foto : merdeka.com |
Ada yang menarik dan sedikit lucu di acara Primetime News yang ditayangkan Metro TV semalam, sekitar jam 18.30-an sampai lewat jam 7 malam. Acara yang dipandu salah satu news anchor
Metro TV, Cheryl Tanzil, menghadirkan 2 nara sumber, yaitu salah satu
pengacara LHI (maaf saya lupa namanya) dan Febri Diansyah dari ICW.
Topik yang dibahas seputar eksepsi penasehat hukum LHI atas dakwaan
Jaksa pada persidangan kedua kasus yang menimpa LHI.
Yang diberikan kesempatan pertama menyampaikan
pendapatnya adalah pengacara LHI. Saya merasa geli ketika beliau
mengatakan bahwa dakwaan KPK hanyalah pencitraan semata. Cheryl Tanzil
kemudian meminta sang pengacara untuk menjelaskan alasannya kenapa
dakwaan itu disebut “pencitraan”. Ternyata alasannya sangat naif dan
menggelikan. KPK menjadikan kasus LHI untuk menaikkan popularitas. Bukti
dan indikasinya : jika kita melakukan Google search dengan menggunakan kata kunci “PKS” + “LHI” maka akan muncul sejuta artikel tentang ini. Sedangkan kalau kita hanya melakukan searching menggunakan kata “PKS” saja, maka yang muncul hanya ratusan artikel saja.
Kontan ini membuat saya tertawa. Betapa tidak, kalau kata PKS dan LHI menjadi populer lewat search engine Google, apa keuntungannya bagi KPK? Apakah KPK otomatis mendapat credit point dari banyaknya artikel yang muncul di Google search?
Bukankah dengan kata kunci “PKS” + “LHI” itu artikel yang muncul akan
beragam, termasuk artikel yang menghujat KPK? Tidak usah terlalu luas
melakukan pencarian dengan Google yang mampu menjangkau ribuan
situs. Cukup kita melakukan pencarian di lingkup Kompasiana ini saja,
mulai kurun waktu Pebruari sampai Juni 2013, semua tulisan yang membahas
soal PKS dan LHI, maka akan muncul ratusan (atau bahkan ribuan?)
tulisan yang tidak semuanya mendukung KPK. Yang sangat membela LHI dan
PKS serta menghujat KPK pun tak kurang banyaknya. Jadi sangat naif dan tidak masuk akal jika indikasi munculnya sejuta artikel hasil pencarian dengan Google dijadikan fakta bentuk pencitraan bagi KPK.
Tidak itu saja, pengacara LHI ini menuduh KPK
menyetir pemberitaan di media, seolah karena KPK lah maka pemberitaan di
media menjadi seperti itu. Nah, ini lagi, argumen yang sangat lemah dan
sulit dibuktikan. Ada berapa banyak media di Indonesia? Ada berapa
banyak ragam media (media cetak, media elektronik yang audio, media
elektronik yang audio visual, media internet dan mungkin masih ada jenis
lain)? Siapa saja pemilik media itu dan kemana keberpihakannya? Apakah
sedemikian hebat KPK mampu menyetir semua media dengan beragam
afiliasinya itu untuk tunduk pada kemauan KPK? Bukankah bagi media
selalu berlaku rumus : bad news is a good news.
Jadi wajar saja kalau pemberitaan terkait hal-hal yang menyangkut keburukan akan lebih luas diliput media.
Seorang polisi berpangkat Aiptu di Papua, bernama Labora Sitorus yang
memiliki rekening gendut dan disinyalir menjalankan praktik bisnis kotor
dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai anggota Polri, jauh lebih
menarik perhatian media dan diberitakan secara luas, ketimbang seorang
Aiptu di Rembang yang nyambi menjadi tukang kayu dan merangkai
jala ikan sepulang dari tugasnya di Polres, demi menambal kebutuhan
hidupnya. Mungkin hanya 1 stasiun TV yang memberitakannya, itupun dalam
segmen berita sekilas saja. Jadi logika bahwa KPK yang menyetir media
agar memberitakan kasus LHI, sungguh sulit diterima akal.
Kembali ke soal munculnya sejuta artikel
terkait pencarian menggunakan kata kunci “PKS” + “LHI”, saya jadi
teringat seruan dari sebuah akun di Kompasiana – yang bersama sekelompok
akun-akun lainnya menamakan diri PKS Lovers – kepada akun-akun lain
untuk terus menulis dan menulis hingga mencapai sejuta artikel. Bahkan
bagi akun baru yang belum bisa menulis, disarankan men-copas saja
tulisan-tulisan dari penulis lain. Nah, apakah seruan/ajakan
agar kader PKS berlomba-lomba menulis sampai sejuta artikel ini tidak
turut berkontribusi menaikkan rating di mesin pencari semacam Google?
Apalagi kalau kita perhatikan, tulisan-tulisan dari akun-akun yang menyebut dirinya PKS Lovers itu rata-rata kemudian dihujani vote oleh komunitas mereka, lalu dalam tempo sekejap sudah di share ke berpuluh-puluh bahkan kadang ratusan akun facebook dan twitter, sehingga jumlah click-nya pun menjadi ribuan. Tak jarang pula tulisan itu di-copy paste ke situs PKS Piyungan. Atau sebaliknya sebuah artikel di PKS Piyungan di-copy paste ke
Kompasiana oleh lebih dari satu akun. Nah, setiap kali duplikasi
tulisan, bukankah itu juga menambah jumlah hasil pencarian di Google?
Sebuah tulisan yang sama persis tapi diunggah/diposting ke lebih dari
satu situs atau lebih dari satu akun, maka otomatis akan menambah jumlah
hasil pencarian. Apalagi kalau kemudian dibagikan ke banyak akun media
sosial semacam facebook dan twitter. Nah, kalau sudah begini, akankah KPK yang disalahkan?
Kalau pengacara LHI menuduh KPK yang menyetir
media massa untuk menuliskan soal PKS dan LHI, bagaimana dengan media
sosial dan media warga? Apakah KPK mampu menyetir jutaan pemilik akun facebook dan twitter serta ratusan pemilik akun di Kompasiana dan media warga lainnya? Apakah
akun-akun PKS Lovers yang terus menerus menulis tentang PKS dan LHI itu
juga didikte KPK? Karena argumen pengacara LHI hanya soal munculnya
sejuta artikel jika melakukan pencarian dengan Google Search. Jadi belum sampai melihat apa isi dari masing-masing artikel hasil pencarian.
Beberapa waktu lalu ada yang menulis di
Kompasiana, bahwa sebenarnya yang kurang cerdas itu akun-akun
pendukung/pembela PKS dan LHI. Sebab mereka lah yang membuat pro-kontra
soal PKS dan LHI ini tidak berhenti. Dengan terus menerus membuat
tulisan berisi puja-puji, sanjungan dan pembelaan, otomatis akan
memancing tulisan bantahan dan reaksi sebaliknya. Padahal, kalau saja
akun-akun itu cukup cerdas memanfaatkan momentum, mereka bisa saja
memanfaatkan issu-issu lain untuk mengalihkan fokus perhatian pembaca.
Seharusnya mereka berhenti menulis tentang PKS dan LHI lalu menulis
tentang issu lain yang saat itu sedang trend. Misalnya issu tentang
penangkapan terduga teroris yang penuh kejanggalan, atau issu
pemberlakuan e-ticketing commuter line dan issu penggusuran PKL
di sekitar stasiun-stasiun KA. Ada juga issu pembagian BLSM yang tak
tepat sasaran, issu pembakaran hutan dan asap, issu permintaan maaf SBY
kepada Malaysia dan Singapura, sampai issu beragam kerusuhan dan bentrok
akibat intoleransi yang kontras dengan penghargaan yang diterima SBY.
Tapi karena kemampuan akun-akun itu dalam hal
menulis yang memang tak seberapa, ditambah dengan wawasan yang tak cukup
luas, referensi mereka hanya situs PKS Piyungan, akhirnya mereka tak
mampu menangkap issu lain yang berseliweran dan mengolahnya menjadi issu
baru sehingga perhatian pembaca tak terfokus pada PKS dan kasus LHI
semata. Sayangnya, ketidak cerdasan dalam mengelola issu ini tidak
mereka sadari dan tidak diakui sebagai kelemahan, ujung-ujungnya hanya
menuduh pihak lain yang menunggangi.
Termasuk tuduhan bahwa KPK yang
mengarahkan media agar menulis demikian, sehingga KPK mendapatkan
pencitraan positif. Kalau itu dilakukan oleh akun-akun tak beridentitas
di media sosial, mungkin tak masalah. Tapi kalau itu dilontarkan oleh
seorang pengacara dari seorang pucuk pimpinan parpol, jadi sangat
menggelikan. Sejuta artikel yang muncul dari pencarian di Google, adalah
indikasi KPK melakukan pencitraan. Padahal, dari sejuta artikel itu
bisa saja ratusan ribu diantaranya tulisan kader/simpatisan PKS sendiri
yang di-share ke ribuan akun media sosial. Inilah pembelaan paling menggelikan yang pernah saya dengar.
Foto ini saya muat untuk menghindari salah duga, dikira yang saya ceritakan Zainuddin Paru.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer