Akhir-akhir ini terjadilah
perdebatan ditengah masyarakat Piaman, terutama masyarakat lapau. Tepatnya,
setelah mereka mengetahui regulasi atau aturan Pemda Padang Pariaman yang
dituangkan dalam RTBL, RDTL. Isinya menyatakan, rencana pembangunan pusat
perkantoran terletak di satu titik koordinat luas 100 hektare dari Gedung
Kantor Bupati Padang Pariaman.
Disimpulkan, pembangunan perkantoran
hanya dibangun seluas 100 hektare dekat kantor bupati dan tidak bisa dikembangkan
secara menyeluruh di Nagari Parit Malintang. Sehingga, mereka yang selalu
mengikuti perkembangan pembangunan Ibu Kota Kabupaten (IKK) Padang Pariaman menyayangkan
regulasi itu lahir.
Masyarakat menilai, mau dijadikan
apa IKK di Parit Malitang itu ke depan. Ini pertanyaan yang muncul di tengah
masyarakat. Menjawab pertanyaan masyarakat di atas tidaklah mudah. Sejarah
pembangunan suatu ibu kota menjadi kota mandiri modern di mana pun negaranya,
sudah dipastikan akan membutuhkan sumber daya yang besar dan waktu yang
panjang. Sehingga, ketika mengembangkan pusat ibu kota harus memiliki visi dan
misi yang jauh ke depan, tentunya tidak membingungkan masyarakat.
Jika membaca sejarah kota baru yang
dibangun sebagai pemindahan pusat kekuasaan atau pusat pemerintahan kerajaan,
negara, provinsi atau kabupaten banyak hal yang bisa dilihat. Contoh,
pemindahan pusat kerajaan Mataram oleh Sultan Agung dari Karta ke Plered awal
abad 17. Atau, pembangunan Kota Batavia di tempat reruntuhan Kota Sunda Kelapa
oleh VOC awal abad 17 karena Batavia dianggap strategis sebagai pusat
perdagangan dan pusat kekuasaan VOC di Kepulauan Nusantara dibanding Ambon dan
Ternate yang saat itu merupakan pusat perdagangan dan pusat kekuasaan VOC.
Begitu juga sejarah dan penyebab
dengan pemindahan ibu kota baru Ria ke Pekanbaru. Tujuan pemindahan dari
Tanjung Pinang, karena alasan politik, untuk mengurangi pengaruh Singapura dan
Malaysia. Bahkan, saat itu mata uang yang digunakan di Tanjung Pinang adalah
mata uang yang berlaku di Singapura dan harga-harga dinyatakan dalam mata uang
tersebut. Pembangunan Kota Janto sebagai ibu kota baru Kabupaten Aceh Besar
yang semula berada di Kotamadya Banda Aceh juga sama. Begitu juga pemindahan
ibu kota Kabupaten Bogor dari Kotamadya Bogor ke Cibinong. Semuanya selalu
mempertimbangkan banyak hal yang pada akhirnya bertujuan untuk menyejahterakan
masyarakat.
Dari pengalaman sejarah pindahnya
ibu kota dan dibandingkan dengan kondisi pembangunan IKK Padang Pariaman
sekarang, memang jauh berbeda. Sehingga, sangatlah pantas ada berdebatan yang
mendalam di tengah masyarakat terhadap perkembangan IKK.
Dilihat dari rencana awal pembangunan IKK yang ada di Nagari Parit Malintang sacara landasan hukum sudah dituangkan dalam aturan. Semua bisa dijadikan rujukan pemerintah daerah untuk pengembangan. Misal, sudah diatur dalam PP No. 79 Tahun 2008, dan sudah dijabarkan juga oleh Peraturan Daerah tentang 9 Kawasan Strategis Padang Pariaman yang isi menjelaskan bahwa pembangunan IKK berkonsep melahirkan kota mandiri.
Sangat pantas, harapan masyarakat
Padang Pariaman besar terhadap IKK tersebut. Seperti, masyarakat berharap agar
IKK itu ke depan menjadi pusat pemerintahan nan rancak, menjadi pusat bisnis
dan pedagangan, menjadi pusat pelayanan publik terbesar di Sumatra Barat.
Menjadi pusat bermukim/menginap ramah lingkungan dan disenangi, dan bisa juga
jangka panjang menjadi ibu kota provinsi Sumatra Barat dari Kota Padang.
Begitu juga dengan masyarakat
setempat. Masyarakat 2x11 Enam Lingkung tidak akan merasakan efek pembangunan
perkantoran secara ekonomi jika pembangunan hanya berada di radius koordinat
luas 100 hektare yang diatur dalam RTBL, RDTL oleh Peraturan Bupati tersebut.
Masyarakat ingin, pembangunan kantor SKPD menyebar di kawasan Nagari Parit
Malintang, merata dibangun di setiap korong.
Parit Malintang merupakan pusat
pemerintah yang 100 tahun ke depan harus menjadi kebanggaan daerah Padang
Pariaman. Secara teori akademis, peluang pendirian suatu pusat ibu kota
merupakan kesempatan terbesar untuk melakukan penataan indahnya suatu daerah
jangka panjang, dan kesempatan juga membangun peradaban baru Padang
Pariaman.
Sekarang, sebelum terlanjur
membangun pusat pemerintah sesuai aturan RTBL, RDTL tersebut, maka usulan
penulis agar semua pihak mendesak regulasi pembangunan IKK dikembalikan pada
konsep penataan suatu ibu kota yang menjadi kota mandiri modern, atau Kota
Mandiri Parit Malintang nan rancak. Suatu kota yang tidak hanya membangun pusat
perkantoran pemerintah, tapi juga harus terbangun pusat bisnis/perdagangan,
pusat pertumbuhan di sektor publik, pusat wisata alam kota dan pemukiman ideal
kota ramah lingkungan.
Catatan Yohanes Wempi