Angek tadah daripado cawan.
Sebuah ungkapan atau pepatah Minang, yang cocok untuk menggambarkan situasi
yang ditulis Oyong Liza Piliang dalam artikelnya yang berjudul “Gara-gara Baliho Jilid II. Apakabar perangkat
desa?” terkait mulai meningkatnya
suhu atau tensi politik menjelang Pilkada Kota Pariaman. Ungkapan tersebut langsung
terlintas dalam pikiran saya ketika membaca postingan yang dimuat pada Super
Koran Pariaman News ini.
Si
calon kepala daerah itu sendiri mungkin biasa-biasa saja, bahkan bisa saling
bertegur sapa atau bahkan berdiskusi. Tapi justru pengikutnya yang dibawah yang
lebih ”panas”. Urang nan ka duduak, awak
nan bacakak. Setelah terpilih, lun
tantu awak ka disaponyo. Bahkan kenal saja tidak. Lalu, manga pulo awak nan basitegang.
Itulah
salah satu ekses negatif Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung yaitu
timbulnya konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat, akibat belum siapnya
masyarakat menjalankan proses demokrasi dengan baik serta kurangya kedewasaan dalam menyikapi situasi politik
yang berkembang dan menghormati pilihan orang lain.
Dikarenakan
perbedaan dukungan serta akibat mengedepankan emosional timbulah
gesekan-gesekan diantara masyarakat. Bahkan ekstrimnya adik-kakak,
mamak-kemenakan, kalau tidak bepandai-pandai, bisa tidak bertegur sapa akibat
dukung-mendukung calon kepala daerah ini.
Maka
dari itu masyarakat harus cerdas menilai dan menyikapi situasi politik yang
berkembang. Jangan terpancing dan terpecah belah oleh kepentingan sesa’at. Jauhkan
diri dari fanatisme sempit dan harus
tetap mengedepankan akal sehat.
Begitupun
aparatur/perangkat desa, selain harus menjaga netralitasnya, seharusnya dapat memberikan
pencerahan dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi di kalangan anggota
masyarakatnya, bukannya justru tungkek nan
mambaok rabah.
Pariaman Freedom Writers