Kasus korupsi
dalam pengadaan alat uji kemudi di Korp Lalu Lintas Kepolisian RI dengan
terdakwa mantan Kakorlantas Polri, Irjen Djoko Susilo, kini memasuki
babak akhir. Setelah minggu lalu pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa
Penuntut dari KPK, kemarin sidang pembacaan pleidoi oleh terdakwa dan
penasihat hukumnya. Kalau dalam sidang pembacaan tuntutan sang jendral
sampai terkantuk-kantuk di kursi pesakitan, dalam sidang kemarin sang
jendral tak sempat mengantuk, sebab peran yang dilakoninya kemarin
adalah peran sedih. Seperti lazimnya peran sedih, tentu diwarnai cucuran
air mata dan kalimat penuh sedu sedan.
Sungguh tak
dinyana, seorang Jendral yang tampak sangat berkuasa dan digdaya di
tubuh kepolisian RI, kini harus menangis di persidangan karena sudah
terbayang ancaman kurungan 18 tahun serta sejumlah denda yang harus
dibayar dan pengembalian kerugian negara.
Kalau mundur ke peristiwa
lebih setahun yang lalu, pada akhir Juli, saat penyidik KPK akan
menggeledah Gedung Korlantas Polri, kita tentu masih ingat bagaimana
para penyidik KPK menghadapi tentangan sampai-sampai para pimpinan KPK
harus turun gunung dan para penyidik bekerja sampai lewat subuh hari,
padahal saat itu bulan Ramadhan. Para petinggi Polri seolah kompak
berupaya menghalangi maksud KPK menggeledah Gedung Korlantas. Barang
bukti yang berhasil dikumpulkan pun nyaris tak diijinkan dibawa keluar.
Bahkan ketika akhirnya boleh di bawa ke gedung KPK, namun ditempatkan
dalam suatu container yang dijaga ketat oleh anggota Polri bersenjata,
sehingga sampai sekian lama KPK belum bisa menelaah barang bukti
tersebut.
Belum lagi ketika
sang jendral ditetapkan untuk ditahan dan dikenakan baju tahanan KPK.
Malam itu juga Gedung KPK “diserbu” sekian banyak anggota Polri, untuk
menjemput paksa Kompol Novel Baswedan, anggota Polri yang sudah menjadi
penyidik KPK dan kebetulan dalam kasus dugaan korupsi simulator SIM ini
Kompol Novel menjadi Ketua Tim Satgas penyidik.
Dia pula yang memimpin
penggeledahan gedung Korlantas Mabes Polri pada penghujung bulan Juli
2012. Novel pula lah yang bersitegang dengan anggota polisi yang mencoba
menghalang-halangi proses penggeledahan. Maka, mendadak kasus
penembakan terhadap sekelompok orang yang diduga pencuri sarang walet
yang mengakibatkan kematian salah satu pelakunya, yang terjadi 8 tahun
sebelumnya ketika Kompol Novel yang saat itu menjabat sebagai
Kasatreskrim Polres Bengkulu, dibuka kembali dan Dirreskrim Polda
Bengkulu akan menangkap Novel.
Untunglah KPK
bergeming dan tak gentar dengan beragam tekanan. Dukungan masyarakat pun
mengalir untuk KPK bahkan memaksa Presiden SBY bersuara menengahi. Kian
hari, perkembangan kasus itu bak bola salju, berhasil mengungkap
sebagian harta kekayaan Irjen Djoko Susilo yang sangat fantastis dan tak
masuk akal dibandingkan gajinya sebagai perwira Polri sepanjang
karirnya. Tak kurang dari 35 properti berupa rumah mewah, tanah dan
sawah serta 3 unit SPBU dan sejumlah apartemen di dalam dan diluar
negeri, dimilikinya.
Belum lagi sejumlah mobil mewah dan bahkan kebun
binatang mini pun dipunyai sang jendral. Semua harta itu disamarkan
dengan diatasnamakan kerabat dan keluarganya, termasuk istri kedua dan
ketiga, yang selama persidangan Djoko menolak para istrinya dihadirkan,
meski Djoko sendiri mengaku salah satu sumber harta kekayaannya itu dari
usaha-usaha para istrinya. Inilah yang kemudian memicu ketidakpercayaan Hakim atas keterangan Djoko seputar perolehan hartanya.
Sebab sama sekali tak ada bukti pendukung berupa data catatan keuangan
yang lazim dilakukan dalam sebuah bisnis. Jika benar semua itu bersumber
dari usaha istrinya, kenapa sejak awal Djoko menolak istrinya
dihadirkan sebagai saksi?
Kini, pasca pembacaan tuntutan setebal hampir 3000 halaman, dimana Jaksa KPK menuntut Djoko dengan hukuman
18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar atau diganti 1 bulan kurungan.
Serta pidana tambahan berupa membayar uang pengganti Rp 32 miliar,
subsider 5 tahun, dan mencabut hak memilih-dipilih dalam catatan publik –
kecuali jadi Ketua RT – Djoko masih berkelit dirinya tak bersalah
melakukan korupsi.
Menurutnya ia hanya lalai mengawasi anak buahnya,
sehingga dalam proyek pengadaan simulator SIM ini terjadi korupsi. How come?!
Bagaimana bisa seorang jendral berlepas tangan begitu saja dan
menimpakan kesalahan hanya pada bawahan pelaksana. Kalau pun benar anak
buahnya melakukan korupsi, kelalaian Djoko sudah sangat fatal karena
menyebabkan kerugian negara mencapai Rp. 144 milyar. Tapi benarkah semua
itu hanya dinikmati anak buah Djoko semata dan Djoko sama sekali tak
tahu apa-apa? Ah.., menggelikan sekali, apalagi mengingat tumpukan harta
kekayaan yang begitu fantastis dimiliki Djoko.
Tak hanya mengaku tak bersalah, Djoko pun mengumbar “jasa”nya kepada institusi Polri dan menyebut sejumlah bintang jasa dan penghargaan yang pernah diterimanya. Ungkapan Djoko saat membacakan pleidoinya : “Saya benar-benar seperti merasakan telah dijatuhkan dari tempat yang paling tinggi, sampai ke jurang yang paling dalam”
seolah menyiratkan kekesalannya karena semua “prestasi” dan penghargaan
itu seolah lenyap begitu saja. Namun siapakah yang menjatuhkan Djoko
Susilo? Bukankah sejak awal Polri justru seolah pasang badan demi Djoko?
Bukankah ia jatuh karena akibat perbuatannya sendiri? Ibarat kata
pepatah “panas setahun hapus oleh hujan sehari.”
Dalam pleidoinya kemarin, Djoko membawa-bawa nama Allah SWT disela tangisnya. “Istri
dan anak sangat terbebani. Saya lalu katakan kepada mereka ini terjadi
atas izin Allah SWT. Allah SWT tidak akan pernah membiarkan keadilan
diambil oleh umatnya”. Padahal, dalam sidang beberapa
pekan sebelumnya, terungkap bahwa selama ini sang jendral sangat percaya
pada kesaktian sejumlah keris pusaka yang dimilikinya. Bahkan demi
melengkapi koleksi kerisnya menjadi 200 buah, Djoko rela menukarnya
dengan sebuah rumah mewah senilai lebih dari semilyar rupiah.
Keris
berharga mahal itupun kerap dibersihkan dan dilakukan upacara ritual,
yang konon katanya jika memegang keris itu maka Djoko tak akan mempan
disakiti, rambutnya tak akan bisa dipotong. Kini, ketika keris sakti
mandraguna itu tak mampu lagi menolongnya, Djoko menyebut Allah SWT tak
akan membiarkan keadilan diambil oleh ummatnya. Benar, “tangan” Allah
sudah mulai bekerja, ketika Djoko tak lagi sakti, ketika kasus ini
akhirnya berhasil dikuak KPK, ketika sebagian besar harta kekayaannya
yang selama ini disembunyikan dan tak pernah dilaporkan, satu demi satu
ditemukan KPK.
Inilah tandanya Allah SWT tak akan pernah membiarkan
keadilan berada di tangan mereka yang punya kuasa dan berharta saja.
Betul, semua terjadi atas izin Allah, termasuk ketika Allah mengizinkan
aib seseorang dibuka seterang-terangnya, karena – seperti syair lagu
Ebiet – mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Semoga saja Irjen Djoko Susilo paham makna dari kalimat dalam pleidoinya.
Tapi ada kejadian yang cukup janggal dalam sidang pembacaan pleidoi kemarin. Sebelum sidang dimulai, Djoko membagikan buku biru
berisi tentang kemajuan Dirlantas Polri di bawah kepemimpinan Djoko
Susilo. Mungkin maksudnya agar “jasa-jasa”nya itu jadi pertimbangan.
Sayangnya, dari sejumlah buku yang dibagikan, pada buku yang diberikan
kepada Jaksa KPK ditemukan selembar mata uang dollar Amerika senilai US $
100. Lembaran dollar AS yang masih lurus itu terselip diantara lembaran
buku, entah apa maksudnya. Nilai US $ 100 memang bukan jumlah yang
besar, hanya sekitar sejuta rupiah lebih. Tapi mungkinkah itu perlambang
atau simbolisasi atau “bahasa isyarat” yang hendak diberikan Djoko
kepada JPU dari KPK?
Buku itu sendiri
bukan bagian dari pleidoi itu sendiri. Keberadaannya hanya sebagai
pelengkap semata, berisi profil dan prestasi Djoko di Kepolisian. Lalu
kenapa di buku yang dibagikan kepada pihak lain tidak ada selipan itu?
Lembaran uang dollar AS bukanlah mata uang umum yang bisa terselip
begitu saja tanpa sengaja. Kalau itu lembaran uang 10.000 rupiah
setengah lusuh, mungkin saja terselip tak sengaja, niatnya untuk
membayar tips OB yang memfotocopy buku itu. Tapi uang US $ 100 tidak
lazim bukan tiba-tiba terselip di dalam buku? Apalagi selama ini Djoko
ditahan di rutan KPK. Kalaupun dia butuh uang untuk membeli makanan atau
sekedar memberikan tips kepada petugas/pegawai di rutan, tentunya dalam
mata uang rupiah. Jadi sekali lagi, uang dollar AS itu aneh, meski
jumlahnya sangat tak signifikan untuk diartinya sebagai suap.
Sebenarnya Jaksa
KPK sudah bertindak benar dengan tak mau menyentuh uang itu dan menolak
mengembalikan uang saat itu juga serta meminta agar dicari dulu apa
motif di balik terselipnya uang itu. Tetapi majelis hakim justru
memerintahkan agar uang itu segera dikembalikan saat itu juga kepada
pengacara terdakwa, setelah sebelumnya Hakim mempertanyakan relevansi antara pembelaan Djoko dengan buku biru
itu.
Alasan Hakim, karena sama sekali tak ada hubungannya, maka seluruh
buku itu ditarik kembali, termasuk uang US $ 100. Jika nantinya
dianggap perlu dilakukan penyitaan, bisa belakangan. Semestinya, uang
itu memang “diamankan” dulu, dengan tidak seorang pun menyentuhnya
secara langsung. Dengan begitu, akan ketahuan sidik jari siapa saja yang
ada pada selembar uang tersebut. Tidak mungkin uang itu seperti jin
yang tiba-tiba muncul, tanpa ada tangan yang menyelipkan. Sidik jari
orang yang menyelipkan semestinya masih bisa terlacak, sebelum banyak
tertimpa sidik jari lainnya.
Nah, pak Jendral,
selipan uang apa lagi ini? US $ 100 tentunya bukan nilai yang besar
kalau dibandingkan harta kekayaan Irjenl Djoko Susilo yang diminta jaksa
KPK dirampas untuk negara, yaitu mencapai Rp 200 miliar. Harta itu
diduga hasil tindak pidana pencucian uang terkait kasus korupsi
pengadaan alat simulator SIM. Seperti kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto : “Itu
bisa sampai di atas Rp 200 miliar. Itu tidak pernah ada dalam sejarah
republik ini, orang dirampas hartanya sampai Rp 200 miliar”. WOW!