Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jangan Menangis, Pariaman!

9 September 2013 | 9.9.13 WIB Last Updated 2013-09-09T06:08:27Z





Sepuluh hari sebelum pelaksanaan pilkada Kota Pariaman, saya mendapatkan hasil survei dari lembaga Indo Barometer. Hasilnya: saya berada di urutan ketiga di bawah Mukhlis Rahman dan Helmi Darlis. Rekomendasi hasil survei itu adalah kampanye dan sosialisasi besar-besaran dalam waktu tersisa. Namun, ada satu hal yang penting dalam komunikasi politik: “Apapun bisa kita beli, kecuali waktu!” Ya, waktu sulit sekali diajak berkompromi, sekalipun seluruh tim bergerak sesuai dengan instruksi saya, siang dan malam.

Hasil akhir (sementara) tidak jauh berbeda dengan hasil survei sepuluh hari lalu itu. Sengaja saya tidak memberi tahukan hasil survei itu kepada seluruh anggota tim, agar tidak terjadi demoralisasi. Bagaimanapun, tim yang saya bentuk sudah mendapatkan apreasisasi di masyarakat. Tidak luas, namun sporadis. Sudah mulai muncul kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung kami secara terbuka, dari berbagai kalangan.


Posisi di nomor urut tiga, di antara tujuh kandidat, dengan dua sosok incumbent yang berada di atas kami, sudah merupakan hasil maksimal. Tipologi pemilih di Kota Pariaman termasuk mencengangkan bagi banyak peneliti ilmu-ilmu sosial dan politik. Sinisme dan ketidak-puasan terhadap kedua incumbent tinggi, namun juga tidak mau mengatakan siapa yang menjadi alternatif.


“Geleang alun tantu manulak, angguak alun tantu setuju. Di dalam geleang ado angguak. Di dalam angguak, ado geleang”.


Begitulah. Makanya, dalam kampanye, saya berusaha menjaga soliditas tim dan seluruh pendukung. Kami bergerak dengan bersemangat ke segala penjuru kota, berjalan kaki, membersihkan pantai, bersalaman. Ada situasi yang kami juga tahu, ketika bersalaman tidak semua warga berada di tempat. Sebagian besar warga Kota Pariaman bekerja di sektor informal, diluar pekerjaan lain sebagai petani, nelayan dan pegawai.


Kampanye terakhir yang kami adakan tanggal 29 Agustus 2013 adalah puncak dari kampanye yang bergelora. Suara saya yang habis akibat kampanye sebelumnya, terpaksa juga dikeluarkan dengan berhati-hati. Nyanyian “Suci Dalam Debu” dan “Kemesraan” menjadikan banyak orang menangis. Ada suasana kebatinan betapa kami tidak akan bertemu lagi dalam suasana serupa, untuk waktu yang lama.



***



Usai mengetahui secara random perolehan suara di masing-masing TPS pada tanggal 4 September 2013, saya memutuskan istirahat. Ya, pasangan IJP JOSS rata-rata berada di nomor urut tiga, dari tujuh pasangan calon. Saya sempat tertidur, karena kelelahan sejak semalam sebelumnya. Saya ikut juga mengantarkan konsumsi ke lokasi-lokasi TPS, akibat kelemahan dalam penyebaran logistik. Lokasi TPS yang sulit dijangkau, menyebabkan para pengantar konsumsi terlambat. Mestinya, ada tim yang bertugas menjemput ke posko-posko, bukan diantarkan oleh orang yang tidak tahu lokasi TPS.


Tentu, banyak catatan selama proses kampanye yang kami gelar. Waktu yang habis untuk mendapatkan KTP. Bulan Ramadhan yang menyebabkan waktu kampanye hanya efektif beberapa jam di sore dan malam hari. Hari Raya Idul Fitri yang dipenuhi oleh para perantau dan acara kenduri, sehingga fokus ke arah pemilik suara juga terhalangi. Terbukti popularitas saya hanya 70%, jauh di bawah kedua incumbent yang mencapai angka 100%.


Namun, diluar kelemahan-kelemahan itu, kami punya banyak kelebihan. Saya sungguh berutang budi kepada para relawan yang bekerja siang-malam, bahkan dalam keadaan minim konsumsi. Kami sama sekali tidak menggaji mereka. Dana yang mereka dapatkan hanya sebatas uang transpor yang jumlahnya tidaklah seberapa. Lebih banyak kurang, daripada lebihnya. Relawan yang muda-muda ini mendapatkan dukungan dari kaum ibu dan ayah mereka, dengan caranya sendiri.


Jumlah suara yang kami dapatkan adalah sepertiga dari jumlah suara yang diperoleh incumbent. Dan kami mendapatkannya dengan banyak kendala dan keterbatasan. Alhamdulillah, kemampuan keuangan kami hanya bisa sampai Hari H, dengan anggaran yang hampir tidak ada untuk masyarakat. Manajemen keuangan saya terbatas sekali, hanya bisa untuk berjalannya tim sampai ke Hari H. Banyak desa yang saya tidak pernah singgah, apalagi menyumbangkan dana untuk perbagai kegiatan.


Isu yang disebarkan pihak lain bahwa saya dapat dana puluhan Milyar dari para pengu(a)saha Jakarta, hanya bisa saya tertawakan sebagai sebuah doa. Mana ada pengu(a)saha yang mau menyumbang untuk seorang kandidat walikota yang sama sekali miskin sumberdaya alam dan tergantung pusat? Sebuah kota yang sedang menghadapi defisit, akibat besarnya pasak daripada tiang, minimnya Pendapatan Asli Daerah, serta tingginya pengangguran dan kemiskinan?



***



Sejak awal memutuskan maju sebagai Walikota Pariaman, niat saya ikhlas: ingin membaktikan usia kenabian saya untuk kota ini, Kota Pariaman. Salah satu caranya dengan menjadi walikota. Di luar itu, dengan dharma bakti yang lain. Artinya, saya tidak memikirkan siapa yang kalah, siapa yang menang. Bagi saya sama saja, pemenang mendapatkan beban yang sangat berat untuk bisa membuktikan seluruh janji dan programnya. Bahkan, jauh lebih baik berbuat ketika kita kalah.


Makanya, ketika istri saya membangunkan sore hari kemaren dan bilang bahwa tim saya yang menemani sehari-hari menangis, saya bangkit. Benar saja, mereka, empat orang laki-laki, sedang menangis di ruangan depan. Termasuk polisi yang menjaga dan mengawal saya setiap hari. Ada yang mengeluarkan kata penyesalan, betapa saya tidak mau mengikuti sarannya tentang tipikal pemilih di Pariaman yang dianggapnya sudah dirusak oleh para pelaku politik dan pejabat.


Saya bangunkan mereka. Saya paparkan logika saya, betapa dulu kita hanya sedikit, sekarang jumlah kita bertambah. Kemenangan IJP JOSS adalah memperbanyak jumlah orang yang peduli akan perubahan, tanpa hirau akan godaan materi dari pihak lain. Dari hanya 10 orang pengurus Nangkodo Baha Institute, 88 orang relawan Alang Babega, ditambah dengan 200-an relawan Sirangkak, jumlah pendukung IJP JOSS kini berubah menjadi sekitar 4.600-an orang. Ini adalah sebuah kekuatan. Inilah yang disebut sebagai massa perubahan.


Hujan tangis tak berhenti, bahkan sampai malam hari, seiring dengan derasnya air hujan menyapu Kota Pariaman. Dua hari sebelumnya, saya membagikan BOOM, deterjen pencuci kotoran kepada para ibu-ibu yang menjadi anggota Tim Sirangkak. “Hanya ini yang bisa saya berikan, untuk membersihkan kotornya politik uang di Kota ini,” kata saya. Para ibu tertawa. Mereka memang dikepung dengan pertanyaan: “Apakah IJP JOSS punya serangan fajar?” Banyak sekali sms dan telepon yang datang ke saya menanyakan hal serupa.


Alhamdulillah, pasangan IJP JOSS tercatat sebagai pasangan terbersih dalam pilkada Kota Pariaman ini. Tentu tidak ada kesempurnaan, misalnya pemasangan alat peraga di tempat yang dilarang Bawaslu. Tetapi, apapun itu, kesalahan kecil seperti itu menempatkan pasangan IJP JOSS sebagai pasangan yang tetap bersih, sampai pemilihan digelar. Kami tidak pernah ingin membeli suara, karena hakekat money politics adalah pembangkaian terhadap demokrasi, penghancuran atas kota ini.


Jangan menangis, Pariaman. Kita sudah berkembang, dengan satu kesatuan sikap, kesatuan posisi dan kesatuan perasaan. Jumlah kita semakin banyak, walau bukan mayoritas. Jangan menangis. Mari tetap bersama, menuju masa depan yang lebih baik.


“Suatu hari nanti,

pastikah bercahaya,
pintu akan terbuka,
kita langkah bersama...

Di situ kita lihat,
bersinarlah hakikat,
debu jadi permata,
hina jadi mulia.”

Indra Jaya Piliang, Pariaman, 05 September 2013
×
Berita Terbaru Update