Teman saya pernah berseloroh : apa tanda bulan
puasa sudah dekat? Jawabnya : “di TV sudah ada iklan sirup M****n”.
Memang tak salah joke teman saya itu, sebab iklan sirup itu selalu muncul dengan varian baru menjelang bulan Ramadhan, dengan slogan “Berbukalah dengan yang manis”.
Sebenarnya bukan hanya iklan sirup itu saja yang menggunakan kalimat
tersebut. Produsen teh dalam kemasan botol pun menggunakan slogan itu
khusus untuk versi iklannya di bulan puasa, meski di hari lain di luar
bulan puasa mereka punya slogan khas.
Lalu, benarkah kalimat “Berbukalah dengan yang
manis” itu adalah cuplikan dari hadits yang diucapkan Rasulullah? Jika
benar, siapa perawinya? Ini yang perlu diketahui ummat Islam, agar tak terkelabui oleh slogan produsen makanan dan minuman manis,
seolah itu memang anjuran bagi mereka yang berpuasa.
Sesungguhnya
hadits Rasulullah Muhammad SAW yang terkait dengan buka puasa hanyalah
menyinggung “kurma” dan “air” saja. Seperti dalam hadits yang menyatakan
: “Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka
dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan
air, maka sesungguhnya air itu suci.” Sedangkan kebiasaan Rasulullah apabila berbuka sebagaimana disampaikan oleh Anas bin Malik : “Adalah
Rasulullah berbuka dengan Ruthab (kurma yang lembek) sebelum shalat,
jika tidak terdapat Ruthab, maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma
kering), maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air.” (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud).
Rupanya, kalimat “berbukalah dengan yang manis”
itu adalah kesimpulan/penafsiran yang bersifat simplifikasi dari kurma.
Karena kurma pada umumnya berasa manis, lalu dimaknai keliru bahwa
anjuran Rasul adalah berbuka dengan yang manis. Padahal, setelah
seharian berpuasa lalu begitu berbuka tubuh diserbu dengan makanan dan
minuman manis, itu justru sangat tidak baik. Banyak penjelasan mengenai
hal ini bisa kita cari di internet, salah satunya yang paling populer
adalah tulisan Herry Mardian.
Ketikkan nama itu di Google search
berikut tambahan kalimat kunci “jangan berbuka dengan yang manis”, maka
akan anda temukan banyak sekali tulisannya di-copy paste ke berbagai
blog dan situs. Sebelum cerita soal pengalaman saya sendiri, ada baiknya
saya kutip/sadur sebagian dari tulisan Herry Mardian yang berisi penjelasan ilmiah kenapa berbuka dengan yang manis itu tidak baik, siapa tahu bermanfaat.
BERBUKA PUASA DENGAN YANG MANIS JUSTRU MERUSAK KESEHATAN TUBUH
Yang pertama harus kita pahami adalah soal “indeks glikemik” (glycemic index/GI), yaitu laju perubahan makanan diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin
tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat makanan itu diubah
menjadi gula, sehingga tubuh makin cepat pula menghasilkan respons
insulin. Para praktisi fitness atau penganut gaya hidup sehat
sangat menghindari makanan yang memiliki indeks glikemik tinggi. Sebisa
mungkin mereka mengkonsumsi makanan yang indeks glikemiknya rendah.
Kenapa? Karena makin tinggi respons insulin tubuh, maka tubuh makin menimbun lemak.
Jika setelah perut kosong seharian, lalu
langsung dipasok dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi indeks
glikemiknya), maka respon insulin dalam tubuh langsung melonjak. Dengan
demikian, tubuh akan sangat cepat merespon untuk menimbun lemak. Ketika
berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Jadi, kalau seketika diberi
asupan yang manis-manis, kadar gula darah akan langsung melonjak naik,
sangat tidak sehat.
Bagaimana dengan kurma? Kurma adalah karbohidrat kompleks, bukan gula
(karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks untuk menjadi glikogen,
perlu diproses sehingga perlu waktu. Karbohidrat kompleks seperti kurma
asli, naiknya pelan-pelan. Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak
terlalu manis.
Kurma segar kandungan nutrisinya sangat tinggi tapi kalorinya rendah,
sehingga tidak menggemukkan Perlu diketahui, kurma yang banyak beredar
di pasar-pasar tradisional maupun supermarket di Indonesia saat
Ramadhan, kemungkinan besar adalah “manisan kurma”. Manisan kurma
kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat banyaknya, agar awet dalam
perjalanan ekspornya. Sangat jarang kita menemukan kurma impor yang
masih asli dan belum berupa manisan. Kalaupun ada, sangat mungkin
harganya menjadi sangat mahal.
Selain kurma, nasi – makanan pokok sebagian
besar orang Indonesia – juga karbohidrat kompleks. Akan tetapi glikemiks
indek nasi cukup tinggi. Karena itu perlu diperbanyak porsi sayuran
sebagai penyeimbang.
RESPON INSULIN DALAM TUBUH
Respon insulin tubuh akan meningkat bila :
1. Makin tinggi jumlah
karbohidrat yang dimakan dalam satu porsi, makin tinggi pula respon
insulin tubuh. Umumnya, menu makan orang Indonesia sangat kaya karbo
bahkan menu utamanya karbo, lauknya pun karbo pula. Sebaiknya perbanyak
protein.
2. Semakin tinggi GI (Glycemic Index) dari karbohidrat yang dikonsumsi, semakin meningkat pula respon insulin tubuh.
3. Semakin jarang makan, semakin meningkat respon insulin setiap kali makan.
MENGATUR MAKANAN SAHUR DAN BERBUKA PUASA
Pada saat berpuasa, aktivitas kita di siang hari
tidak berkurang, bahkan aktivitas di malam hari pun bertambah dengan
adanya sholat tarawih berjamaah di luar rumah, mungkin ditambah
tadarusan. Karena itu perlu asupan karbohidrat yang tidak cepat habis.
Karbohidrat kompleks (complex carbohydrate) perlu waktu untuk
diubah menjadi energi. Makanan diproses pelan-pelan dan tenaga diperoleh
sedikit demi sedikit, sehingga kita tidak cepat lapar dan energi
tersedia dalam waktu lama, cukup untuk aktivitas sehari penuh.
Sebaliknya, karbohidrat sederhana (simple carbohydrate) menyediakan energi sangat cepat, tapi akan cepat pula habis, sehingga kita mudah lemas.
Karena itu, menghindari makanan yang
manis-manis (banyak mengandung gula) bukan hanya berlaku saat berbuka
puasa saja, tetapi juga saat makan sahur. Perbanyaklah makan
karbohidrat kompleks dipadu dengan protein. Berikut pengelompokan jenis
makanan berdasarkan type karbohidratnya dan kandungan indeks
glikemiks-nya :
1. Karbohidrat sederhana, GI tinggi
(energi sangat cepat habis, respon insulin tinggi, merangsang
penimbunan lemak) yaitu : sukrosa (gula-gulaan), manisan, minuman ringan
(soft drink), jagung manis, sirup, atau apapun makanan dan minuman yang mengandung banyak gula.
2. Karbohidrat sederhana, GI rendah
(energi cepat, respon insulin rendah, tidak merangsang penimbunan
lemak) yaitu : buah-buahan yang tidak terlalu manis seperti pisang,
apel, pir, dll.
3. Karbohidrat kompleks, GI tinggi (energi pelan-pelan, tapi respon insulinnya tinggi) yaitu: nasi putih, kentang, jagung.
4. Karbohidrat kompleks, GI rendah (energi dilepas pelan-pelan sehingga tahan lama, respon insulin juga rendah) yaitu : gandum, beras merah, umbi-umbian, sayuran.
Yang terbaik untuk makan sahur tentu komposisi yang
mengandung banyak karbohidrat kompleks yang GI-nya rendah. Sehingga
oleh tubuh akan diproses pelan-pelan, kita tidak cepat lapar, energi
dihabiskan cukup untuk aktivitas satu hari penuh dan respon insulin
rendah sehingga tubuh tidak cenderung menabung lemak. Kalaupun harus
makan karbohidrat sederhana karena butuh energi cepat saat berbuka
puasa, maka cari yang nilai GI-nya rendah. Semisal buah pisang dan apel.
PENGALAMAN UNIK SAYA SEPUTAR SAHUR DAN BUKA PUASA
Tahun 2011, saya berkesempatan menjalankan puasa
Ramadhan di tanah suci. Selama di Madinah tak jadi soal karena hotel dan
Masjid Nabawi hanya berjarak 100 meter dan jamaah sholat disana tak
sebanyak di Masjidil Haram. Untuk bisa mendapatkan tempat sholat yang
nyaman dan tak berebutan, kami harus sudah berada di dalam Masjidil
Haram sejak sebelum Ashar. Karena itu saya terbiasa membawa bekal : 1
botol yoghurt, 1 botol jus buah, 1 buah pisang atau beberapa butir
anggur untuk Ibu saya dan sebutir apel untuk saya.
Saat tiba waktu
berbuka, kami minum air zamzam dan makan beberapa butir kurma ajwa
(kurma Rasulullah yang kering, warnanya kehitaman dan ukurannya kecil,
rasanya tak terlalu manis). Setelah sholat maghrib, kami berdua berbagi
yoghurt dan jus (sebotol dibagi dua), lalu makan buah sambil menunggu
saat adzan Isya yang tenggang waktunya cukup lama dibanding jarak antara
Maghrib dan Isya di tanah air. Setelah Isya, dilanjutkan taraweh 23
rakaat yang bacaan suratnya mencapai 1 juz dibaca dengan lantunan yang
tidak terburu-buru. Rata-rata kami baru pulang dari Masjidil Haram jam
23.30 malam dan sampai di penginapan persis tengah malam. Percaya atau
tidak, perut kami sama sekali tak merasa lapar meski aktivitas sholat
cukup lama masih ditambah berjalan kaki sekitar 600 meter ke penginapan,
berdesakan dengan jutaan jamaah di tengah suhu sekitar 47 – 500C meski malam hari. Untuk sahur kami makan nasi dan lauk pauk serta sayur secukupnya.
Pada Ramadhan 2007, saya punya pengalaman unik
makan sahur dan buka puasa dengan pola seperti apa yang diuraikan di
atas. Saat itu sebenarnya saya belum menemukan artikel tulisan Herry
Mardian ini, hanya saja sejak 5 bulan sebelum Ramadhan, saya sudah
membiasakan diri sarapan dengan bubur oatmeal dan makan malam dengan
setangkup roti gandum saja. Akhirnya kebiasaan ini coba saya terapkan di
bulan Ramadhan. Hanya saja, saat tak berpuasa saya makan nasi dan lauk
pauk serta sayuran di siang hari. Di bulan puasa, menu makan siang saya
geser ke buka puasa.
Setiap kali sahur saya hanya makan semangkuk
bubur oatmeal –karbohidrat kompleks yang GI-nya rendah – dicampur madu
dan susu rendah lemak, rendah kalori. Saya campur dulu 3 sendok makan
butiran oatmeal, 2 sendok makan susu bubuk, 1 sendok madu di dalam
mangkuk lalu dituangi air panas dan biarkan tercampur merata, sampai
suhunya tak terlalu panas untuk dikonsumsi. Untuk proteinnya saya
dapatkan dari sebutir telur rebus dan 2 batang sosis sapi (tidak
digoreng). Selama satu bulan saya makan sahur dengan menu seperti ini.
Saya sama sekali tak merasa lapar atau kurang bersemangat dalam
beraktivitas.
Saat tiba waktu maghrib, saya minum segelas air
lalu segera sholat maghrib. Kalau benar-benar terasa lapar, saya hanya
ngemil 1-2 keping biskuit rendah kalori. Setelah sholat maghrib, barulah
saya makan nasi plus lauk pauk dan sayuran dalam porsi secukupnya.
Kemudian berangkat sholat taraweh. Pulang dari taraweh, saya usahakan
tak mengkonsumsi cemilan apapun. Begitu seterusnya selama satu bulan
penuh. Jujur, Ramadhan tahun itu justru saya rasakan paling sehat.
Ramadhan tahun ini saya ingin mengulang pola makan
sahur dan buka puasa seperti 6 tahun yang lalu. Tapi kali ini saya tidak
akan menambahkan susu, cukup oatmeal dicampur sesendok madu saja. Buka
puasa pun insya Allah tak akan menyiapkan takjil yang banyak mengandung
gula. Selamat mencoba, tinggalkan slogan “berbukalah dengan yang manis”!
Abaikan iklan sirup, teh kemasan, air kelapa instant, minuman isotonik,
yang merayu konsumen seolah setelah seharian berpuasa, maka tubuh perlu
asupan ini itu yang kandungannya ada dalam produk yang mereka tawarkan.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer