Terlalu banyak konten bisa menjadi topik tulisan
dahsyat lahir dari negeri ini. Dari berjibun bahan itu, tiga tulisan
sudah saya siapkan pagi ini untuk di-upload. Saya akhirnya menaikkan
ini, tulisan ke-4. Ihwal penyelesaian perang suku dengan berbiaya belasan miliar di Papua. Tiga lain, biarlah esok.
Terbetiklah kabar perang antar suku di Kabupaten Ndunga, Papua. Kasusnya terjadi sejak Mei 2013. Perang memakan tempo empat bulan tiada henti. Ribuan anak panah saliang-silang melayang. Korban tewas 8 orang. Maka pendekatan adat menjadi solusi.
Lantas
upacara perdamaian digelar di Lapangan Jilekma, Distrik Napua, Kabupaten
Jawawijaya, Minggu, 14 Juli 2013, kemarin. Tak cukup hanya urusan bakar
batu rupanya. Belasan miliar rupiah pun digelar di atas meja di sebuah
lapangan.
Bagi mereka
belum pernah melihat lembaran Rp 1 miliar cash, di hari itu, bisa
menyimak langsung. Uang lembaran kertas licin berbau duit baru jreng,
dalam ikatan per Rp 10 juta dililit benang per Rp 100 juta.
Masing-masing gepokan Rp 100
juta, disusun ke dalam plastik bening licin, persis bak keluar dari Bank
Indonesia. Masing-masing 10 ikatan. Satu plastik bila dipikul dari pinggang melebihi bahu orang dewasa tingginya. Sekantung platik Rp 1 miliar. Maka melalui Timeline di Twitter, sahabat @_Fadly , memasang Avatar adegan warga Papua memikul uang sepalatik itu.
Jumlah kantungan uang di plastik itu mencapaik 18 tumpuk, atau Rp 18 miliar, bersumber dari APBD.
Di Minggu langit membiru kemarin
itu tampak hadir Bupati Ndunga Yairus Gwijangge, mewakili kelompok
bawah dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Ndunga Eliaser Tabuni, mewakili
kelompok atas. Dua kubu itu berperang empat bulan. Pejabat lain tampak Kapolres, Dandim, tokoh masyarakat, dan kepala perang kedua suku.
Perwakilan
kelompok atas, Elieser Tabuni, meminta kedua kelompok harus meninggalkan
kebiasan perang antar suku. “Ke depan rakyat Ndunga tidak boleh ada
lagi perang dan pertikaian. Ke depan rakyat Ndunga harus siap berdialog
dan musyawarah,” ujarnya.
Pertikaian
antar dua suku ini dipicu atas tewasnya Eka Tabuni, anggota DPRD
Kabupaten Ndunga, Papua, setelah dianiaya tiga orang pelaku dari
masyarakat Mafunduma, Rabu, 29 Mei 2013. Motif para pelaku menganiaya
hingga tewas korbannya karena Eka diduga pelaku pembunuhan salah seorang
kerabat pelaku yang bekerja sebagai Kabag Umum di Kabupaten Wamena.
Di balik kasus ini, saya pernah memverifikasi kasus hilang 17 orang di boat yang berlayar ke Mamberamo. Konon di dalam boat yang itu ada uang cash Rp 8 miliar. Hingga kini verifikasi saya belum selesai.
Terlalu banyak hal yang masih tertutupi.
Kini menyimak lagi ihwal uang cash di Papua. Sebagai “mahar” perang suku.
Setelah
sebelumnya saya mendengar ada kisah - - entah benar atau tidak - -
pejabat Bupati tidak membangun jembatan, tetapi memanggil saja warga,
lalu uang pembangunan jembatan dibagikan saja tunai.
Yang pasti Papua kian hari kian unik saja.
Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di
daerah itu konon 800 ribu adalah nama-anam orang saja, alias “hantu”.
Manusia riil-nya taka ada. Kuat sekali dugaan, mereka yang mampu menjadi
Gubernur di Papua, adalah sosok yang bisa membeli suara 800 ribu itu.
Hal ini pernah saya sampaikan ke kawan-kawan di Bawaslu, Badan Pengawas
Pemilu.
Senin pagi ini dua kenalan pensiunan
jenderal TNI, sengaja menelopon. Ia ingin mengkonfirmasi, ihwal kalimat
Presiden SBY yang sudah menyebar di Australia. Kata-kata yang menyebar
itu: SBY mempersilakan Papua Medeka setelah 2014. Saya tak tahu apakah
kalimat ini benar, karena saya belum mengkonfirmasi ke SBY langsung.
Dari Rp 8
miliar yang raib bersama 17 orang di Papua yang hingga kini belum tuntas
saya verfikasi, plus 800 ribu orang siluman di DPT pemilih di Papua,
dan kemarin soal Rp 18 miliar sebagai penyelesaian perang suku, saya kok
melihat Papua memang sedang menghadapi masalah besar di sisi keinsanan.
Sisi kemuliaan manusia di sana sudah bertukar dengan lembaran kertas
yang dicetak dan diberi angka-angka.
Saya tentu menghargai sekali hukum adat Papua.
Namun dari paparan saya di atas, kuat sekali dugaan saya bahwa Papua kini telah “dihancurkan” sisi keinsananya.
Lain tidak.
Solusinya
tiada lain, lahirnya pemimpin, presiden yang memuliakan ketulusan,
memuliakan keinsanan, menempatkan sisi keinsanan di atas kebendaan.
Adakah?
Catatan Iwan Piliang