Bagai pasir isap, demokrasi hari ini telah menenggelamkan aktor-aktor politik penting di Indonesia. Status sebagai tersangka kasus korupsi, termasuk kasus penyuapan, menghuni halaman-halaman media massa. Jumlah dana yang dikorup tentu berkali-kali lipat dari income per kapita rakyat Indonesia. Ironisnya, kalangan yang terkena kasus itu bukan hanya kelompok intelektual berstatus politikus, bahkan juga kalangan lain seperti agamawan dan pengusaha. Tiga kelompok itu selama ini justru dianggap sebagai pihak yang berjarak dengan penguasa. Masalahnya, kini kelompok itu menjadi bagian dari penguasa atau penguasa itu sendiri.
Terlepas dari perdebatan hukum menyangkut substansi kasusnya, terlihat sekali Indonesia mengalami krisis kepemimpinan. Krisis terjadi akibat kurangnya pengalaman dan pengetahuan akan demokrasi. Yang terjadi adalah ketiba-tibaan, ketika sejumlah orang dengan posisi sosial dan ekonomi yang baik, dengan mudah bisa masuk tangga kekuasaan atas nama politik. Demokrasi membuka pintu bagi siapa pun, asal sanggup meraih peluang yang ada melalui mekanisme yang sudah ditetapkan. Ketokohan yang baik bisa menjadi magnet bagi posisi-posisi penting.
Hanya saja, jangan lupa, rumah demokrasi yang hiruk pikuk dan terbuka itu juga berisi ranjau-ranjau yang bisa meledakkan diri sendiri. Demokrasi bukanlah rumah para malaikat, melainkan juga menghadirkan para pencoleng dalam pengaruh para iblis. Sejak awal hal ini sudah diingatkan oleh para filsuf politik. Kewaspadaan menjadi penting, sekalipun ambisi seolah tidak bisa dilawan. Sikap merunduk ke bumi, di atas tahta yang tinggi, jadi cara untuk menghindari jebakan-jebakan politik, yang kerennya disebut sebagai konspirasi.
Disusunnya hukum-hukum modern, pengganti atau tambahan dari hukum-hukum lama menjadi batu sandungan bagi politikus yang tidak hati-hati atau memang ambisius. Bisa jadi tidak ada niat untuk melakukan korupsi. Tetapi, posisi seseorang yang sentral dan berpengaruh, apabila disalahgunakan, dengan sendirinya menyeretnya ke pintu penjara. Hukum bukan hanya sekadar kertas tertulis, politik juga bukan kata-kata dalam pidato resmi. Untuk Indonesia hari ini, sebagian besar pertunjukan politik bukan dilakukan secara tertulis, melainkan lisan dan lewat kode rahasia.
Yang lain? Politikus sekarang hidup dengan persediaan anggaran yang cukup, tidak hanya dari negara, tetapi juga pihak-pihak yang mencari keuntungan berdasarkan kebijakan negara yang notabene dijalankan oleh politikus. Ini yang membedakan dengan politikus awal kemerdekaan. Mayoritas pendiri bangsa mendapatkan anggaran dari para filantropis awal, yakni para pedagang pribumi. Anggaran pendidikan mereka peroleh dari perkumpulan pemberi beasiswa, baik di kalangan kaum liberal Belanda maupun keluarga dekat. Keterbatasan anggaran tidak membuat mereka kehilangan daya pikir.
Korupsi lahir dari ketidakmampuan menjaga keseimbangan antara seorang politikus yang memiliki tanggung jawab besar sebagai negarawan, dengan keinginan bermewah-mewah untuk menunjukkan besarnya kekuasaan yang dipegang. Antara apa yang diberikan dan apa yang diperoleh menjadi hukum ekonomi dasar, supply and demand. Upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan akhirnya bersandar pada kekuatan uang, bukan lagi kekuatan moral, intelektual dan etika.
Demokrasi pun secara perlahan mengalami pembajakan, pengorupsian. Tak mengherankan kalau membawa akibat sampingan yang buruk, ketidakpercayaan akan demokrasi. Begitulah.
Catatan Indra Jaya Piliang : Calon Walikota Pariaman