Kemarin, tanggal 12 November 2013, adalah hari ayah. Aku tidak tahu asal-muasalnya. Tiba-tiba saja ada ucapan itu di media sosial. Dan aku tidak merasa perlu menelusurinya. Biarlah itu pengetahuan yang nanti segera aku ketahui. Kuperiksa di google-pun belum sepenuhnya detil dan informatif. Tak apa. Tak masalah.
Aku hanya ingin mengingat ayahku. Ia sekarang sosok yang bersahaja. Ia tinggal di Dusun Durian Kadok, Kenagarian Sikucur Selatan, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman. Usianya sudah 78 tahun. Ia tinggal di rumah yang dibuatnya sendiri sejak pertengahan tahun 1980-an. Kakak-kakakku dan keponakan-keponakan ayah yang ikut mengerjakan rumah itu, termasuk aku dan adik-adikku. Berangsur-angsur. Waktu aku sekolah sampai ke tingkat SMA, rumah itu beberapa belum memiliki pintu. Bahkan juga masih beralas tanah.
Ya, kami keluarga miskin. Aku tak mau sebutan miskin itu, sebetulnya. Ayahku tak pernah merasa dirinya miskin. Walau aku jarang memiliki baju baru, ayahku tak pernah menunjukkan kepada kami bahwa kami miskin. Tak ada sedikitpun sikap itu dalam diri ayahku. Ayah selalu membanggakan tubuh kami yang sehat. Dari ibuku, ayah memiliki tujuh orang anak: satu perempuan, enam laki-laki. Dan memang, kami adalah anak-anak yang sehat, tinggi di atas rata-rata orang kampung.
Ayah memang bukan seseorang yang senang dengan harta benda. Uang yang dia punyai, lebih banyak dialokasikan untuk makanan anak-anaknya. Sosok ayahku di mata orang kampung adalah seseorang yang membawa ikan-ikan besar, setiap habis gajian, dengan sepeda motor, ke rumah. Kaum ibu sibuk kemudian. Ikan besar untuk makan besar. Pada hari lebaran haji, ayahku selalu membeli kepala kerbau, lalu makan bersama anak-anaknya.
***
Aku takut pada ayahku. Lebih tepatnya, hormat. Sangat hormat. Ia mengajariku banyak hal. Dari cara menggunakan sendok garpu, membaca buku yang layak dibaca, mendengarkan radio luar negeri, melakukan eksperimen di rumah dan luar rumah, sampai bertualang ke daerah-daerah yang baru. Di waktu kecil, ayahku akan memukul kaki kami dengan ikat pinggang, bila ia menemukan kami menghabiskan waktu dengan bermain. Bermain apa saja, mulai dari gelang karet, kelereng, bungkus rokok yang dibuat segitiga, apalagi kartu remi.
Dan yang jelas, ayahku akan marah besar bila kami bermain judi. Ya, judi. Judi di era kanak-kanak kami bisa apa saja, misalnya uang recehan dilempar ke dinding rumah, lalu diukur pakai jangka tangan. Siapa yang bisa menjangkaunya, maka uang lawan akan jadi miliknya. Bahkan menonton praktek perjudian era kanak-kanakku itu saja bagi ayahku adalah kejahatan. Orang-orang di kampungku tahu betul suara keras ayahku di sore hari, memanggil anak-anaknya pulang, mandi, lalu menyiapkan diri untuk belajar malam hari.
Aku juga mendengar kisah, ayahku sering memandikanku malam hari di bawah kakinya, di waktu kecil. Katanya: aku keras kepala, bahkan sering menangis untuk mengejar kemauan. Uweng-uweng di kepalaku ada dua, rambutku berdiri, simbol seseorang yang keras kepala sejak lahir. Karena aku malas mandi, ayahku memandikanku sama dengannya, mandi berdua. Aku memang suka menaiki pohon, memanjatnya sampai ke ujung, atau pergi mencari buah-buahan ke hutan atau menangkap ikan di sungai. Baru dua-tiga hari usai disunat, aku sudah memanjat pohon limau, lalu digigit semut. Perlu dua bulan untuk menyembuhkan bekas sunatku.
Aku juga sesekali mengambil uang di saku ayahku. Kata ayahku, ketika kami dewasa, “Ayah memang sengaja menaruh uang kecil di saku baju, untuk mengukur kejujuran kalian. Hampir nggak ada yang tak mengambil uang ayah, hehehe.” Ya, uang kecil itu tentu hanya cukup buat membeli kerupuk yang dikasih kuah sate. Bahkan untuk pembeli setusuk satepun tidak bisa. Kalaupun saku ayah berisi banyak uang, apalagi usai gajian, tetap saja yang aku dan saudara-saudaraku ambil adalah uang dengan nominal terkecil. Pikiranku satu: “Ayah pasti lupa jumlah uangnya.”
Dalam soal kebersihan, ayahku nomor satu. Biarpun baju kami usang, bagi ayahku yang penting bersih. Sampai aku sekolah dan bahkan kuliah, ayahku masih suka mencuci pakaian kami. Kalau ayahku datang ke kost-anku, pekerjaan utamanya adalah mencuci baju kami. Sering ibu kesal dengan ayah, karena kalau sudah mencuci baju, bisa seharian. Ayah lebih dulu merendamnya, lalu menunggunya berjam-jam. Kalau kami yang mencuci baju, pasti secepat kilat, agar bisa langsung dijemur.
Di malam hari, ayahku juga suka masuk ke kamar tidur kami. Ia memeriksa saku-saku baju kami, apakah ada puntung rokok atau bekas rokok. Bahkan, ayah juga mencium bau mulut kami. Ayah memang perokok kelas berat, sampai seusia 78 tahun sekarang. Ia juga menggelontorkan bergelas-gelas kopi ke perutnya, sampai sekarang. Tapi prinsip ayah: “Kalian tidak boleh merokok, sebelum kalian bisa membelinya dengan uang kalian sendiri.”
***
Satu hal yang dibenci ayahku adalah korupsi. Hal lain yang diajarkannya adalah keberanian. Ayah juga seorang pembela yang hebat untuk orang-orang yang dianiaya hanya karena kekuasaan. Pernah ayahku mengejar seorang camat dengan sendok garpu, ingin menikamnya, hanya karena ajudan camat itu memukul orang Mentawai yang dituduh mencuri kayu. Orang Mentawai itu ayah angkat dari ayahku. Padahal, ayah sendiri adalah sekretaris camat dengan sebutan Pak KK (Kepala Kantor). Akibatnya, camat lari malam dengan kapal, menuju Padang. Belakangan ayah bilang, dia tak ingin menikam camat, hanya menakut-nakuti.
Karier kepagawaian ayahku tidak cemerlang, padahal otaknya cerdas. Ia seangkatan dengan Roestam Didong yang kemudian menjadi seorang profesor di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. “Waktu SMP, ayah lebih pintar dari dia,” kata ayahku. Ayah dilahirkan di Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, tempat aku juga menamatkan sekolah dasarku. Ayah juga lebih suka di rumah, ketimbang masuk kerja. Kata ayah, “Untuk apa aku masuk kantor, kalau tanda-tanganku berharga mahal? Kalian pasti makan uang hasil korupsi. Lebih baik aku di rumah saja.” Makanya ayah termasuk yang paling sering pindah-pindah kerja. Akibatnya, aku sejak kecil selalu jarang bersama ayah dan ibuku, serta saudara-saudaraku. Aku harus sekolah, menyelesaikan sekolahku.
Ayah jarang menggunakan tangannya untuk memukul kaki kami. Selalu pakai ikat pinggang. Pernah ayah menampar kakakku pakai tangan kirinya. Akibatnya, kakakku sakit. Ayah menangis. Waktu itu kakakku sudah SMA. Ayah bilang, “Tangan kiriku ada isinya. Kalau tangan ini sudah dipakai, siapapun yang kena akan sakit.” Entahlah. Ayah termasuk orang yang tak banyak percaya pada dukun dan sejenisnya. Ia sepenuhnya rasional. Waktu masih muda, ayah pernah menjabat sebagai sekretaris Masyumi.
Belakangan, aku banyak bertemu dengan teman-teman ayah, juga orang-orang yang pernah jadi anak buah ayah. Pandangan mereka seragam: ayahku gagah, ayahku keras kepala, ayahku disiplin, ayahku susah dipengaruhi. Satu hal lagi, ayahku disukai gadis-gadis. Ya, ayahku memiliki empat orang istri, tetapi bukan poligami. Ayahku menikah lagi setelah istrinya meninggal atau bercerai. Ibuku adalah istri terakhirnya. Aku bahkan bertemu dengan anak dari mantan istri ayah. Tentu bukan anak ayahku, melainkan anak dari suami barunya. Aku menjadikannya kakak. Ia cantik. Dan ia bangga bahwa ibunya pernah menikah dengan ayahku.
Jarak usiaku dengan ayah adalah 37 tahun. Aku berusia 41 tahun, ayahku berusia 78 tahun. Artinya, aku lahir ketika ayahku berusia 37 tahun. Hubungan kami, kini, lebih sebagai sahabat. Aku sangat menyukai bicara dengan ayahku, menggali kisah-kisah lamanya, bertanya ini dan itu. Kalau mendiskusikan sesuatu, ayahku tetap lebih hebat dariku. Ia mencerna segala sesuatu dengan logika berpikir yang ketat. Ia adalah penghulu di kaumnya, bergelar Datuak. Ayahku juga seseorang yang demokratis. Entah mengapa, keluarga kami tak satu aliran dalam politik, bahkan berbeda partai. Dan kami adalah petarung yang ulung di meja makan, dengan moderator ayahku, ketika mempertahankan pendapat masing-masing dan menyerang pendapat saudaraku sendiri.
Ya, aku adalah anak dari ayahku. Aku bangga dengan ayahku. Tidak ada penulis yang lebih hebat dari ayahku. Tulisannya terbagus dari semua tulisan tangan yang aku kenal. Yang bisa mengalahkan tulisan tangan ayahku hanya satu orang, yakni kakekku, ayah dari ayahku. Kakekku pernah bekerja di jawatan kereta api zaman Belanda sebagai juru tulis. Aku pernah membaca catatan harian kakekku. Tulisannya betul-betul halus, berkelok-kelok, sebagaimana jernihnya air yang mengalir dari atas gunung Merapi, tempat ia ditanamkan.
Nama ayahku Boestami bergelar Datuak Nan Sati, penghulu suku Koto. Ia hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama. Di hari ayah ini, aku berkhitmat kepadanya. Tak ada kebahagiaan tertinggi selain mengenang seorang ayah yang tak mewarisi cela kepada anak-anaknya. Itu adalah kekayaan terbesar kami. Aku ingin mewarisi kekayaan berupa kebanggaan itu, walau tak ada harta melimpah yang dipunyainya. Ayahku adalah orang yang bisa menegakkan kepalanya kepada siapapun. Aku ingin ada di sisi itu. Tak lebih. Tak kurang...
Catatan Indra Jaya Piliang