Perhimpunan Pergerakan Indonesia, satu lagi
organisasi kemasyarakatan yang meramaikan khasanah keormasan di tanah
air. Ketua Umumnya : tersangka KPK. Inilah uniknya Indonesia, mungkin
hanya di negeri ini seseorang yang sudah ditetapkan jadi TSK oleh
lembaga anti rasuah, bisa dengan penuh percaya diri mendirikan ormas.
Lebih lucu lagi, banyak pula orang yang mau bergabung dengan ormas
bentukannya. Tapi oke-lah, hak setiap warga negara membentuk ormas.
Kita tentu masih ingat pidato kontroversial Anas Urbaningrum persis sehari pasca KPK mengumumkan penetapannya sebagai tersangka. “Ini baru halaman pertama. Masih ada halaman-halaman berikutnya yang akan kita buka bersama…”,
kurang lebih begitu untaian kalimat Anas, yang meski diucapkan dengan
tenang, datar dan santun, tapi maknanya sarat intimidasi. Sontak, banyak
pihak yang tersihir ingin dekat-dekat Anas untuk bisa ikut mendengar
Anas membacakan halaman kedua dan seterusnya. Banyak tokoh yang
bersegera bertandang ke Duren Sawit sesaat setelah janji itu diucapkan.
Tak kurang, politikus pengusaha seperti Harry Tanoe pun “sowan” ke rumah
Anas. Mahfud MD yang sedang naik daun pun tak ketinggalan menengok
Anas.
Sekedar menyegarkan ingatan kita bersama, tak lama
setelah itu beredar issu bahwa Anas tahu banyak soal aliran dana
Century. Maka, politisi-politisi Senayan yang duduk di Timwas Century
pun berkunjung ke Duren Sawit. Penulis sendiri saat itu sudah pesimis
akan ada informasi baru yang cukup bernilai akan membalikkan arah
penyidikan kasus Century. Betapa tidak, ketika kasus itu mencuat pertama
kali dan jadi perdebatan panas antar fraksi di DPR, Anas masih jadi
Ketua Fraksi Demokrat. Dialah yang menjadi dirigent memandu
orkestrasi suara Fraksi Demokrat. Jadi kalau tiba-tiba Anas memberikan
informasi yang berlawanan dengan apa yang dulu dipertahankannya, maka
itu akan jadi bumerang bagi citra dirinya sebagai politisi. Anas akan
tampak sebagai politikus oportunis dan bunglon.
Tidak! Itu bukanlah sikap politik kelas tinggi!
Terlalu sederhana mengira Anas akan menempuh cara itu. Sebab sama
dengan menelanjangi sikapnya ketika jadi Ketua Fraksi, yaitu
menyembunyikan apa yang diketahui meski itu demi kebenaran dan tegaknya
hukum. Ternyata benar, issu soal info aliran dana Century ternyata cuma
isapan jempol belaka. Meski beberapa anggota Timwas Century dari
parpol-parpol seteru Demokrat sudah mengunjungi Anas, tak ada hasil
spektakuler yang didapat, bahkan nyaris tak ada info baru. Maka, dugaan
bahwa halaman kedua akan berisi cerita soal aliran dana Century pun tak
terbukti.
Maka, publikpun mulai meramal halaman
selanjutnya, apakah itu akan berupa gerakan kubu Anas di KLB Demokrat di
Bali? Loyalis Anas dari Cilacap, Tridiyanto pun menyatakan siap maju
jadi Ketum PD. Jangankan Tridiyanto yang tak punya “tiket” ikut KLB,
Saan Mustofa – loyalis Anas lainnya – yang semula dikabarkan bakal maju,
ternyata juga tak jadi mencalonkan. Bahkan tak terdengar perlawanan
berarti dari kubu Anas, semua sepakat menyetujui SBY menjadi Ketum PD,
demi keutuhan partai. KLB pun dipelesetkan jadi Kompak Luar Biasa, seolah ingin melecehkan kubu Anas.
Belum lama ini, Ma’mun Murod Al Barbasy, loyalis Anas lainnya, merilis buku berjudul “Anas Urbaningrum, Tumbal Politik Cikeas”.
Ternyata, buku inipun tak mampu membuat guncangan besar. Meski di awal
peluncurannya media TV melakukan ekspose terhadap penulisnya, buku ini
bahkan tak mampu mengalahkan hebohnya buku Gurita Cikeas karya George
Junus Aditjondro, misalnya. Entah bagaimana rekor penjualan buku tentang
Anas itu, yang jelas, gaungnya tak terdengar ramai, hanya hangat saat
peluncuran. Tak ada kabar buku itu laris manis diburu orang.
Kini, ketika Demokrat tengah sibuk dengan konvensi
capres, Anas mendeklarasikan ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia.
Pernyataan politis Anas seiring peresmian ormasnya juga mengomentari
soal Konvensi Capres PD. Menurutnya capres yang terpilih melalui
konvensi Demokrat tak akan mampu bersaing pada Pilpres. Apakah ini
pukulan Anas berikutnya?
Kalau diamati langkah Anas dan para loyalisnya
sejak penetapan Anas sebagai tersangka oleh KPK, mereka telah
melancarkan pukulan-pukulan kecil yang tidak membuat PD jadi KO. Awalnya
memang publik tersihir dengan retorika “halaman-halaman berikutnya”.
Apalagi ketika itu menyangkut kasus Century. Tapi ketika issu itu tak
terbukti, ditambah “melempem”nya kubu Anas di KLB Bali, maka
pukulan-pukulan berikutnya makin mudah ditangkis oleh PD.
Kini, apa tujuan besar Anas mendirikan ormas
PPI? Apakah ia tak cukup punya amunisi untuk “menulis” sendiri halaman
selanjutnya, sehingga perlu membentuk ormas untuk membantunya? Jika iya,
maka masih perlu kita tunggu efektifitasnya. Melihat wajah-wajah yang
hadir di Rumah Pergerakan Indonesia, tampaknya masih orang-orang yang
itu-itu saja, loyalis Anas, meski ada sedikit kejutan : Ahmad Mubarok
ikut hadir. Belum terlihat figur politisi die hard yang lebih
mengedepankan idealisme dan siap berjibaku membongkar segala kebusukan
dan konspirasi di dalam tubuh Demokrat. Apalagi kalau politisi tersebut
masih akan berlaga pada Pemilu 2014 yang mau tak mau masih butuh restu
parpol yang mengusungnya. Rasanya mustahil berharap seseorang yang masih
berharap kursi Senayan akan berani menggebuki kendaraan politiknya.
Bahwa pendirian ormas PPI adalah sebuah perlawan Anas, jelas ini tak bisa dipungkiri. Tapi seberapa besar magnitude-nya,
itu yang masih perlu diuji. Mencermati pukulan-pukulan Anas dan para
loyalisnya selama ini belum cukup kuat, akahkah dengan wadah ormas akan
memberikan energi besar? Meski Anas dan sebagian loyalisnya berusaha
mencitrakan diri sebagai pihak yang di-dzholimi, tapi tak cukup kuat
untuk menggalang simpati publik. Bahkan tampaknya masih kalah dengan
ocehan Nazaruddin melalui Skype dengan Bang Iwan Piliang pada
Juli 2011. Tampanya yang tertarik mendukung Anas dengan ormas PPI-nya
hanya kalangan yang bergelut di dunia politik, bukan masyarakat umum.
Itu pun tidak ditandai dengan tampilnya politisi-politisi yang populer
di mata masyarakat. Kalau hanya wadah kangen-kangenan barisan sakit
hati, akan efektifkah?
Kalau Anas ingin mengokohkan pijakannya menjadi
partai politik, masih perlu strategi jangka panjang. Belajar dari ormas
Nasdem yang sudah dirintis sejak akhir 2009 dan berubah menjadi parpol
pada 2012, Anas perlu memastikan apakah ormasnya akan mampu
mengembangkan sayap di 33 propinsi se-Indonesia. Nasdem didukung dana
yang tak sedikit, ketokohan Surya Paloh dan jaringan media massa
miliknya, serta kemampuan merekrut tokoh-tokoh nasional di awal
pendiriannya, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X dan beberapa tokoh
senior lainnya.
Meski demikian, ketika ormas Nasdem berubah menjadi
parpol, Sultan HB X dan ibu Rustriningsih pun mundur. Artinya : ketika
masih berbentuk ormas mampu merekrut tokoh yang dianggap bisa jadi solidarity maker,
tapi ketika berubah jadi parpol yang jelas partisan dan akan jadi
kendaraan politik pendirinya, belum tentu akan terus didukung. Begitupun
ormas PPI, banyak yang mengira kelak akan bermetamorfosis jadi parpol
(tentu saja kalau Anas tak keburu ditahan dan diadili lalu divonis
bersalah). Kalau nasib Anas menyusul Nazar dan Angie, siapakah yang akan
membesarkan PPI? Gede Pasek Suardhika sang Sekjen? Atau loyalis Anas
lainnya? Adakah tokoh yang bisa jadi magnet selain mengandalkan figur
Anas yang dikesankan didzholimi? Demokrat saja yang mengandalkan figur
SBY hanya mampu berjaya di Pemilu 2009. Pada Pemilu 2014 nanti, tak ada
jaminan Demokrat tidak jeblok seiring dengan makin suramnya citra
positif SBY di mata rakyat.
Tampaknya, para “penonton” masih harus menunggu
lama untuk mendengarkan Anas membacakan halaman kedua yang – diharapkan
– penuh kejutan. Atau.., jangan-jangan Anas masih mencari ide untuk
halaman berikutnya? Mari kita amati, seberapa efektif ormas ini mampu
“mengganggu” konvensi capres PD dan manuver selanjutnya. Soal Kovensi
Capres Demokrat, tanpa “diganggu” Anas pun sejak semula memang kurang
menarik perhatian publik. Apalagi 11 pesertanya bukan tokoh yang namanya
berada di ranking teratas survey popularitas publik. Semoga sajaPPI
ini bukan sekedar penghiburan diri Anas sebelum KPK menetapkan
penahanannya.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer