Dalam sepekan ini, sudah dua kali kita dikejutkan
berita penyekapan warga negara biasa yang dilakukan sekelompok orang –
entah itu disebut preman atau penjual jasa “keamanan” – yang disertai
penyiksaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap kemanusiaan seseorang.
Kebetulan, dua kasus itu terjadi di wilayah hukum Polrestro Jakarta
Barat. Tak ada yang bisa menolong menyelematkan mereka yang teraniaya,
kecuali mereka bisa membebaskan diri atau ada orang lain yang berani
melaporkan pada aparat berwajib. Anggota keluarga pun tak akan berani
melapor, karena ancaman dan intimidasi keompok penganiaya jauh lebih
menakutkan ketimbang jaminan rasa aman yang bisa diberikan aparat
pengayom masyarakat.
Adalah Ibu H, seorang janda yang di usianya 47
tahun mencoba mencari peruntungan dengan berjualan kopi asongan di pintu
toll Kebon Jeruk, demi menghidupi 4 anaknya. Baru seminggu berjualan,
ia telah dipalak “japrem” alias jatah preman
sebesar Rp. 100.000,00. Jumlah tak sedikit untuknya yang hanya berjualan
kopi, berebut rejeki dengan sekian banyak pedagang asongan yang sudah
lebih dulu mangkal disitu. Maka, adalah haknya untuk menolak membayar
japrem dengan alasan kalau uang itu diberikannya pada preman, dia tak
punya modal lagi untuk berjualan.
Sayangnya, penolakannya itu berbuah petaka tak
terperikan. Preman yang marah permintaannya tak dipenuhi, lalu
menyeretnya ke sebuah bedeng yang dibangun di lahan kosong tepat di
perempatan jalan seberang toll Kebon Jeruk. Rasanya mustahil tak ada
yang melihat bagaimana wanita bertubuh kecil ini dibawa preman melintasi
jalan sampai menuju bedeng. Maka sejak Jumat, 13 September 2013, wanita
malang itupun harus mengalami penyiksaan luar biasa sadis.
Ia
ditelanjangi di kamar mandi dan disiksa dengan kedua tangan diikat.
Selama hampir 3 hari ia harus menerima siksaan sekujur tubuhnya disundut
rokok dan ditetesi lelehan plastik yang dibakar. Tak cukup itu saja,
para penyiksanya memaksa Ibu H memasukkan sebatang kayu bekas gagang
cangkul ke dalam kemaluannya (maaf). Bahkan seolah belum cukup puas
melecehkan harkat kemanusiaan Ibu H, preman-preman itu mengolesi alat
vital Ibu H dengan sambal. Sungguh ini perlakuan yang sadis, keji dan
biadab. Di luar nalar sanggup dilakukan oleh orang waras terhadap
seorang wanita paruh baya yang dari tampilan fisiknya saja sudah tak
mungkin melawan seorang lelaki meski lelaki itu bertangan kosong.
Apalagi, yang dihadapinya banyak lelaki yang mengancam dengan pistol dan
beraneka senjata tajam.
Hanya kegigihan Ibu H yang mampu meloloskan dirinya
dari petaka itu. Sejak awal dianiaya, Ibu H sudah mencoba berteriak
meminta tolong, bahkan ketika mulutnya disumpal dengan celana dalam
miliknya dan dilakban, ia tetap merintih-rintih berharap ada yang
mendengar rintihannya. Sulit dipercaya jika tak ada yang tahu kejadian
penganiayaan di bedeng yang letaknya bukan di lokasi terpencil. Selain
di pinggir jalan di kawasan yang sangat ramai, bedeng tempat Ibu H
disekap dan disiksa letaknya persis berseberangan dengan sebuah warung
makan, di sebelah kiri dan kanannya ada bengkel dan WC umum.
Aktivitas
di sekitar pintu toll Kebon Jeruk nyaris tak pernah tidur, selalu ramai
orang lalu lalang. Kabarnya, ada sebagian warga sekitar – atau
setidaknya orang-orang yang terbiasa beraktivitas di sekitar tempat
tersebut – yang tahu dan mendengar Ibu H meminta tolong. Tapi mereka
memilih diam saja, dengan alasan “takut pada preman”.
Kalau pun Ibu H bisa lolos dari sekapan preman, itu
karena kenekadannya melepaskan ikatan di saat para preman penyekapnya
sedang lelap tidur sekitar jam 5 pagi. Dengan tubuh telanjang bulat
hanya ditutupi selembar pecahan kaca, Ibu H berlari ke apartemen Kedoya
yang berada di sebelahnya. Semula ia dikira orang gila karena berlari
telanjang. Pada Satpam apartemen, Ibu H menceritakan keadaannya, barulah
Satpam kemudian menghubungi polisi yang saat itu juga segera melakukan
penggerebekan di lokasi, dan berhasil menangkap 19 preman dan
melumpuhkan salah satunya dengan timah panas di kaki karena berusaha
kabur. Sayangnya salah satu penganiaya berhasil lolos, yang diduga
residivis yang pernah terlibat penculikan balita sekitar 4 tahun lalu,
ketika si preman menagih hutang dan pihak yang ditagih hutang tak
berhasil ditemuinya, maka anaknya yang baru berumur 4 tahun pun diculik.
Artinya, preman-preman itu sudah terbiasa melakukan apa saja dan tega
pada siapa saja – termasuk makhluk lemah, balita umur 4 tahun atau
wanita paruh baya – kalau kemauan mereka tak dituruti.
Pagi tadi, kembali publik dikejutkan berita tentang
penyelamatan 2 orang yang disekpa di sebuah ruko milik sebuah
perusahaan jasa penyedia keamanan, di kawasan jalan Hayam Wuruk, Taman
Sari, Jakarta Barat. Diduga motifnya karena hutang piutang. Kedua korban
tak saling kenal, namun keduanya sama-sama memiliki masalah hutang
dengan pemilik jasa keamanan. Ironisnya, ada oknum TNI AL aktif yang
terlibat dalam kasus penyekapan ini, sedang seorang lagi sudah dipecat
dari kesatuannya. Dalam penyekapan ini pun polisi menyita barang bukti
berupa senjata api jenis Baretta, satu buah airsoft gun, sepucuk senapan
angin laras panjang, sembilan buah senjata tajam serta 15 butir peluru
tajam.
Keduanya disekap di tempat yang berbeda, salah satu
disekap di sebuah loteng yang sempit dan gelap, sedang yang lain
disekap dan diborgol di teralis pintu dapur ruko tersebut. Diduga dalam
bangunan ruko itu ada sebuah sel, ya sebuah sel! Seperti dalam rumah
tahanan. Dengan kata lain, ruko yang dijadikan kantor jasa keamanan ini
memang sengaja melengkapi kantornya dengan ruangan yang memang
diperuntukkan memenjarakan orang lain. Delapan pelaku penganiayaan yang
diciduk polisi dari ruko itu tak lain adalah para pegawai perusahaan
jasa keamanan tersebut.
Dalam tayangan AKI Pagi di TV One pagi tadi
disebutkan korban sudah disekap selama 1,5 bulan. Selama disekap dan
disiksa, mereka boleh menghubungi keluarga hanya untuk menekan keluarga
agar mengupayakan pelunasan hutang sebesar 300-an juta rupiah. Namun
disertai ancaman pada keluarga untuk tak melaporkan kejadian ini pada
polisi. Sebuah berita di media online menyebutkan penyekapan itu
berlangsung selama 2 minggu. Entah mana yang benar, atau bisa jadi
keduanya benar, sebab kedua korban disekap dalam kasus yang berbeda dan
waktu yang berbeda. Yang jelas, penyekapan ini disertai penganiayaan,
salah satunya adalah dengan mengolesi alat vital korban dengan balsem.
Sadisme yang mirip dengan kejadian di toll Kebon Jeruk : sama-sama ada
unsur pelecehan dan penganiayaan seksual pada korban.
Bukan hanya miris, tapi sangat mengerikan mendengar
2 berita yang tak terpaut jauh waktu pengungkapannya. Sesama warga
negara bisa dengan mudahnya menganiaya dan menginjak-injak HAM warga
negara lainnya. Yang kuat – karena bersenjata atau karena bergabung
dalam komunitas berbaju ormas atau “perusahaan jasa keamanan” – dengan
bebasnya memenjarakan yang lemah tanpa pembelaan dan tanpa batas waktu.
Bahkan terpidana yang ditahan di lapas pun diperlakukan lebih manusiawi
ketimbang “penjara partikelir” seperti kasus-kasus di atas.
Apa yang terjadi di terminal bayangan toll
Kebon Jeruk itu hanyalah puncak dari gunung es yang tak sengaja
terungkap. Padahal di seluruh wilayah DKI ada berpuluh-puluh terminal
bayangan yang diduga menjadi lahan basah bagi premanisme. Kalau terminal
bayangan toll Kebon Jeruk saja para preman bisa mendulang uang sekitar
Rp. 300 jutaan rupiah sebulan, bisa dibayangkan berapa milyar uang hasil
memalak yang bisa diraup dari premanisme yang makin subur di kota
metropolitan Jakarta. Begitu pula usaha “jasa keamanan” yang sebenarnya
bukan memberikan layanan keamanan tapi justru menimbulkan teror bagi
pihak yang berlawanan dengan penyewa jasa. Entah berapa prosentase succession fee yang mereka dapatkan bila berhasil menagih hutang, hingga segala cara keji pun mereka lakukan.
Maka tidaklah terlalu berlebihan jika dalam
kasus penembakan oleh oknum Kopassus di lapas Cebongan, opini publik
lebih condong membela Kopassus yang membantai para preman yang dianggap
sudah meresahkan warga Jogja dan sekitarnya. Premanisme di Jakarta tentu
lebih subur dan lebih mengerikan ketimbang di Jogja atau kota-kota
lain. Kalau sudah begini, kepada siapa warga metropolitan bisa berharap
perlindungan keamanan dirinya? Perempuan lemah yang mencoba mencari
penghidupan sendiri tanpa menjadi benalu negara pun, masih harus
berjuang keras mempertahankan nyawa dan kemanusiaannya dari ancaman
preman.
Kita kerap berteriak keras, menghujat negara lain dimana terjadi
penganiayaan pada warga negara Indonesia yang menjadi buruh migran di
negara tersebut. Kita menyebutnya bar-bar, kita menuntut tanggung jawab
Pemerintah negara bersangkutan. Padahal, di sini, di negeri sendiri, tak
kurang biadabnya perlakuan antar warga negara, tanpa ada perlindungan
negara. Para pelaku penganiayaan bahkan tak perlu punya hubungan
majikan–buruh dengan korbannya. Ibu H yang tak berhutang jasa apapun
pada preman, tetap harus menyetor upeti pada prema atau merelakan
dirinya disiksa.
Perang melawan premanisme selalu hanya hangat-hangat
tahi ayam, ketika ada kasus yang mencuat, maka seolah-olah perang
melawan premanisme seperti perang melawan teroris. Tapi sejatinya,
sebagian premanisme itu terkadang sengaja “dipelihara”. Entah oleh
aparat atau oknum aparat, pejabat atau mantan pejabat, politisi,
pengusaha yang bersimbiosis mutualisme dengan kelompok preman. Bahkan
premanisme terorganisir berbaju ormas bisa dimanfaatkan untuk meraih
dukungan politik saat ada ajang Pilkada atau Pemilu. Lalu, kepada siapa
warga negara biasa yang tak punya senjata dan hanya sekedar ingin hidup
aman dan damai ini bisa meminta perlindungan? Padahal, kita hidup di
negeri sendiri, bukan perantau ilegal di manca negara lho!
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer