SAYA berani mengatakan semua partai tak memiliki tim teknologi informasi mumpuni untuk melakukan forensik digital analis, paham urusan teknis hashing data, digital signature; mampu membuktikan secara teknis ilmiah, bahwa terjadi penggelembungan perolehan data pemilih bagi kemenangan partai, kelompok tertentu.
Kemampuan teknis itu hanya dimiliki negara dan personal tertentu, umumnya bersertifikasi secara profesional. Mereka tidak ada di partai.
Ada dua lembaga negara belakangan disandingkan ke urusan Pemilu. Pertama, Badan Pengembangan Pengkajian Teknologi (BPPT). Kedua, Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg). Keduanya, entah sudah resmi bekerjasama atau belum dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), saya kurang paham. Karena belum melihat nyata ikatan tertulis bentuk kerjasama itu. Kalaupun ada apakah teknisnya mereka buka ke publik?
Dari menyimak di media massa, sudah ada pembahasan segala di DPR. Mengemuka ke publik kalau Lemsaneg akan membantu mengamankan data, melakukan firewall, enskripsi. Singkatnya pengamanan data Pemilu.
Sementara untuk BPPT, info saya dapatkan, lembaga ini akan mengajukan aplikasi untuk e-voting. Dan jika benar, sesuatu langkah layak didukung. Namun setahu saya dulu 2009, BPPT mendapatkan masukan banyak dari kawan-kawan di Salman-ITB, berbisnis di aplikasi. Mereka tepatnya dari Zamrud Technology yang mengajukan karyanya ke BPPT, untuk bersama-sama dibawa ke KPU. Apakah aplikasi yang dikerjakan oleh Zamrud itu kini yang dibawa BPPT? Jika iya, tentu BPPT tak bisa menyebut sebagai karyanya sendiri.
Dari dua kenyatan itu, saya lebih memfokus dan menyampaikan ke publik bahwa kedua badan, baik, BPPT, maupun Lemsaneg, berada di bawah presiden langsung. Sementara acuan kesalahan administrasi, kecurangan Pemilu alurnya bisa dilaporkan ke Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), yang kalau ditemukan pidana bermuara Polisi, administrasi berurusan ke KPU.
Polri berada di bawah lembaga presiden pula. Itu artinya, baik, BPPT, Lemsaneg, Polri, KPU, ujung kekisruhan Pemilu muara tunggal pidana ke Polri. Maka sejatinya kunci segalanya ada di genggaman presiden. Waktu sudah membuktikan, indikasi kasus IT KPU pada 2009, telah mengendap di Bareskrim Polri, menguap saja hingga kini.
Maka, jika menyimak karakter SBY sebagai presiden kini, saya ingin menyampaikan kecurigaan mendalam saya.
Curiga Pemilu 2014 quo vadis berjalan independen.
Mengapa?
Anda simak saja alur kenyataan di atas.
Maka untuk mengimbangi keindependenan Pemilu, sudah seharusnya ada lembaga independen, diisi mereka berkemampuan teknis profesional dan diakui secara internasional memiliki kapasitas mengimbangi kerja tiga lembaga di atas, untuk memonitor data; melakukan forensik digital analis, mampu mengikuti dan membuktikan perubahan terhadap pergerakan hashing data di komputer KPU.
Bila tidak ada badan atau tim independen mengimbangi trio lembaga plus Polri, maka saya ragukan Pemilu 2014 bisa akurat dan kredibel. Dan kalaupun sudah diciptakan lembaga atau tim independen, masalah independensi juga belum terjamin 100%.
Bagaimana dengan Polri? Terpilihnya Sutarman sebagai Kapolri, saya memiliki catatan. Ia tidak memproses kelanjutan kasus Andi Nurpati, di antaranya. Presiden dapat memerintahkan Kapolri, mengikuti arahannya. Bukankah tidak diprosesnya data IT KPU, yang dilaporkan Bawaslu pada 2009, kuat dugaan juga atas perintah presiden?!
Lalu momentum kasus ditangkapnya dan dipenjaranya Akil Mochtar, telah melahirkan Dewan Kehormatan MK, diisi diantaranya, sosok seperti Hikmananto Juwana, jika diurut sebagai sosok orangnya Djoko Suyanto, muaranya SBY. Dan lahirlah Perppu.
Maka tidak berlebihan saya katakan SBY kalap. Partai SBY tidak memiliki kader ratingnya bisa menyamai elektabilitas Jokowi. Maka secara struktur, Pemilu harus dikuasai dan dimenangkan SBY. Sehingga, dugaan saya, melalui jaringan dikuasai penuh presiden, lantas cita-citanya menjadikan Pramono Edhie Presiden dan Hatta Rajasa Wakil Presiden mesti kesampaian.
Hal di atas, merupakan muara dari bentuk kalapnya SBY sebagai presiden. Ia bertekad presiden berikutnya masih “orangnya”, di genggamannya. Tinggal bagaimana Anda sebagai rakyat menyimak ini?
Toh struktural SBY masih berkuasa, sedangkan partai lawan, di pengalaman waktu dan fakta sejarah reformasi, semuanya silau dengan uang dan bagi-bagi kursi? Apa kita sebagai rakyat hanya bak ketimun bungkuk, tidak dihitung, bak angin lalu?
Bila demikian, inilah bentuk kejahatan massif dilegalkan. Anggaran uang rakyat dipakai untuk menyukseskan kerakusan kekuasaan. Dan perihal ini jauh lebih penting dari pada sibuk membahas lembaga riset dengan hasil-hasil semuanya bisa “dibeli”. Dan juga lebih esensial dari pada meributkan Bunda Putri dan putri-putrian di sisi Fatanah.
@iwanpiliang, citizen reporter