DERETAN pedagang sate di kawasan Nagoya, Batam, Sabtu malam, 17 November 2013 itu, sibuk melayani pembeli. Mulai dari Mak Utiah, sate Pariaman, hingga Takana Juo. Deretan pengunjung berbaris bermeja-meja. Aroma asap bakaran arang kelapa ditingkahi minyak bumbu kunyit, bawang goreng terpanggang, daun ketupat mengepul panas, mengaliri suasana.
Beberapa pelancong asal Singapura, tampak mencari meja kosong.
“Setiap akhir pekan, Batam disesaki mereka. Para ibu-ibu itu belanja keperluan rumah tangga di Batam, lebih murah,” ujar Mawi, supir taksi Blue Bird, menemani kami.
“Ongkos penyeberangan dua ratusan ribu lebih, sementara sayur dan keperluan lain di sini jauh lebih murah dari Singapura.”
“Mereka punya dolar, selisih kurs saja, sudah menguntungkan, apalagi barang di kita semua murah dalam rupiah,” ujar Mawi, berteori.
Sebagai supir, Mawi mengaku sudah menetap di Batam belum lama. Baru 20 tahun katanya. Dari rentang waktu itu, ia bisa menyekolahkan anak hingga sarjana dan kini sudah menantu pula. Hapal akan wajah saya, dia ingat di televisi, Mawi berbincang akrab dalam bahasa Minang. Eh, tak dinyana, ia sekampung dengan isteri saya, Sandra, di Sungai Sariak Tujuh Koto, Pariaman. Rumah keluarganya, Sandra ingat. Terasa sempit dunia ini.
Kami berbincang tentang keberadaan orang Minang di Batam. Kalau menurut Mawi, sudah 50% orang asal Minang mendiami Batam. Angka ini tentu belum saya verifikasi lebih jauh. Namun dari berkeliling ke pasar, termasuk membeli durian terkenal enak asal Tanjung Batu di siang tadi, penjualnya memang berasal dari Sumatera Barat.
“Ada lagi orang kampuang awak maju besar di sini. Urang Sungai Sariak juga. Keluarga Pak Tanjung, pedagang emas dan usaha lain. Anaknya, Asman Abnur, anggota DPR-RI. Mereka membangun masjid bagus, Bapak harus lihat,” ujar Mawi.
Baru saja, kalimat Mawi meluncur panjang. Ia langsung terperanjat. Sosok Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi X DPR-RI, diceritakan Mawi, seketika hadir di hadapan kami. Saya hanya pernah melihat wajahnya di televisi. Sosoknya memang jarang dikabarkan media.
Mawi berdiri.
Saya berdiri.
Sandra berdiri.
Kami bersalaman. Serempak berkata, “Panjang umur!”
Pertemuan tak diduga.
“Saya setiap Jumat petang pulang ke Batam,” ujar Asman.
Ia bersama seorang koleganya, sengaja mampir makan sate. Alasannya cepat saji, tidak menunggu lama, pas di selera. Ngobrol ke sana-ke mari, termasuk koleganya bertanya soal Nazarudin, isu korupsi, termasuk belum juga dicapreskan Jokowi. Obrolan ringan itu lalu menyepakati; sebelum masuk ke ranah politik praktis, seseorang harus memiliki usaha mandiri, sebagaimana Jokowi, telah mengekspor furnitur dan rumah kayu, juga seperti sosok Asman Abnur telah malang melintang berbisnis di Batam.
“Ayuk sekalian mampir ke masjid,” ujar Asman.
Sebelum kami berangkat, saya membayangkan masjid sebagaimana kebanyakan. Di dalam hati saya bergumam, kalaupun bagus masjid Asman ini, yah pastilah sama dengan masjid kebanyakan; berkubah, ada mihrab, lantai shalat berambal tebal, tempat wudhu kebanyakan masjid tertutup, tak ber-exhaust, jalananan toilet basah.
Apa yang saya bayangkan itu terbalik semua.
Lokasi Masjid Jabal Arafah bersebelahan dengan kawasan komersial Nagoya. Ada Nagoya Hills, pas disebelah. Konturnya di bukit. Mobil menanjak menuju lokasi. Pohon-pohon Terminalia, tanaman banyak di jumpai di Beverly Hills, di Los Angeles, USA, menyambut di kanan kiri jalan. Terminalia seakan berdoa menengadahkan tangan.
Mobil berhenti di bagian tengah. Sebuah halaman. Lima kotak kolam. Masing-masing di dalamnya ditanami pohon kurma, berdaun lebat. Di samping taman, tak beda bak suasana cafe Starbucks di mall-mall atau pusat perbelanjaan, ada pula café masjid, berlampu terang. Beberapa anak muda, memenuhi meja dan kursi café.
Asman mengajak saya ke bagian toilet, tempat berwudhu. Ia tak melepaskan kaus kakinya. Saya pun mengikuti. Selasar jalan di sekeliling itu, kering. Membuka kran air mengalir stabil, tempat buang air kecil, juga toilet, semuanya terbuka, dengan desain post modern. Lalu lintas angin mengalir, membuat ruangan tidak berbau.
Ingatan saya melayang ke Masjid Syekh Zayed, Abu Dhabi, ketika 2009 dan 2010, saya sempat ke sana. Masjid itu ditabalkan sebagai masjid terbesar dan terindah ke-3 di dunia. Tempat wudhunya dengan granit kualitas hotel bintang tujuh, ke lokasi menggunakan eskalator. Kendati tak se-grand tempat wudhu Masjid Syekh Zayed, hidangan tempat berwudhu Masjid Jabal Arafah ini dibanding kebanyakan masjid di Indonesia, terasa berbeda. Saya seakan menemukan oase tempat wudhu masjid saya mimpikan.
Asman lalu mengajak ke lantai dua. Ruang shalat sementara. Ambalnya biru diberi list kuning, impor dari Cina. “Ini sebenarnya ruang shalat sementara, nanti lantai ini untuk function room, tempat resepsi dan hall,” ujarnya. Ruang shalat utama nanti di lantai 3 dapat menampung 2.500 jamaah. Kendati ruang shalat sementara di langit-langit ruangan tampak jelas lampu bak pahatan tulisan Allah. Ada legokan lampu memajang mengikuti tulisan Arab Allah.
Di bagian selasar lantai dua, juga ada perpustakaan. Meja dan kursi juga didesain post modern. Saya diminta Asman untuk mendaftar seabagai pemagang kartu perpustakaan. Tak sampai satu menit, kartu perpustakaan bak kartu kredit lengkap dengan foto wajah saya malam itu, sudah terpampang di kartu. Buku-buku tersusun dalam rak tertata rapi. Dan menatap dari ruang perpustakaan itu, mata menarawang ke bagian kota Batam berkelap-kelip dipenuhi lampu. Perpustakaan buka hingga pukul 21. Mereka juga terkoneksi ke jaringan komputer Perpustakaan Nasional Jakarta.
“Kalau dari lantai tiga, kita bisa melihat Singapura,” ujar Asman.
Bersih, asri, grand.
Agaknya itulah yang ingin ditampilkan keluarga Asman di masjid ini.
Terasa kurang lengkap, mereka juga membuat menara masjid. Namun menara di bagian depan, sebuah bangunan setiap lantainya ada restoran. “Nanti paling atas baru beroperasi jelang tutup tahun 2013,” kata Asman.
Sambil menikmati secangkir teh tarik di café masjid, dan sepiring goreng ubi dipotong panjang kecil-kecil, terasa kriuk-kriuk manis, Ny, Zas J. Asman, sang isteri, menuturkan, bahwa banyak kawan-kawan pebisnis dari kalangan keturunan menyayangkan lokasi tanahnya dijadikan masjid. “Ada kawan saya bikin vihara tapi lokasinya jauh, “ ujarnya Zas.
Urusan pembiayaan masjid, hingga kini ratata-rata mencapai Rp 45 juta sebulan. Imam masjid, menempati lokasi bagaikan apartment kualitas atas. Dan menurut Asman, sejak awal masjid mereka sudah menyiapkan satu perusahaan, badan usaha yang mendukung masjid. Semula, hanya punya untung dua-puluhan juta sebulan, kini sudah lebih seratus juta sebulan. Meraka tak kewalahan untuk mengelola masjid. “Masjid bukan saja pusat ibadah, dia bisa mengembangkan ekonomi,” ujar Asman.
“Dulu sekali lokasi ini ditinggali oleh perumahan kumuh. Cuma konturnya bagus. Ayah saya berkeinginan agar lokasi ini dijadikan masjid. Dan saya berjanji mewujudkan,” ujar Asman.
Mulai mereka bangun pada 2012 lalu, semua bahan bangunan, mereka seleksi dan pilih sendiri. Termasuk pilihan kursi café, juga tanaman.
“Belum lama sebelum kami bangun, kepada ayah saya, ada yang menawarkan kerjasama untuk mebangun hotel bintang lima di lokasi ini. Mereka bilang ke ayah saya, kami bangun, Bapak tinggal terima kunci,” ujar Asman pula, “Ayah saya tak mau.”
Maka tidak berlebihan bila saya menuliskan bahwa Jabal Arafah, kini bisa menjadi landmark baru bagi Batam. “Dan lokasi ini memang kami niatkan sebagai kawasan wisata religi,” ujar Asman.
Kini bila ada ayah, ibu, pergi ke mall di sebelah lokasi masjid, sembari belanja, mereka bisa menitipkan anak, menyekolahkan anak atau cucu di masjid, belajar cepat membaca Alquran. Semuanya di ruang asri, dengan menggunakan teknologi informasi modern.
Saya sejak lama bermimpi, di Indonesia lahir masjid demikian. Ada simbol kebersihan, mengingat jika rumah berdebu saja malaikat enggan masuk, apatah lagi masjid seharusnya, kudu bersih, mesti grand. Dan mimpi saya soal masjid idaman itu, ternyata dijawab Allah ada di Batam. Maka saya katakan kepada Asman, segudang pun emas dimiliki ayahnya, pastilah masjid ini akan paling dibanggakan sang ayah menghadap Allah SWT.
Iwanpiliang, citizen reporter