Awalnya saya tidak mengenal sosok Jokowi, kini Gubernur DKI. Saya terlebih dahulu tahu produk dagangannya di sebuah pameran di Global Village, Dubai, penghujung 2009. Di stand Indonesia, kala itu kalah ukuran dibanding stand pameran Ruwanda, Afrika. Di dalam stand Indonesia tak banyak produk itu, saya merasa masih ada keindonesiaan: ada rumah kayu produksi perusahaan Jokowi laris manis. Satu unit US $ 176 ribu, satu kamar tidur lengkap berdapur berkamar mandi.
Saat itu saya tak tahu siapa Jokowi. Adalah Staf Kedutaan RI menjelaskan, Jokowi itu Walikota Solo. Baru tahu saya.
Pertemuan pertama saya dengan sosok Jokowi pada Oktober 2009. Di suatu malam, Tvone mencemplungkan Jokowi ke dalam acara di mana saya sudah duluan live. Kami membahas topik korupsi dan kepemimpinan.
Saya langsung menunjukkan jempol ke arah kanan,
di mana Jokowi duduk berbaju putih bercelana hitam. Saya sampaikan ke
pemirsa: Nah kalau mau jadi pejabat, contoh ini, paling tidak sudah
punya US $ 5 juta, baru jadi pejabat, baru melayani warga.
Jokowi dengan tawa khasnya, “Bisa saja. He he he he”
Dari pertemuan pertama itu, banyak perjumpaan tak terduga saya dengan Jokowi. Umumnya sudah saya tulis di blog. Sisi humanis Jokowi, antara lain saya menulis Jokowi Ditipu Kukang. Dalam
catatan saya, deretan pertemuan dan memiliki momentum, di saat esok
mobil Esemka hendak diperkenalkan resmi ke publik Solo, 2 Januari 2012,
malam harinya, saya menjajal di pelataran rumah dinas Walikota Solo.
Seterusnya saya menulis bagaimana sosok Jokowi itu bersahaja, kami makan mie di pinggir jalan.
Di saat mobil Esemka dibawa untuk diuji emisi pertama kali ke Jakarta, saya turut bersama rombongan wartawan dari
Solo hingga ke Puspitek, Serpong, Tangerang. Sauya ingat kala itu, Roy
Suryo, kini Menpora, ikut menyetir sang Esemka ke Jakarta.
Melompat ke momentum lain. Pada suatu malam, di hotel Bidakara menjelang Pilkada DKI, Jakarta. Di samping saya ada Ganang Soedirman, Malam
itu Jokowi ke rumah Deddy Mizwar. Kami menunggu. Menjelang tengah malam
Jokowi kembali, dan mengabarkan bahwa Dedy berkenan menjadi wakilnya.
Bahwa kenyatan hari ini wakilnya Ahok, sebuah kisah tersendiri harus
diverifikasi mengapa terjadi?
Fenomenon berikutnya, ketika berkesempatan menemani Jokowi ke KPUD DKI, Jakarta. Saya bukan orang partai. Juga tidak ada di-list tim sukses Jokowi.
Namun alam dan rasa kedekatan, membuat seorang sahabat di PDIP, Effendi
Simbolon berkali-kali menelepon. “Ayuk ke KPUD, antar Jokowi,” ujarnya.
Simbolon seusia saya, kami satu almamater di SMA 3 Jakarta dulu,
sama-sama kelahiran 1964.
Apa lacur, saya menjadi satu dari dari enam orang yang duduk di barisan depan KPUD DKI di saat Jokowi-Ahok menyerahkan pendaftaran. Saya merasa kikuk sendiri ada di situ. Mengapa bisa? Kerumunan wartawan, dan warga telah
membuat badan terjepit, kami saling berangkulan. Saya terdorong, serta
merapat otomatis ke Simbolon, Jokowi, Ahok. Sementara Ketua DPD Gerindra
dan PDIP DKI sudah duduk duluan. Kursi tinggal 4, pas untuk kami
berempat.
Turun dari ruang KPUD. Kerumunan wartawan mendorong membuat tulang
rusuk tergencet seakan mau patah, menahan dorong-dorongan wartawan.
Tiba di bawah baju putih saya dan Simbolon bersimbah basah. Simbolon mengatakan, “Tadi kami naik Kopaja, sekarang kita pulang naik taksi.”
Dalam logika saya, usai jam kantor mencari taksi sulit. Apalagi untuk rombongan, butuh sekitar 10 taksi lebih. Pastilah lama. Saya nyeletuk : Kita jalan kaki saja sampai Bundaran HI. Jokowi tampak bersemangat menjawab, “Ayuk!”
Bagi saya di sinilah letak Capres
Direstui Alam itu. Ini kisah nyatanya: Selama berjalan kaki Jokowi
ramai dikerubuti anak-anak, tukang ojek dan warga biasa yang pulang
kantor. Di depan Sarinah, Jl. Thamrin, Jakarta Pusat, Jokowi bertanya, “Momen sambuatan kayak gini seperti 1999, momen Bu Megawati ya Mas? Nah kalau saya seperti ini tanda-tanda apa?”
Saya menjawab dengan 6 kata spontan, tanpa pikir: Bapak Gubernur, Bapak Gubernur, Bapak Presiden!
Di bundaran HI, Simbolon di tengah kerumunan,
berisik kota, gemericik air mancur bundaran HI, meminta saya memimpin
doa. Tiada pula Toa dan pengeras suara. Kata doa mengalir cair dari
mulut saya: Jadikan sahabat kami Jokowi Gubernur di DKI yang hanya
selangkah di dahulukan dari warga, memuliakan keinsananan menempatkan
intangible asset di atas kebendaan. Aamiin.
Di tengah gemuruh Pilkada DKI, satu dua konten, image,
animasi tentang falsafah kotak-kotak kami buatkan. Menjelaang hari H
Pilkada saya amati banyak sekali yang mendekati Jokowi. Saya menjaga
jarak. Konten dan image dukungan tetap saya sosialisasikan.
Tepat pada 5 Oktober 2012, setahun setelah perjumpaan di Tvone, saya di
Solo. Kala itu kami satu pesawat pagi ke Jakarta bersama Jokowi. Ia
sudah terpilih Gubernur DKI. Saya kritik Jokowi ketika berkampanye
pernah mengatakan dijepit gajah-gajah kiri-kanan, agar jangan ia mengatakan hal itu. Jokowi menjawab berdiplomasi.
Di momen itu saya nyeletuk, apakah sudah ada
agenda tanggal 25 Oktober? Jokowi menjawab, “Sudah mulai banyak undanagn
dari mana-mana.” Saya katakan saya mau Pak Jokowi tampil bicara di
Cilangkap, Pentagonnya Indonesia. Saya nyelutuk tanpa rencana, sok yakin
akan diizinkan Panglima TNI. Maka pada 15 Oktober 2012 ia dilantik
Gubernur. Beberapa kawan lucu juga meminta undangan untuk bisa hadir di
pelantikannya. Saya sama sekali tak berminat di acara seremoni seperti
itu. Dan syahdan, kisah 25 Oktober itu pun kejadian.
Bisa disimak dilihat di link https://www.youtube.com/watch?v=VR1e_WM1rwY
Melompat ke cerita terbaru ihwal behind the scene Gestur Tvone Kamis
malam 2 pekan silam. Ketika saya ke Balai kota DKI, tiga hari
sebelumnya, menyampaikan kegiatan yang kami inisiasi ihwal Bangun Gotong
Royong Jakarta (BangRoJak). Kala itu ada titipan surat undangan dari
Tvone kepada saya agar Jokowi tampil di Gestur. Jokowi menjawab, “Saya
malas kalau harus di studio.”
Saya jawab cocok.
Lalu saya usul untuk tampil dari pasar bau saja. Maka pilihan jatuh ke Pasar Rumput. Dan Kamis malam itu kejadianlah Jokwi tampil di Gestur Tvone. Maka di luar yang tak disorot kamera, saya merasakan tajam kaki ini kapalan diinjak ribuan anak-anak kecil berdesakkan ingin bersalaman dengan Jokowi. Mereka berteriak, “Jokowi, Jokowi.” Tanpa mengawali dengan kata Pak atau Bapak.
Lantas, Jumat paginya pukul 07.30 Jokowi sudah berada di bilangan Kebun Jahe Kober, Jakarta Pusat. Sepekan
sebelumnya kami sudah memulai kegiatan BangRoJak, membersihkan got,
mengalirkan airnya. Dengan teknologi dan gotong royong kawan-kawan
peduli, kami ingin got tidak bau. Kami pun menemui banyak warga berumah 2
x 3 meter seperti Sarman, dan 3 KK-nya. Mereka serumah tidur aplusan. Dan
selama hayat selama ini, lingkungan padat dan kumuh itu tidak pernah
dijenguk Walikota yang jaraknya hanya setarikan karet gelang dari kantor
Walikota Jakarta Pusat.
Pagi itu, Walikota Jakarta Pusat mengaku ia mewakili Gubernur DKI, sesuai disposisi surat yang ia terima. Namun
setelah melihat Jokowi tampil, Walikota pun berjanji membuat aliran got
baru ke kali - - saat ini sudah dikerjakan. Dan diharapkan Jumat pekan ini jokowi ke lokasi lagi, akan menyimak perubahan lingkungan setelah Bangrojak. Tiga hari lalu kami amati rumah Sarman bak kardus kumuh itu, sudah mulai dibedah.
Maka atas paparan di atas, saya beranikan diri mengatakan bahwa Jokowi adalah Capres Memuliakan Keinsanan, Diretsuai Alam untuk 2014. Semalam saya membuat kultwit di Twitter dengan hastag #presidendirestuialam, bisa juga dibuka di chirpstory.com/li/83286
Menjadi pertanyaan selalu bagi kawan-kawan jurnalis, kok sebagai citizen journalist saya berpihak?
Di elemen ke-9 Elemen Jurnalisme di
buku Bill Kovach dan Tom Rosentiel, disebutkan jurnalis diperkenankan
mengikuti hati nurani personalnya. Dan dari lubuk hati nurani personal,
itulah adanya. Apatah pula seperak pun saya tak pernah menerima
pembayaeran dari Jokwi. Di mana salahnya? Dan di setiap kegiatan yang kami buat untuk Jokowi, kami seakan spontan saja mendapat energi.
Maka usai acara di Cilangkap, 25 Oktober 2012, ada dua jenderal bertanya, “Mas Iwan sipil, Jokowi sipil kok bisa bikin acara di sini, kami saja kadang sewa hotel?” Satunya lagi bertanya, “Kok bisa Mas Iwan mendatangkan Jokowi ke mari?”
Saya mau jawab apa, acaranya sudah berlangsung.
Yang pasti harus saya akui kalau
saya suka dengan konsistensi Jokowi. Seperti di Gestur Tvone, saya
cermati sepatu Jokowi masih sama dengan yang dia pakai ke Cilangkap di
Oktober itu. Saya sangat ingat karena sepatu yang sama itu dibuka Jokowi
di depan saya ketika ia hendak mengambil air wudhu, sebelum memulai
acara di Cilangkap itu.
Maka saya sangat yakin perubahan hanya bisa dilakukan seorang pemimpin, jika yang bersangkutan masih mencium
bau keringat rakyat kebanyakan. Pemimpin yang demikian menurut saya
mampu membawa perubahan bagi kita kembali berdaulat di bidang politik,
berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya.
Iwan Piliang, Citizen Reporter