Belakangan ini, banyak sekali argumen yang menyebutkan bahwa partai politik gagal melahirkan pemimpin-pemimpin yang bagus. Alat ukur yang dipakai adalah hasil survei terhadap bakal calon presiden. Argumen seperti ini terasa sekali (seolah) benar, kalau hanya dilihat secara kasat mata. Tetapi argumen ini terbaca juga sebagai buah dari kemalasan berpikir dalam membaca apa yang disebut sebagai partai politik, terutama pasca reformasi kepartaian tahun 1998. Argumen ini terlihat jump to conclusions (langsung meloncat ke kesimpulan), tanpa mau bersusah payah menelusuri prosesnya.
Contoh terakhir menyangkut meroketnya elektabilitas Joko Widodo sebagai bakal calon presiden. Joko Widodo dianggap sebagai padanan yang sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukan oleh partai politik dalam melahirkan para pemimpin. Kelemahan argumen itu langsung terlihat, seolah Joko Widodo adalah calon gubernur yang diusung oleh jalur perseorangan, bukan berasal dari koalisi PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Dan seolah juga, Joko Widodo muncul dari jalur perseorangan ketika maju sebagai Walikota Solo, bukan PDI Perjuangan.
Tentu partai politik layak menyadari beragam kelemahannya. Kelemahan itu muncul akibat sulitnya mengurus partai politik, ketimbang hanya menjadi seorang figur politik yang terbebaskan dari urusan kepartaian. Untuk memenangkan pemilihan presiden, misalnya, seorang calon presiden tidak perlu terlalu repot berkelana ke seluruh Indonesia. Prosentase pemilih di luar pulau Jawa hanya 35%. Cukup dengan memenangkan suara di pulau Jawa dengan jumlah pemilih sebesar 65%, kemenangan secara nasional sudah bisa diraih.
Tapi, para penyusun UUD 1945 hasil perubahan sebetulnya sudah mengantisipasi itu. Untuk menang di putaran pertama, seorang kandidat tidak hanya harus memiliki pemilih sebesar 50% + 1, melainkan juga harus mampu mendapatkan minimal 20% pemilih di dua pertiga jumlah provinsi di Indonesia. Artinya, kalau ada kandidat lain yang menguasai lebih dari 80% pemilih di masing-masing dari 11 provinsi, walau dengan jumlah pemilih yang secara total nasional kecil, pilpres satu putaran menjadi mustahil. Para penyusun perubahan UUD 1945 menyadari bahwa keindonesiaan bukan hanya Jawa, melainkan juga berarti luar Jawa. Keindonesiaan bukan hanya Jakarta, melainkan juga luar Jakarta. Keindonesiaan juga berarti hak pemilih di provinsi yang penduduknya sedikit.
Organisasi Kepartaian
Dari situ juga sistem kepartaian dibuat. Rumit. Melelahkan. Luas. Dengan beragam masalah, tentunya. Sistem kepartaian di Indonesia bahkan lebih rumit dari di China, mengingat struktur kepartaian disusun sesuai dengan struktur pemerintahan. Bahwa harus ada pimpinan pusat yang berkedudukan di Jakarta, pimpinan daerah yang berkedudukan di ibukota provinsi, sampai seterusnya ke tingkat kabupaten, kota, hingga kecamatan. Organisasi kepartaian dibuat sedemikian rupa, sehingga menjadi mirip dengan struktur pemerintahan pusat sampai kecamatan.
Di China, Komite Partai bahkan hanya berdasarkan sistem keanggotaan. Artinya, kalau ada sejumlah orang yang bergabung di salah satu perusahaan, maka delegasi perusahaan itu bahkan bisa lebih punya hak suara ketimbang struktur partai di tingkat kecamatan yang anggotanya lebih sedikit. Nah, apabila model seperti ini diterapkan di Indonesia, perwakilan partai dari Pulau Jawa atau provinsi-provinsi yang jumlah pemilihnya lebih banyak, akan punya lebih banyak delegasinya dalam proses pengambilan keputusan di partai politik. Seorang capres akan lebih banyak menggunakan kalkulator menghitung jumlah pemilih di suatu daerah, ketimbang mengutamakan struktur organisasi kepartaian yang egaliter, sebelum memutuskan datang.
Masalahnya, di Indonesia berbeda. Kota Pariaman yang hanya memiliki 60.000 orang pemilik suara, memiliki kedudukan yang sama dengan Kabupaten Bogor yang memiliki pemilih lebih dari 3.700.000 orang. Di kedua daerah itu, partai politik wajib memiliki kantor beserta kelengkapannya. Pembiayaan atas kantor-kantor partai itu dilakukan oleh kantor-kantor pusat partai, sekalipun juga dapat berupa pembiayaan sendiri oleh daerah yang bersangkutan. Di sinilah letak masalahnya, seorang ketua umum partai politik di Indonesia lebih mirip dengan seorang rektor yang menjadi birokrat kampus, daripada seorang “kandidat” yang bisa maju ke manapun. Seorang ketua umum partai adalah bagian dari birokrat partai, bagai seorang rektor yang bukan dosen murni yang tak ambil pusing dengan administrasi.
Nah, ketika kesimpulan diberikan bahwa partai politik gagal melakukan kaderisasi untuk melahirkan seorang pemimpin yang sukses, pertanyaan itu layak diberikan kepada sistem kepartaian di Indonesia. Lagi-lagi kita berkaca kepada fenomena Joko Widodo. Jokowi bukanlah seorang birokrat partai yang berurusan dari Sabang sampai Merauke dalam sistem administrasi dan seremoni kepartaian. Seorang ketua umum partai berurusan dengan banyak sekali surat-menyurat yang artinya adalah urusan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kota, hingga kecamatan. Ratusan surat harus ditanda-tangani setiap bulan. Dari sini, luapan masalah kepartaian perlu dirunut satu demi satu, dari konflik antar pengurus, penentuan calon kepala daerah, pimpinan fraksi di legislatif, pergeseran komisi, sampai kebijakan-kebijakan berskala besar sampai kecil.
Berbeda dengan di Amerika Serikat yang ketua umum partainya sama sekali tidak dikenal, maka di Indonesia seorang ketua umum partai politik memerlukan popularitas agar partainya ikut juga dikenal. Dalam sistem presidensial dengan parlemen yang kuat seperti di Indonesia, pimpinan partai menyiapkan diri sebagai calon presiden untuk tingkat nasional, sekaligus juga bisa mengendalikan parlemen. Dalam kasus Partai Demokrat, selain menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, SBY juga menjadi Ketua Umum yang juga mengendalikan legislator Partai Demokrat dari pusat sampai ke daerah. Betapa banyak waktu tersita untuk itu.
Sistem Edar Kepartaian
Jadi, ketika terjadi ulasan soal parpol belum melakukan kaderisasi yang baik dari sisi aksebtabilitas dan elektabilitas, tentunya itu perlu dikaitkan lagi dengan sistem kepartaian di Indonesia. Dari sisi pembiayaan misalnya, partai politik masih mengandalkan air yang mengucur dari hulu, ketimbang gelombang yang naik dari muara. Anas Urbaninggrum, misalnya, pernah menjadi salah seorang Capres Muda terfavorit dalam survei yang diadakan pasca terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat 2010. Bahkan, analisa temporer waktu itu menempatkan Anas Urbaninggrum sebagai matahari baru dalam wajah politik Indonesia dan layak diusung sebagai Calon Presiden. Kita semua tahu, posisi baru itu juga yang menyeret Anas Urbaninggrum untuk mundur dari Partai Demokrat, ketika dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, justru ketika elektabilitasnya menanjak.
Memegang partai politik di Indonesia tidaklah mudah, bahkan partai kecil sekalipun. Perjalanannya jauh dari satu daerah ke daerah yang lain, baik dengan kendaraan pribadi atau komersial. Tamunya juga banyak. Bukan hanya untuk internal, begitu juga untuk eksternal. Seseorang yang tidak memiliki visi kepartaian yang kuat, dengan mudah justru menjadi lumpuh dan jenuh, ketika berada di dalam partai politik. Demokrasi internal partai menyeret siapapun yang menjadi pimpinan partai untuk memberikan telinganya, sekaligus uangnya dan tentu juga tandatangannya. Kesadaran partisipatif belum muncul di dalam tubuh partai politik. Tidak ada yang belum benar-benar “gila” untuk terus-menerus bekerja di lingkup partai, tanpa memikirkan hidup dan keluarganya.
Soal lain, definisi bahwa Joko Widodo berada dalam sistem edar yang berbeda dengan partai politik jelas sudah salaharah. Bahkan, sekalipun Joko Widodo adalah seorang gubernur yang bukan diajukan oleh partai politik, tetap saja setelah menjadi gubernur memiliki daya upaya yang kuat dibandingkan dengan pimpinan partai politik yang sama sekali tak punya jabatan kenegaraan dan anggaran kenegaraan. Hal inilah yang menjadi alasan utama, ketika pimpinan partai politik lebih memilih untuk maju ke dalam jabatan legislatif dan eksekutif, ketimbang berada di luar pemerintahan. Memang, fenomena ini bukan fenomena keseluruhan, tetapi merupakan pilihan mayoritas pimpinan partai politik di Indonesia.
Kalau benar Joko Widodo hanya seseorang yang tumbuh sendirian, tanpa ada komitmen kepartaian, tentulah kita tak akan menyaksikan iklan-iklan dukungan kepada beberapa calon gubernur yang diusung oleh PDI Perjuangan. Tentulah Joko Widodo tak mengambil cuti kampanye untuk keluar dari rumah dinasnya di Provinsi DKI Jakarta. Benar, Joko Widodo bukan pimpinan formal di PDI Perjuangan. Tetapi jelas juga bahwa Jowo Widodo adalah juru kampanye nasional yang menjelajahi satu provinsi ke provinsi lain untuk PDI Perjuangan. Joko Widodo sedang berproses di dalam tubuh PDI Perjuangan, walau bukan dalam posisi sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Joko Widodo adalah kader dalam sistem kepartaian di Indonesia.
Dengan argumen-argumen di atas, jelas sudah bahwa pengabaian sama sekali kepada peran partai politik lebih mirip ilusi politik, ketimbang analisis politik. Lebih jelas lagi, upaya mencampakkan partai politik sebagai pihak yang berperan adalah bagian dari ecstacy nalar dan pengamatan terhadap partai politik. Bahwa partai politik kian profesional, sehingga mampu memberikan ruang yang lebih besar kepada seorang tokoh, benar adanya. Itu yang terjadi dengan Partai Gerindra yang Ketua Umumnya Suhardi jarang dikenal, ketimbang sosok Prabowo Subianto. Partai telah mengalami perubahan dalam struktur keorganisasian, tetapi belum sama sekali ideal mengingat banyak faktor tadi.
Jadi, mari kita hilangkan cara berpikir seperti ecstacy politik tadi.
Catatan Indra Jaya Piliang