Setelah komentar para Politisi Partai Demokrat (PD) yang ditujukan kepada Gubernur Jokowi dianggap tidak bermutu dan sering salah sasaran sehingga berbalik menyerang PD ; Maka kali ini melalui kesempatan silahturami dengan Pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) di Istana Bogor, SBY dianggap “menyerang” Jokowi melalui dua sindiran bahwa era upah buruh murah sudah berakhir dan kemacetan di Jakarta supaya ditanyakan langsung ke Jokowi.
Walau pernyataan SBY tentang upah buruh dianggap kalimat bersayap,karena tidak menjelaskan secara rinci apakah penetapan upah buruh yang baru saja diteken oleh Jokowi itu termasuk “murah” atau tidak ; Namun demikian, pernyataan SBY bisa dipersepsi seolah-olah dirinya pro terhadap tuntutan buruh yang menginginkan upah buruh yang layak. Instruksi Presiden hal upah buruh pun sampai sekarang belum pernah di ekspos ke media,seperti apakah gerangan instruksi yang katanya sudah disampaikan oleh SBY tersebut.
Publik beranggapan,pernyataan SBY tentang upah buruh tidak tegas atau kabur, cenderung politis dan ada agenda terselubung. Kalau seandainya buruh melakukan demo besar-besaran menentang upah buruh yang sudah ditetapkan oleh Gubernur Jokowi, maka bisa jadi SBY akan jadi tampil dimuka dengan mengambil alih penetapan upah tersebut ; Kalau Gubernur Soekarwo dari Jawa Timur yang notabene dari Partai Demokrat saja berani menaikkan upah buruh yang relatif tinggi, kenapa Jokowi justru terkesan hilang keberaniannya, siapa yang menjadi pembisik Jokowi?
Politisasi upah buruh akan semakin menarik karena sudah menjadi “perang” menaikkan elektabilitas Jokowi dan Partai Demokrat. SBY diperkirakan akan menjadi tokoh sentral dalam memainkan penetapan upah buruh ini untuk menaikkan elektabilitas PD dan Jokowi akan terjebak dalam permainan pengusaha yang memang sejak dulu tidak menyukai dirinya.
Dalam hal kemacetan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya,SBY pun melempar tanggung jawab kepada para pimpinan daerah. Otonomi daerah dijadikan alasan oleh SBY bahwa pimpinan daerah lah yang bertanggung jawab terhadap kemacetan di daerahnya. Kali ini SBY lupa diri, bahwa banyak peraturan pemerintah pusat yang justru menyebabkan kemacetan di jalan raya. Contoh yang paling teranyar adalah terkait peraturan mobil murah, dimana akibat peluncuran mobil murah yang dikatakan untuk masyarakat seperti Papua,Kalimantan,dll yang membutuhkan mobil murah ; Kenyataannya mobil murah lebih banyak dibeli oleh masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya, akhirnya kemacetan di Jabotabek bertambah ruwet.
Kemacetan juga di politisasi guna membuat kredibilitas Jokowi turun. Mengatasi kemacetan saja Jokowi dianggap tidak mampu,apalagi menjadi Presiden 2014 nanti dengan segudang persoalan di Indonesia? Wacana kemacetan itu dikembangkan dan sengaja diangkat oleh SBY guna menjatuhkan pamor Jokowi di masyarakat Indonesia. Kemacetan di Jakarta diduga ada yang sengaja bermain untuk membuat Jakarta bertambah macet. Contohnya adalah membuat steril jalur busway (Trans Jakarta) dengan denda Rp.1juta untuk mobil dan Rp.500ribu untuk motor ; Padahal Jokowi pun sudah tahu bahwa jalur busway tersebut sering terlihat lengang dan sepi sebab Bus Trans Jakarta yang lewat juga tidak banyak,karena bus-bus baru belum juga muncul sebagaimana yang dijanjikan. Ada beberapa ruas jalan dibuat jalur busway yang malah membuat kemacetan bertambah parah dan diduga memang sengaja dibuat seperti itu.
Anehnya, wacana kemacetan yang disampaikan oleh SBY di silahturami Kadin kemarin terjadi setelah beberapa hari ini Jakarta macetnya luar biasa setelah jalur Trans Jakarta dicoba di sterilkan oleh para polisi lalu lintas. Apakah ini kebetulan ataukah kebetulan yang disengaja untuk mempolitisasi kemacetan?
Gaya SBY dalam menyindir Jokowi sepertinya memang sudah dipersiapkan secara matang ; Kelebihan SBY dalam dinas ketentaraan dan secara khusus dalam bidang sosial-politik serta konsep operasi sudah dikenal sejak lulus dari Akabri (sekarang Akmil) ,jabatan Kasospol ABRI yang pernah dipegang oleh SBY ketika banyak kasus orang hilang dan sebagai Kepala staf Kodam Jaya pada peristiwa 27 Juli, dimana dirinya lolos dari semua peristiwa tersebut membuktikan bahwa orang yang “bermain dibalik layar” memang selalu tak tampak yang berbuat. Tetapi apakah skenario semua peristiwa itu SBY tidak mengetahuinya dengan jabatan-2 yang pernah disandangnya?
Itulah kelebihan SBY dalam mengolah peristiwa sehingga dirinya tidak akan pernah dipersalahkan,sebab dirinya tidak pernah secara langsung yang mengerjakan operasional di lapangan. Oleh karena itu,Jokowi dan lingkaran dalamnya sebaiknya berhati-hati untuk bermain politik melawan politisasi upah buruh dan kemacetan di Jakarta.
Paling tidak,kader PD sudah diberikan pembelajaran politik oleh mentornya,”Bagaimana cara menyindir Jokowi…..!” Jangan terlihat bodoh dan asal berkata-kata sehingga malah menghantam partainya sendiri. Jokowi pun juga harus mulai berhati-hati menghadapi serangan “sang jenderal” yang masih mempunyai kemampuan mengorganisir aparat,karena dirinya adalah masih Presiden RI.
Catatan Mania Telo