Demokrasi membuka ruang bagi perdebatan. Di era Yunani, debat berlangsung di kalangan senator dengan pakaian putih. Debat menyangkut banyak hal, terutama dalam pengambilan keputusan penting menyangkut perubahan hukum, pilihan kebijakan sampai perebutan posisi politik. Debat adalah cara untuk menilai, dengan argumentasi yang dibangun, tentang tepat atau tidak tepatnya satu pilihan, di tengah pelbagai pilihan yang ditawarkan. Debat membuka wawasan seseorang, lewat riwayat atas pilihan yang serupa, namun tak sama, yang pernah diambil sebelumnya.
Debat tentu tidak mencari kesalahan dalam diri seseorang. Debat terjadi pada pilihan-pilihan kebijakan yang diambil, terutama menyangkut kepentingan publik secara luas. Pilihan-pilihan itu dipaparkan ke publik, dilengkapi dengan data. Debat juga menyangkut sudut pandang (substansi) atas masalah atau peristiwa tertentu. Tafsiran tentu terjadi, mirip dengan persidangan di pengadilan antara pihak jaksa melawan pihak pengacara. Ruang pengadilan adalah tempat paling umum untuk terjadinya debat.
Di luar ruang pengadilan, tentu debat berlangsung di ruang parlemen, kampus, bahkan media massa. Persoalan debat adalah adanya batasan waktu. Sebab, kalau terus-menerus berdebat, akan menjadi kontra produktif. China, misalnya, mengakui bahwa mereka selama 30 tahun berdebat tentang pembangunan dam bagi pengembangan dan pembangunan di China. Selama 30 tahun itu pelbagai argumentasi dihidangkan oleh politisi, artistek, pebisnis, sampai futurolog dan ahli-ahli ekonomi. Jangan dikiria bahwa di negara komunis tidak ada perdebatan. Setelah keputusan diambil, ratusan dam berdiri di seluruh China, bahkan dengan menenggelamkan kota-kota di dekat sungai.
Di Indonesia, kita mengenal polemik kebudayaan pada tahun 1930-an. Polemik itu melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, Dr.Sutomo, Sanusi Pane, Purbatjaraka, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara. Pilihan ke Timur atau ke Barat mendominasi. Orang-orang yang terlibat kemudian mengambil pilihan-pilihan itu, terutama dalam aspek pendidikan. Beragam dokumen negarapun terwarnai, termasuk konstitusi. Di tahun 1960-an, terjadi juga polemik antara pihak Manikebu dan kontra Manikebu dengan tokoh Pramodya Ananta Toer sebagai pemegang pena.
Di bidang pilihan pembangunan, kita mengenal apa yang disebut sebagai Widjojonomics dan Habibienomics. Pengaruh Soemitro Djojohadikusumo begitu kuat dalam pengambilan keputusan di tangan pemerintah. Habibinomics kehilangan kemampuan untuk muncul, akibat dari dukungan politik yang rendah dan politik ekonomi rente yang memunculkan para orang kaya pengambil margin. Perdebatan tidak pernah terjadi secara serius. Kalaupun ada, hanya pada momen usaha perubahan pasal-pasal ekonomi dalam konstitusi.
Kini? Debat tak banyak mendapat ruang, apalagi atas ide-ide besar. Bangsa Indonesia sepertinya sudah berubah menjadi bangsa yang suka mencuit dalam nalar yang dangkal dan singkat. Mencuit adalah istilah yang terkenal di ranah social media. Dengan mengungkap sedikit kata, pelbagai ide tak terurai, hanya sekadar kesenangan dan bahkan sikap nyinyir semata. Dokumen-dokumen penting kenegaraan jarang jadi bahan debat yang hangat. Yang terjadi hanyalah penafsiran atas peristiwa atau kasus tertentu, dengan nada yang menegangkan urat leher, namun miskin substansi. Kita berhelat dengan kata-kata yang kelihatan keras, tapi tak berisi.
Barangkali karena perdebatan tidak dianggap penting. Perdebatan juga dibalur oleh sikap insuniasi yang emoh menerima penjelasan. Bahkan, fakta tak ditebar, melainkan hanya tambahan dari pelbagai rumor dan gosip yang terpengaruh oleh mentalitas manusia Indonesia yang dideskripsikan oleh Mochtar Lubis. Yang dibicarakan hanya kulit, bungkus, tanpa mau memasuki seluruh substansi yang tersedia. Justru ketika demokradi hadir, debat sama sekali tak menjadi api yang memasak dan mematangkan pilihan-pilihan kebijakan.
Sementara, arus masalah terus-menerus datang, baik akibat kekeliruan di masa lalu, atau memang sama sekali baru. Isu-isu baru muncul tanpa diundang. Kita menyambutnya dengan curiga, memberi penilaian, tanpa mau berpikir akan hulu, alir dan hilirnya. Hujan tak mampu kita tampung menjadi air yang mengaliri tanah. Matahari hanyalah nyala terang yang tak membantu untuk melihat luasnya kehidupan. Kita berubah menjadi bangsa yang tuna visi, walau banyak berkata-kata. Kata-kata menjadi kolesterol yang justru ujungnya penyakit akibat pasal-pasal penghinaan di dalam hukum dan perundang-undangan.
Debat telah mati. Dan kita tiap hari ikut memakamnnya....
Indra Jaya Piliang