Maju kembalinya kepala daerah yang
masih menjabat (incumbent/petahana)
dalam pemilihan kepala daerah, merupakan hak politik yangbersangkutan sebagai
warga negara. Sistem demokrasi memberi hak sama kepada warga negara dalam
menggunakan haknya tersebut. Kepala daerah/wakil kepala daerah yang sedang
menjabat, sepanjang tidak menyalahi peraturan perundang-undangan, berhak maju
kembali dalam Pilkada. Tidak ada ketentuan yang melarang kepala daerah yang
masih menjabat untuk maju lagi dalam Pilkada.
Hal ini dijamin oleh
Undang-Undang. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 110 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali
masa jabatan”.
Namun yang perlu dikhawatirkan adalah majunya sang petahana berpotensi
melahirkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Kenapa? Karena kekuasaan yang
masih melekat pada diri sang incumbent bisa saja digunakan untuk kepentingan
pemenangan Pilkada yang akan diikutinya kembali.
Banyak peluang
dan cara yang dimanfaatkan sang petahana untuk menggunakan kekuasaan yang dimilikinya
untuk kepentingan pemenangan Pilkada, baik secara halus, terselubung ataupun
terang-terangan. Beberapa cara yang jamak dilakukan incumbent diantaranya :
1. Pemasangan baliho yang berisi anjuran atau
program pemerintah daerah dengan mencantumkan gambar incumbent. Biaya yang
digunakan untuk pembuatan baliho tersebut diambilkan dari APBD (biasanya anggaran
SKPD pembuat himbauan/program).
2. Hampir mirip dengan point 1 diatas, melalui berita
yang dimuat di media massa mengenai daerah atau keberhasilan daerah yang
dipimpin oleh sang Petahana. Berita ini
disertai dengan foto-foto sang incumbent. Dihari-hari biasa intensitas
atau fotonya tidak terlalu besar. Tapi kalau menjelang Pilkada intensitasnya
akan meningkat dan fotonya pun diperbanyak dan diperbesar. Secara tidak
langsung dapat berfungsi sebagai iklan gratis dalam menaikkan tingkat
popularitas incumbent.
3. Memanfaatkan program Pemerintah Daerah untuk
kepentingan pemenangan pemilu dengan menyalurkan bantuan dan program sosial, hibah
pada masyarakat serta membuat program populis menjelang pemilihan.
4. Mobilisasi aparatur birokrasi (PNS). Partisipasi
aktif aparatur birokrasi seperti Kepala Dinas, Camat, Lurah dan PNS untuk pemenangan
calon tertentu. Biasanya ini dilakukan menjelang dan pada saat dilaksanakannya
Pilkada. Bahkan tidak hanya mobilisasi secara fisik tapi sampai kongkalingkong
pencairan uang negara dengan berbagai modus untuk disetorkan kepada calon
incumbent.
5. Modus gerak jalan santai, Senam Pagi, Funbike,
Pelantikan Ormas dan Organisasi Kepemudaan disertai dengan pembagian kaos atau
atribut bergambar kepala daerah yang sedang menjabat.
Itulah beberapa diantara penyalahgunaan kekuasaan
yang biasanya dilakukan oleh incumbent/petahana. Secara
garis besar penyalahgunaan kekuasaaan tersebut bisa dikategorikan sebagai
penyalahgunaan fasilitas, finansial dan pengaruh.
Pilkada sebagai sebuah pertarungan
harusnya berjalan fair dan adil. Setiap calon/kandidat harus mempunyai
kesempatan yang sama. Tetapi posisi sebagai incumbent memiliki kesempatan lebih
dibandingkan calon non-incumbent. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan oleh Incumbent ini, sebenarnya telah diatur dalam Pasal 58 huruf q UU No 12 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, yaitu dengan mewajibkan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
masih menduduki jabatannya untuk mengundurkan diri sejak pendaftaran. Namun,
pasal yang mengatur tentang hal itu diajukan Judicial review
oleh incumbent Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. saat hendak mencalon kembali
menjadi gubernur.
MK membatalkan pasal 58 huruf q UU No. 12/2008 tentang
Perubahan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Karena itu, incumbent
tidak perlu mundur secara permanen dari jabatannya apabila akan mencalonkan
diri kembali sebagai kepala daerah tapi hanya mengajukan cuti. Hal ini
tentu sangat disayangkan. Padahal dengan mundurnya sang petahana mulai pada
saat pendaftaran, akan meminimalisir penyalahgunaan kekuasaan karena menjauhkan
sang calon dengan pusat dan akses kekuasaan. Prinsip fairness sulit dijaga jika kepala daerah yang masih menjabat hanya
cuti pada masa kampanye saja.
Dengan cuti, masih ada ruang-ruang yang masih
terbuka untuk melakukan konsolidasi kekuasaan yang dimiliki. Harus ada asas
keadilan bagi calon yang ingin maju dalam pilkada. Ke depan aturan tentang
harus mundurnya incumbent tentu harus di dorong agar terjadi kesetaraan
diantara kandidat yang akan bertarung dalam Pilkada. Begitupun ke depan harus
ada aturan yang jelas dan tegas terkait pelarangan penggunaan uang negara oleh
kepala daerah yang sedang menjabat untuk Pilkada.
Maka dari itu diperlukan pengawasan dari
berbagai pihak terhadap hal ini. Panwaslu sebagai lembaga formal dalam
pengawasam pemilu harus jeli dan harus inovatif dalam melakukan pengawasan.
Begitupun peran serta masyarakat, sangat diperlukan untuk ikut aktif dalam
melakukan pengawasan terhadap kecurangan-kecurangan dalam Pilkada serta harus
cerdas dalam menilai fenomena politik yang terjadi. Peran media juga tidak
kalah pentingnya dalam melakukan pengawasan dan memberikan pendidikan politik
kepada masyarakat.
Bagi sang petahana, waktu 5 (lima) tahun
harusnya lebih dari cukup untuk mengambil simpati rakyat. Bilamana pandai
memanfaatkan waktu tersebut untuk mewujudkan berbagai program pro rakyat,
peluang untuk meraih kemenagan terbuka lebar tanpa harus melakukan cara-cara
curang. Tapi jika tidak, sebagaimana banyak diberitakan, betapa banyak mantan
kepala daerah (incumbent) berakhir ke jeruji besi akibat terjerat kasus-kasus
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Bagaimana dengan Pilkada Kota Pariaman yang
suhunya sekarang sudah mulai panas-dingin? Silahkan pembaca nilai sendiri.
Salam... Freedom Writer