Indonesia patut bersyukur atas bantuan yang diberikan pelaut-pelaut Australia, ketika Indonesia masih menjadi negara baru. Dukungan para pelaut itu yang melakukan pemogokan terhadap angkatan perang Sekutu, telah memberikan dukungan moral bagi kemerdekaan Indonesia. Sebagai satu “negara” di benua paling selatan, Australia pada tahun 1945 tentulah kesepian. Sebab di sebelah utaranya yang ada adalah negara yang diduduki oleh Belanda sebelum tahun 1942, lalu kemudian Jepang. Isolasi ini memicu sikap yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Hal itu juga yang membuat Australia bersikap kooperatif ketika tentara Indonesia memasuki wilayah Timor Timur pada tahun 1975. Australia tentu tidak ingin ada negara komunis di wilayah yang berbatasan langsung dengannya. Komunisme menjadi hantu dalam hubungan antara negara-negara Blok Barat dengan negara-negara Blok Komunis. Australia, walau terletak di bagian selatan, tetapi sesungguhnya tetap menjadi negara Barat yang jauh dari negara asalnya, yakni Eropa – dan terutama Inggris. Walau, kemudian, Australia juga yang berpihak kepada kemerdekaan Timor Timur di zaman Presiden BJ Habibie.
Kasus penyadapan telepon yang dilakukan pihak intelijen Australia terhadap beberapa orang penyelenggara negara, termasuk Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono, tentu mengurangi makna hubungan baik selama ini. Padahal, dari sisi apapun, hubungan Indonesia dengan Australia tidak pernah benar-benar buruk. Kedua negara bertetangga ini selalu menjalin hubungan baik. Sekalipun muncul masalah, hal itu terkait dengan Timor Timur, pelanggaran HAM, lalu belakangan terorisme. Kedua negara selalu bahu-membahu dalam mengatasi masalah bersama. Kerjasama di bidang ekonomi juga berlangsung terus.
Ada apa, Australia? Apakah memang begitu sulitnya mendapatkan informasi kenegaraan dari kalangan yang disadap oleh Australia? Ataukah ada misi lain diluar hubungan kedua negara? Bagaimanapun, Indonesia selama ini sangat bersahabat dan hangat dengan Australia. Selain diikat oleh hubungan historis, kedua negara juga bertetangga. Tidak ada negara “Eropa” dan Barat yang bertetangga langsung dengan Indonesia, kecuali Australia. Kerjasama kedua negara juga intensif, kalau tidak dikatakan intim.
Jadi, dapat dimengerti reaksi pemerintah Indonesia terkait dengan masalah penyadapan ini. Apalagi pernyataan dari Perdana Menteri Australia Tony Abbott dari Partai Liberal terasa datar, tanpa nada penyesalan, apalagi permintaan maaf. Memang, pemerintahan Partai Liberal di Australia dikenal kurang menjadikan Indonesia dan Asia sebagai fokus utama, dibandingkan dengan pemerintahan Partai Buruh. Namun, idealnya, perubahan pucuk pimpinan politik dan pemerintahan di Australia tidak mengubah banyak hal dalam hubungan kedua negara.
Reaksi negatif terhadap Australia selalu muncul, dari pelbagai kalangan, apabila dianggap melecehkan wibawa Indonesia di fora internasional. Inilah karakter asli nasionalisme Indonesia. Karakter ini datang dengan sendirinya, akibat pengaruh masa lalu yang kelam di bawah kaki kolonialisme. Hanya saja, nasionalisme rakyat Indonesia ini tentu tidak dengan sendirinya berubah menjadi sikap anti asing. Kalaupun ada nada yang keras, biasanya berupa himbauan pemutusan hubungan diplomatik atau boikot terhadap barang-barang yang berasal dari negara asing.
Kita tentu tidak berharap hubungan kedua negara menjadi bertambah buruk. Permintaan Indonesia sederhana, yakni permintaan maaf secara resmi dan janji untuk tidak mengulangi lagi. Dalam hubungan antar bangsa, penyadapan adalah cara yang sangat biasa guna memperoleh informasi. Hanya saja, cara itu jarang diketahui, kecuali apabila ada pihak yang membocorkan “rahasia” negaranya. Masalah Indonesia dan Australia ini muncul akibat ada pihak yang membocorkan, yakni Edward Snowden. Snowden adalah kisah terkini dalam pentas intelijen dunia.
Bahwa kasus penyadapan itu sendiri tidak muncul dari pihak intelijen Indonesia, tentu menjadi persoalan yang berbeda. Indonesia pastilah memiliki teknologi yang memungkinkan penyadapan dilakukan, sebagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan itu. Hanya saja, penyadapan berada dalam kerangka hukum dan perundang-undangan. Tidak semua orang bisa disadap. Dan kalau itu terjadi, pihak yang disadap bisa mengajukan gugatan hukum.
Hubungan baik antara Indonesia dengan Australia tentu perlu diperbaiki kembali. Dari sini, norma-norma bertetanggalah yang dikemukakan, ketimbang melihat Indonesia sebagai musuh. Kalau itu yang terjadi, kedua negara akan mengalami kerugian, baik Australia maupun Indonesia. Kerugian itu menjalar ke banyak hal, bukan hanya dari sisi diplomatik, melainkan juga merambah bidang ekonomi, pendidikan, maupun sosial dan budaya. Mari kita bersikap lebih hati-hati dalam hubungan bertetangga.
Indra Jaya Piliang