Berita soal bocornya gedung DPRD Provinsi Banten
sudah ramai diberitakan media televisi sepekan yang lalu. Sungguh
memalukan melihat sebuah ruangan paripurna tempat para wakil rakyat yang
terhormat bersidang, dipenuhi dengan ember-ember plastik di atas
deretan meja kerja. Kabel-kabel yang tersambung pada microphone
terpaksa dicabuti untuk mencegah korsleting listrik. Lantai pun basah
dan becek. Di bagian lain dari gedung tersebut, beberapa pegawai DPRD
Banten tampak sibuk kerja bakti mengepel dan menguras air yang masuk
menggenangi lantai.
Padahal gedung itu masih tergolong baru. Pembangunannya baru dimulai 10 tahun lalu, memakan waktu selama 3 tahun (2003 – 2006), jadi masa pakainya baru 7 tahun.
Suatu durasi yang sangat singkat untuk sebuah proyek konstruksi yang
umumnya kelayakannya minimal 30 tahunan. Apalagi itu bukanlah sebuah
rumah tinggal type RSS, melainkan gedung DPRD yang menelan biaya hingga Rp. 106 miliar dari APBD Banten (note : nilai tersebut untuk pekerjaan konstruksi 10 tahun yang lalu – pen.).
Meski usia gedung terbilang baru 7 tahun, namun, kerusakan tidak hanya
atap gedung tetapi juga sejumlah pfalon yang jebol, tembok yang lapuk
dan retak serta kondisi toilet yang mampet, rusak dan kumuh, benar-benar
mengenaskan. Sama sekali tak melambangkan gedung yang cukup
representatif, bahkan terkesan bak gedung yang terbengkalai.
Gedung DPRD Banten itu pembangunannya dikerjakan oleh PT Sinar Ciomas Raya Contractor milik ayah Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, yakni almarhum Tubagus Chasan Sochib.
Pengerjaan gedung DPRD Banten itu dulu sempat bermasalah karena tidak
selesai tepat waktu bahkan Gubernur Banten pertama sempat menghentikan
pembangunannya. Namun, PT Sinar Ciomas Raya Contractor meminta adendum dan penambahan biaya hingga membengkak menjadi Rp 106 miliar.
Sebuah stasiun TV berita mengabarkan bahwa perawatan gedung tersebut
ditangani oleh adik Atut, Tubagus Chaeri Wardhana yang kini mendekam di
rutan KPK. Tidak mengherankan jika hal ini benar, sebab sudah jadi
rahasia umum di Banten, bahwa hampir semua proyek konstruksi di Provinsi
Banten dikuasai oleh Wawan melalui banyak perusahaannya, baik yang
beralamat jelas maupun fiktif seperti penelusuran stasiun televisi
tersebut.
Jangankan gedung DPRD yang sudah dipakai selama
7 tahun, RSUD Banten yang dijadikan rumah sakit rujukan di provinsi
Banten saja, sudah banyak bocornya dan plafon di lantai 4 sudah jebol.
Padahal, gedung itu baru diresmikan sebulan, yaitu 3 Oktober 2013.
Sungguh kejadian yang tak masuk akal, jika hanya karena hujan lebat
sekali saja sudah membuatnya rusak. Bukankah semestinya sebuah bangunan
besar didesain dengan struktur konstruksi yang sedemikian rupa sehingga
tahan menghadapi hujan lebat, selama bukan kondisi force majeur, semisal tsunami, topan sejenis Haiyan, atau gempa berkekuatan besar. Apalagi dana pembangunan RSUD Banten tersebut menelan biaya tak sedikit, sampai Rp. 204 milyar didanai APBD Banten.
Ketika Komisi V DPRD Banten melakukan
peninjauan ke RS Rujukan Banten, ditemukan sejumlah titik plafon di
lantai empat gedung itu dalam kondisi jebol dan atapnya bocor.
Akibatnya, ketika turun hujan, lantai rumah sakit terendam air hujan. Bahkan karena sedemikian parahnya kebocoran pada pertengahan Nopember ini, pasien sempat dievakuasi.
Inilah reaksi Atut menanggapi kabar soal bocornya RSUD Banten : “Jadi bocor yah? Ya nanti ibu cek,” kata Atut yang ditemui usai Rapat Paripurna DPRD Banten, Jumat (15/11). Begitupun soal Gedung DPRD Provinsi Banten : “Gedung DPRD juga yah?”
ucapnya singkat. Padahal, kebocoran parah itu terjadi justru menjelang
rapat paripurna DPRD Banten dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi
terhadap penyampaian nota pengantar Gubernur mengenai Raperda dan APBD
Provinsi Banten yang meningkat menjadi Rp 6,8 triliun. Sidang pun sempat
ditunda dan molor, Atut pun baru datang tak lama sebelum sidang
dimulai.
Semalam, bertambah satu lagi gedung Pemerintahan yang rusak : atap pendopo Gubernur Banten ambruk!
Memang bangunan itu adalah bangunan kuno yang termasuk cagar budaya.
Namun jika perawatannya terjadwal dan dilakukan dengan baik, semestinya
kejadian canopy ambruk itu tak perlu terjadi. Kejadian itu terjadi sekitar Kamis,
21 Nopember semalam. Tak ada angin kencang, tak ada hujan sama sekali,
tiba-tiba saja terdengar suara bangunan ambruk yang ternyata adalah kanopi persis di depan pintu samping ruang kerja Gubernur Banten,
yangbiasa digunakan untuk akses keluar-masuk Ratu Atut Chosiyah. Gedung
itu dalam beberapa hari belakangan memang sedang direnovasi. Namun
ambruknya atap samping itu menunjukkan bahwa bangunan cagar budaya (BCB)
tersebut tak mendapatkan perawatan yang memadai, sehingga sudah ambruk
duluan sebelum proses renovasi selesai dilakukan.
Sekedar untuk diketahui, Gedung Pendopo
Gubernur Banten tersebut adalah bangunan bersejarah yang merupakan
peninggalan kolonial. Tepat di belakang gedung tersebut, sebuah bangunan
mewah yakni rumah dinas (rumdis) Gubernur yang renovasinya menelan
biaya Rp 16,14 miliar namun hingga kini dibiarkan terbengkalai sebab
sejak pembangunan pada 2011 silam hingga saat ini Atut sama sekali tak
mau menempatinya dan lebih memilih tinggal di rumah pribadinya di Jl.
Bhayangkara No 51, Serang, namun ironisnya APBD Provinsi Banten dibebani
biaya sewa Rp. 250 juta per tahun yang masuk ke kantong pribadi Atut
sebagai pemilik rumah tentunya.
Mungkin nanti, ICW dan kelompok penggiat anti
korupsi lainnya akan segera mengarahkan perhatian pada anggaran
perawatan gedung DPRD Provinsi Banten dan gedung Pendopo Gubernur
Banten, juga anggaran pembangunan RSUD Banten. Apakah biaya yang
dikeluarkan sesuai dengan kualitas bangunan serta pemeliharaan,
siapa/pihak mana yang bertanggungjawab, apakah sudah sesuai dengan
spesifikasi teknis, dll. Jika ternyata terdapat penyimpangan, maka akan
makin menambah panjang daftar sederet penyimpangan pembangunan dan
pengadaan sarana di Banten, setelah akhir-akhir ini penyimpangan
pengadaan alkes di RSUD Tangerang Selatan mulai disidik KPK. Sekedar
untuk diketahui, Walikota Tangsel adalah Airin Rachmi Diany, istri dari
Wawan, adik Atut.
Rupanya, kini alam pun mulai enggan bersahabat
dengan segala macam praktik penyimpangan yang coba ditutupi selama
sepuluh tahun terakhir. Akhirnya, meski hujan hanya turun beberapa jam,
kebocoran sudah sedemikian besarnya. Bahkan, tanpa ada angin pun bisa
ambruk. Tampaknya bait-bait lirik lagu Ebiet G. Ade yang populer di awal
dekade ’80-an, meski sudah berlalu 3 dasawarsa, tetap relevan untuk
sekedar introspeksi kelakuan manusia.
“Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa…”
(Cobalah lihat bagaimana pejabat melenggang ke gedung KPK sambil
menebar senyum dan melambaikan tangan saat sejumlah massa meneriakinya “koruptooorr…, koruptooorr!!” bak biduan yang melambaikan tangan pada fans-nya yang berteriak “we want more…, one more…!!”).
“Atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang…”
(dan alam pun menunjukkan murkanya, tak lagi bersahabat. Baru awal
musim penghujan saja sudah 3 gedung yang “dikerjain” dan bikin
kelimpungan pejabatnya).
Catatan Ira Oemar