Sekitar jam 4 sore, BB saya berdentang denting terus menerus. Ternyata seorang teman dari Grup BBM SMA saya, mengunggah sebuah foto pick up dan truk yang bertabrakan di Tongas, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Kebetulan teman saya itu dari Surabaya akan pulang kembali ke Bondowoso, sedangkan mobil pick up dari arah Probolinggo hendak ke Pasuruan (arah sebaliknya). Kecelakaan itu terjadi tepat di depan matanya, sampai sopirnya tak sanggup lagi meneruskan mengemudi, shock berat! Sudah 2 botol air mineral diminumkan untuk menenangkan, tapi tak mempan. Saat itu, teman saya menulis ada 10 korban jiwa yang tewas di lokasi kejadian. Teman saya yang lain mengkomentari : ada 20 penumpang yang bersesakan di bak pick up, terdiri dari ibu-ibu yang akan melayat.
Tiga setengah jam kemudian, Metro TV menayangkan Breaking News terus menerus selama setengah jam sampai jam 8 malam. Kronologis kejadian menurut reporter Metro TV : 32 orang yang hendak melayat ke Pasuruan, berjejalan di bak belakang pick up. Sopir pick up mengemudi ugal-ugalan. Ketika hendak menyalip sebuah mobil Xenia, tak disangka dari arah depannya sebuah truk bermuatan tepung melaju kencang. Mungkin sopir pick up kurang perhitungan ketika menyalip, pandangannya tak benar-benar bebas, sehingga dia tak melihat truk dari arah depan. Kontan, tabrakan tak bisa dihindarkan. Para penumpang pick up pun berpentalan jatuh hingga 15 meter dari titik tabrakan.
Sejak awal breaking news, disebutkan 15 korban tewas. Namun sambil terus memberitakan, jumlah korban jiwa di-update jadi 17 orang, terakhir 18 orang, 2 diantaranya balita yang ikut orang tua mereka. Sementara 17 orang lainnya luka-luka – kebanyakan patah tulang – termasuk sopir truk. Sedangkan sopir pick up turut tewas dan menjadi korban tewas terakhir yang dievakuasi. Innalillaahi wa inna ilaihi roji’uun…, 18 nyawa melayang sia-sia dalam kecelakaan tragis, speechless…
Saya coba bayangkan dari awal sebelum kecelakaan itu terjadi. Sebuah pick up bak terbuka, hanya pantas untuk memuat barang, benda mati! Kalaupun dipakai untuk mengangkut hewan, biasanya di kiri kanannya diberi pagar bambu dan atasnya diberi terpal plastik agar hewan tak kepanasan. Itupun, jumlahnya hanya beberapa ekor, secukupnya asal hewan-hewan itu masih bisa bergerak. Kecuali ayam siap potong yang biasanya dimasukkan ke kandang berbentuk kotak-kotak yang hanya pas seukuran ayam.
Nah, bak ukuran kira-kira 1,5 x 2 meter, dijejali 32 orang, tak terbayangkan bagaimana posisi mereka?! Kalau pun berdiri, tentu sangat berdesakan bahkan mungkin berdempetan. Bahkan saya bayangkan, mereka harus berdiri dengan kaki sebelah saking sempitnya ruang yang tersedia. Jangankan terjadi benturan keras mendadak, sekedar guncangan akibat jalanan berlubang saja, bisa jatuh penumpang yang di pinggir. Belum lagi kalau jalanan naik-turun cukup curam. Apalagi katanya sang sopir mengemudi ugal-ugalan. Tentunya 32 penumpang di bak pick up sudah sejak semula tersiksa. Apalagi ada yang membawa balita. Tak terbayangkan, apa balita itu tidak rewel?
Rasanya semua sepakat : mengangkut manusia dengan bak terbuka sampai 32 orang sekaligus, itu sangat tak manusiawi. Jangankan bicara soal keamanan, apalagi kenyamanan, sekedar kelayakan sebagai makhluk hidup saja sudah tak layak. Lalu kenapa sopirnya berani? Banyak faktor bisa jadi alasan, termasuk diantaranya : permintaan para penumpang sendiri! Kalau penumpang tak mau disuruh berjejalan mirip kantong semen, tentu tak akan dipaksa, sebab yang membayar penumpang bukan? Masalahnya, sebagian masyarakat kita memang kadang gemar dengan tindakan nekad, lebih sayang uang ketimbang nyawa.
Beberapa minggu lalu, di kota saya ada sekelompok anak berseragam SMA yang terbiasa mencegat truk atau kendaraan apapun untuk nebeng. Fenomena seperti itu bukan hal baru dan terjadi di mana-mana. Biasanya memang saat pulang sekolah, sebab waktunya lebih bebas. Kalau berangkat sekolah, anak-anak itu harus memastikan mereka tiba di sekolah tidak telat, jadi naik kendaraan umum yang memang tujuannya ke sekolah. Sedangkan kalau pulang, mereka bisa men cegat apa saja, meski tak sampai ke rumah, bisa estafet ganti kendaraan lain. Artinya : orang tua sebenarnya sudah memberi uang saku untuk naik kendaraan pergi dan pulang sekolah. Tapi kadang demi ngirit, karena uang transport dipakai untuk beli rokok atau sewa game onlen, nebeng pun jadi pilihan. Kembali ke anak sekolah yang saya ceritakan di atas, ketika mereka mencegat sebuah truk, dengan arogannya mereka membentangkan kedua tangannya, sebagai isyarat agar truk berhenti. Sayangnya trailer bermuatan penuh itu tak bisa mengerem mendadak, jadilah si anak tergilas, tewas seketika! Siapa yang salah?
Saya jadi ingat tausiyah guru agama saya ketika SMP. Beliau katakan, di dunia ini semua terjadi atas sebab dan akibat, tak ada yang kebetulan semata. Kalau besok pagi ujian dan malam ini kita memilih untuk tidak belajar malah dugem, termasuk di hari-hari sebelumnya tak pernah mempersiapkan diri, maka ketika pengumuman kelulusan jangan heran jika hasilnya tidak lulus, meski seusai dugem kita sholat tahajjud 12 rakaat berdoa minta diluluskan. Kalau di SPBU ada tulisan “dilarang merokok” lalu kita datang membawa obor menyala-nyala, jangan heran kalau terjadi kebakaran hebat, meski sambil bawa obor membaca doa “tolak bala”. Semua itu sunnatullah, artinya sudah semestinya terjadi sebagai konsekwensi sebab-akibat. Meski semua yang terjadi di dunia ini atas ijin Allah, termasuk celaka, bencana, musibah dan kematian, tapi peran manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal pikiran juga turut menentukan.
Saya teringat salah satu teman yang sudah melanglang buana ke banyak negara di 4 benua, dia punya beragam pengalaman soal transportasi di berbagai negara. Teman saya itu bilang : di negara maju, semua diperhitungkan dengan detil dan teliti, semua dicheck dan recheck sampai yakin tak satupun baut yang longgar, semua faktor – termasuk cuaca sekalipun – diprediksi seakurat mungkin. Jadi tak heran kalau mereka yakin dengan keselamatan, sampai-sampai tak merasa perlu berdoa. Sedangkan di Indonesia : kondisi jalanan buruk, kondisi kendaraan banyak yang tak laik jalan, mentalitas dan disiplin pengemudi/pengguna jalan bobrok, kesadaran penumpang akan keselamatan dirinya juga payah. Jadi…, kalau naik kendaraan, bekalnya doa sebanyak-banyaknya, tapi lupa mempersiapkan faktor teknis.
Kita tahu, pesawat Adam Air yang hilang, punya banyak cerita buruk yang melatarinya, termasuk issu penghematan avtur dengan memotong jalur, meski issu ini dibantah manajemen Adam Air saat itu. Yang jelas, sekali saja saya pernah naik Adam Air, persis setahun sebelum pesawat milik maskapai itu hilang, ketika pesawat sudah mengudara selama 15-20 menit, pilot mengumumkan kami akan kembali ke Bandara Juanda Surabaya, karena ada kerusakan mesin. Begitu sampai di Juanda, tak sampai setengah jam kami diminta turun, sudah disuruh naik lagi. Alasannya, hanya ada satu komponen kecil yang belum dichek! What???!!!
Kembali ke soal kecelakaan tragis di Tongas, Probolinggo. Saya tak tahu apakah harus menyebut ini musibah/bencana. Sebab, secara kasat mata dan hitung-hitungan di atas kertas, kecelakaan itu cuma soal waktu dan lokasi saja. Bayangkan : pick up bak terbuka, dipakai mengangkut 32 orang termasuk balita, dikemudikan sopir ugal-ugalan, menempuh perjalanan antar kota lewat jalur padat (jalur ke Surabaya dan sebaliknya), saat weekend pula, maka apa yang mereka lakukan – 30 penumpang dewasa yang mengambil keputusan nekad plus sopirnya – sebenarnya adalah menantang maut, bahkan menjemput maut. Belum jalan saja pick up mungkin sudah oleng keberatan penumpang.
Sama dengan keheranan saya ketika Atut Chosiyah, Gubernur Banten, menggelar istighotsah di sebuah masjid, mengundang ibu-ibu dari beberapa majelis taklim dan mengerahkan siswa-siswa setingkat SMA, untuk mendoakan diri dan keluarganya pasca adiknya ditahan KPK dan dirinya dicekal. Dalam kesempatan itu Atut menyebut keluarganya sedang ditimpa “musibah”. Adakah dampak dari perbuatan korupsi itu musibah bagi pelakunya? Kalau bagi korbannya sih iya. Dengan kata lain : musibah bagi rakyat Banten punya Gubernur yang tidak amanah ditopang keluarga yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan bisnis keluarga. Tapi bagi keluarga Atut? Apakah ini musibah atau konsekwensi logis dari perbuatan mereka?!
Kecelakaan lalin akibat kelalaian seseorang, itu bukan musibah bagi dirinya, tapi pelajaran. Sementara bagi korbannya, itu musibah. Misalnya : Dul yang masih 13 tahun mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi lewat tengah malam lalu tabrakan, itu konsekwensi logis atas kelalaiannya dan ortunya. Sementara korban-korbannya mendapat musibah atas kelalaian itu. Afriani yang ngebut dengan mobil pinjaman saat usai dugem dan berpesta miras serta menenggak narkoba, kecelakaan itu pelajaran baginya, sedangkan 9 nyawa yang melayang mendapat musibah.
Terlalu banyak kasus kecelakaan lalin di Indonesia sepanjang tahun yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, akibat human error, kelalaian manusia. Makin hari, makin maju teknologi, makin makmur masyarakat – dibuktikan dengan makin banyaknya jumlah kendaraan pribadi – ternyata tingkat kecelakaan bukan makin berkurang, tapi justru meningkat. Artinya : kemodern-an gaya hidup dan teknologi tak diimbangi dengan kemajuan peradaban, pola pikir dan budaya. Duluuu sekali, jaman penjajahan Belanda, ada tragedi “gerbong maut”. Ratusan orang dijejalkan dalam gerbong kereta tanpa ventilasi udara, diperjalankan melalui jarak yang cukup jauh dan durasi yang lama, sampai akhirnya korban jiwa berjatuhan. Itu ketika bangsa kita terjajah, tak punya pilihan di bawah ancaman senjata penjajah yang kejam.
Tapi sekarang, kalau 32 orang dengan rela memilih berjejalan apalagi ada yang membawa balita, maka inilah potret nyata paradigma berpikir yang tertinggal. Pemikiran modern akan mengutamakan keselematan di atas segalanya. Saya yakin 32 orang itu bukan warga desa terpencil dan terisolir yang tak kenal kendaraan, bukan pula orang kolot yang tak kenal ponsel. Tapi mereka memilih cara tidak aman dalam berkendara. Entah karena ingin cepat sampai atau karena ingin berhemat, meski nyawa taruhannya. Sampai kapan bangsa ini harus berkali-kali berduka sambil mengelus dada melihat puluhan nyawa melayang sia-sia hanya karena kelalaian?
Kematian adalah takdir, tapi kebanyakan manusia sendiri yang menentukan caranya menjemput kematian. Ada yang mati ketika di rumah bordil, mati karena menenggak miras oplosan, mati karena tawuran, dll. Haruskah kita menyalahkan takdir? Padahal Allah sudah menjadikan manusia sebagai makhluk paling sempurna, karena dikaruniai akal dan pikiran, sebagai pelengkap nafsu. Semoga kita tidak termasuk penebar bencana bagi orang lain karena kelalaian kita.
Catatan Ira Oemar