek
yang menurut berbagai versi menjadikan hambatan dalam kegiatan sehari-hari. Hal
seperti ini sungguh menampakkan sikap mereka yang suka mengeluh terhadap apa
yang diberikan Tuhan. kata orang “negeri ini adalah kolam susu”, dan banyak lagi
kalimat yang menghanyutkan. Hal itu menjadikan masyarakat yang selalu ingin
praktis. Karena merasa semua kebutuhan sudah disediakan oleh alam.
Negeri yang subur ini ternyata
membuat masyarakat tidak selalu kritis dalam setiap masalah yang kompleks.
Ketika suatu keadaan sudah datang maka mereka hanya bisa pasrah. Kalaupun
sedikit kritis, mereka hanya bisa mengeluh dan menyalahkan setiap keadaan yang
ada.
Mengutip perkataan Ustazd Yusuf
Mansyur dalam bukunya yang berjudul How
to Enjoy Your Life (2013). “Jangan butakan mata kita hanya karena satu-dua
keinginan yang tidak tercapai, lalu kita menjadi manusia pengeluh yang
terhambat sebab hanya terfokus pada kekurangan”. Hal ini menjadi cambuk bagi
mereka yang kerjanya hanya bisa mengeluh. Seperti halnya pedagang es buah yang
hanya menyadari kekurangannya dalam berdagang ketika musim penghujan saat ini.
Setelah itu dia pasrah akan keadaan dan mengeluh. Keadaan mengeluh akan
menghambat kita untuk mencari ide kreatif yang berkonco dengan musim saat ini.
Dalam buku yang sama, Ustazd Yusuf
Mansyur juga mengatakan bahwa kita juga harus senantiasa bersyukur karena Allah-pun
telah berkata demikian.
“…Jika kamu bersyukur, niscaya akan kutambah nikmat-Ku padamu, tapi jika
kamu lupa akan nikmat-Ku, ingatlah akan azab-Ku yang pedih.” (QS. Ibrahim : 7)
Bersyukur
di sini bukan hanya mengucapkan kalimat “Alhamdulillah.”
Tetapi mensyukuri dalam konteks menyambut datangnya hujan adalah awal langkah
kita menuju tahap yang kreatif. Ketika musim kemarau, para penjual buah
mendulang laba yang tiada tara. Ketika hujan dia juga harus mampu
mempertahankan laba yang selama musim panas didapat.
Langkahnya adalah dengan berkaca
pada negara-negara dengan masalah keadaan alam yang jauh lebih kompleks dari
negeri ini. Apakah mereka hanya pasrah dengan keadaan? Apakah mereka hanya bisa
mengeluh? Tidak, jika mereka mempertahankan ego seperti yang dimiliki
masyarakat Pariaman
saat ini mereka tidak akan bisa bertahan hidup. Oleh karena itu masyarakat
Eropa terkenal produktif dalam menciptakan inovasi terbaru dalam menyambut
segala tantangan kehidupan.
Dari segi perbandingan cuaca
tentunya banyak yang sudah tahu bahwasannya di daerah Eropa memiliki 4 musim
yaitu musim panas, musim salju, musim gugur, dan musim semi. Kondisi alam
seperti itu memiliki kompleksitas yang jauh lebih parah dari Pariaman. Dengan itu,
masyarakatnya harus menemukan langkah kreatif dalam menyambut kedatangan setiap
musimnya.
Hal seperti itu menyiratkan kepada masyarakat
Pariaman
secara khusus bahwasannya hujan merupakan lampu hijau dari Tuhan agar
masyarakat mampu keluar dari buaian senandung indah untuk negeri ini.
Masyarakat dituntut berfikir kreatif dalam menghadapi setiap keadaan. Rene
Descates dalam teori rasionalisme memberikan semboyan “cogito ergo sum (saya berfikir maka saya ada). Ya, ketika
masyarakat Pariamang
mampu berfikir kreatif dalam berinovatif maka mereka akan menunjukkan
eksistensinya dalam mata dunia.
Apakah tidak senang rasanya ketika si
tukang buah menciptakan sebuah inovasi yang impresif? Seperti halnya menyulap
buahnya itu menjadi minuman yang menghangatkan badan. Alhasil, kalaupun Pariaman akan dilanda
salju, si tukang buah tetap akan mendulang emas keuntungan. Intinya, hujan
tidak lagi menjadi alasan penghambat beraktivitas, bukankah menurut agama hujan
itu adalah rahmat?
Roni Vebrian