Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

IJP: Iqra dalam Kicauan

12 Desember 2013 | 12.12.13 WIB Last Updated 2013-12-12T13:06:14Z





Baiklah. Saya mau menulis soal-soal seperti ini. Sejak wordpress tidak lagi aktif, terjadi banyak migrasi para penulis. Bagi yang memang hobby menulis, migrasi itu bisa menggunakan website personal seperti yang saya punya ini. Bagi yang lain, migrasi itu pedih. Ada kompasiana, tetapi ia tak bersifat personal. Ada facebook, namun memerlukan personal computer, termasuk laptop. Ya, ada perangkat lain seperti ponsel atau blackberry. Namun mata perlu disipitkan.

Migrasi terbesar lari ke twitter. Terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang menggunakan twitter sebagai area penyampaian pesan atau informasi. Twitter kemudian penuh sesak. Pilihan tetap ada, apakah mau masuk ke akun-akun politik, sosial, budaya, atau bahkan akun-akun porno dan pelayanan seks secara benderang. Ada yang serius, tetapi lebih banyak yang galau. Astrologi yang dulu hanya bisa dibaca sekali seminggu atau sebulan via malajah atau koran, kini berpindah setiap hari ke akun-akun twitter.

Dan kita menjadi asyik dengan twitter. Kecanduan. Dulu digunakan kata “autis”, namun segera ada perlawanan terhadap bahasa itu dari para orang tua yang anaknya autis. Termasuk saya, tentunya, melawan penggunaan kata itu. Kini jarang kata autisme dilekatkan kepada siapapun yang terlihat sibuk dengan blackberry atau ponselnya, sambil tetap berbicara dengan orang lain di sampingnya. Istilah multitaskingpun muncul, yakni melakukan lebih dari satu pekerjaan di waktu yang sama. Kita kian terbiasa melihat orang seperti itu, termasuk saya sendiri.

Hampir tidak ada kode etik di dunia twitter ini. Semua orang berada dalam posisi sejajar. Bahkan akun-akun anonimpun bertebaran. Atau orang-orang yang lebih suka memakai akun-akun anonim, sekalipun orangnya diketahui dengan baik. Di dunia twitter yang minikata ini, semua orang bisa menyambar kicauan siapapun, tanpa harus merasa perlu ditanggapi atau tidak. Banyak istilah yang kemudian muncul, seperti twitwar (perang kicauan), bully (menghantam, menekan atau mengintimidasi secara sengit akun-akun tertentu, bahkan tanpa tahu masalahnya), stalking (melihat akun orang lain secara obsesif dengan tujuan negatif), dan lain sebagainya.

Ya, tentu banyak istilah yang bisa dipakai. Twitter seperti sebuah pasar di sebuah akuarium besar. Semua orang bisa melihat apa yang dibeli orang lain. Twitter bagai CCTV yang tak perlu pakai apapun untuk menonton siapapun yang ada di dalamnya. Ya, kecuali akunnya digembok. Saya tidak terlalu suka menggembok akun. Kadang, ingin juga melakukannya, terutama ketika ada saja akun-akun yang “menyerang” dengan tujuan tidak baik.

Tentu ada juga cara untuk menghindari akun-akun tertentu. Ada sejumlah fasilitas di twitter, seperti block (dengan tujuan pengguna akun itu tak lagi bisa dibaca) -- saya jarang gunakan --, mute (agar mention dari yang bersangkutan tak mengganggu pandangan mata), favorite (kicauan yang dianggap penting sebagai pengingat), bahkan juga list (mendaftar nama-nama akun yang dianggap penting menurut kategori tertentu). 

Saya sudah hampir lima tahun menggunakan akun twitter. Lumayan lama. Tepatnya sejak tanggal 02 Januari 2009. Pada mulanya saya tidak begitu paham cara menggunakannya. Saya terbiasa menulis panjang dan banyak. Sejak tahun 2000-an, saya sudah aktif di milis-milis. Menjadi milisi. Bahkan saya menggunakan lebih dari satu email. Bahkan ketika sangat sibuk sekalipun, saya tetap menulis, termasuk di layar ponsel. Secara rutin saya mengisi blog saya, walau juga sibuk menulis artikel di media massa, menulis buku, menulis makalah, sampai menulis puisi dan cerita pendek.

Seorang penulis hakikatnya adalah orang yang bekerja memungut kata-kata yang beterbangan di langit. Dan saya mengerjakan dengan riang. Seperti anak kecil yang bermain di tengah lapangan untuk menangkap capung. Capung adalah ribuan kata-kata yang ada di udara, lantas dirangkai oleh penulis. Setiap benda yang sudah punya nama bisa jadi tulisan. Setiap rasa yang ada di hati juga bisa menjadi tulisan.

Iqra’ (bacalah). Apa yang dibaca? Ya, tulisan. Membaca dan yang dibaca tentulah satu kesatuan. Walau bibir mengucapkan, pikiran terlebih dahulu mengeja sebuah tulisan.

Nah, seringkali kegiatan membaca di twitter ini didasarkan pada persepsi. Bahwa si Anu itu adalah pengikut si Ana. Bahwa si Badu sedang membela si Bada. Bahwa kelompok si Fulan adalah si Fulana, si Fulani dan si Fulanu. Seolah, tidak ada dinamika. Seolah dunia itu sudah dipaku ke dalam persepsi yang terbentuk itu. Padahal persepsi juga bentuk dari apa yang dikenal sebagai kesadaran palsu, yakni realita yang dibentuk oleh kesadaran yang bukan berasal dari yang punya kesadaran. Kesadaran yang diantarkan oleh yang lain.

Dan seakan orang tak ingin mengubah pendapatnya, berpindah pekerjaan, bergeser haluan, atau bepergian ke tempat lain sehingga mengubah posisi yang bersangkutan. Persepsi itulah yang menjadikan seseorang bisa menjadi hater (pembenci orang lain), bahkan tanpa ia sadari darimana awal mula sikap itu muncul. Orang tidak lagi membaca apa isi kicauan seseorang, melainkan melekatkan persepsi kepada akun mana yang menulis kicauan itu. Akun dimaknai sebagai sesuatu yang beku, statis, batu dan bahkan paku. Sehingga tidak diperlukan lagi upaya untuk iqra’ apa isi kicauan akun-akun yang sudah dijadikan sasaran kebencian.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan satu adagium: twitter adalah puisi, facebook adalah cerpen, sementara buku adalah novel. Twitter tidak mudah dibaca hanya dalam satu kicauan saja. Twitter adalah rangkaian dari kicauan demi kicauan, akibat keterbatasannya. Satu kicauan tidak bisa mewakili kicauan yang lain, bahkan ketika ada kemiripan sekalipun dan dikicaukan oleh akun yang sama. Kicauan demi kicauan membentuk cerita. Cerita demi cerita membentuk epos, pada akhirnya. Makanya saya ikut menyenandungkan kesedihan ketika pemilik akun @toiletcafe -- ah, Bro -- meninggal dunia. Dan bahkan sampai kini saya tetap menjadi pengikutnya (following). Ibaratnya, saya mengikuti sebuah batu nisan tempat pemiliknya lelap selamanya.

Iqra’! Bacalah! Walau kicauan itu hanya sebatas batu nisan.

Catatan Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update