Ketika masih aktif sebagai peneliti dan analis, saya beberapa kali terlibat sebagai staf ahli penyusunan naskah akademik sebuah undang-undang di Kementerian Dalam Negeri. Saya juga pernah menjadi staf ahli di Dewan Perwakilan Daerah. Bahkan saya juga ikut menjadi saksi ahli dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi menyangkut masalah-masalah daerah. Di luar itu, saya ikut merancang kurikulum pendidikan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), termasuk menjadi pemateri pelatihan bagi kalangan pejabat sipil dan militer.
Tentu beragam pengalaman dan pengetahuan itu banyak berguna bagi saya, terutama dalam melihat Kota Pariaman di masa lalu, hari ini dan di masa depan. Ibarat membuat sebuah potret atau lukisan, Kota Pariaman adalah lanskap yang bisa dibuat putih bersih tanpa ada apapun. Tetapi, jauh lebih baik Kota Pariaman dilihat sebagai sebuah titik atau garisan, lalu dibingkai menjadi sesuatu yang menarik, sebagaimana dulu Pak Tino Siddin mengajarkan menggambar di stasiun TVRI.
Begitulah saya melihat Kota Pariaman hari ini. Kalau ada orang yang tiba-tiba turun di Bandara Internasional Minangkabau (BIM), lalu menelusuri jalanan, sedikit sekali yang tahu dimana letak Kota Pariaman dan bagaimana cara mencapainya. Ke depan, saya membayangkan ada petunjuk arah berupa papan reklame di BIM yang dilengkapi dengan hitungan KM atau bahkan jam untuk mencapai Kota Pariaman. Petunjuk arah itu ada di sepanjang jalan, disebarkan di jalan-jalan utama di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau dan Jambi. Kalau perlu, pemerintah daerah menyewa loket khusu di BIM, dimana terdapat Cik Unian dan Cik Ajo Kota Pariaman memberikan leaflet kepada para penumpang pesawat yang turun. Mereka dilengkapi dengan kemampuan bahasa Inggris atau Arab.
Apa yang diisi ke dalam leaflet itu? Ya, tentang satu Kota Pariaman, tetapi 71 tujuan. Sopir taksi, sopir pribadi, sampai petugas-petugas pelayanan lainnya, di dalam kepalanya hafal ke 71 tujuan itu. Sehingga, ketika seorang penumpang duduk di dalam taksi atau mobil sewaan, cukup mengatakan : “Saya mau makan enak di Pantai Pariaman.” Kalaupun penumpang itu tertidur, sang sopir sudah mengantarkan ke lokasi yang diinginkan.
Kenapa 71? Karena Kota Pariaman memiliki 71 desa atau kelurahan. Di dalam pikiran saya, masing-masing desa atau kelurahan itu perlu memiliki kekhasan. Satu desa, satu produk. Produk dalam artian ekonomi, kesenian, budaya ataupun tempat-tempat strategis. Saya ingat pengalaman mengunjungi negara Tiongkok. Di sana, terdapat satu desa yang khusus menanam jeruk. Sepanjang mata memandang, hanya ada jeruk dan jeruk. Di sebelahnya, terdapat desa yang khusus menanam teh, dengan beragam macam harga dan bentuk. Bahkan, patung pembuat teh terenak dibuat, begitu juga lukisan mitologis tentang kegunaan teh yang ada di dinding rumah.
Bukan hanya Tiongkok, juga Thailand. Ketika saya berkunjung ke Thailand Selatan, di perbatasan dengan Malaysia, semua buah-buahan yang hendak diekspor ukurannya besar. Kita mengenalnya dengan sebutan durian Bangkok, pisang Bangkok. Yang serba Bangkok (Thailand) artinya yang serba besar. Di Malaysia, saya melihat lahan-lahan hijau yang sepenuhnya ditanami dengan sawit atau tanaman lainnya. Pindah ke Indonesia, saya menyaksikan kerusakan alam, tanah-tanah coklat, karena yang dikeluarkan dari tanah adalah mineral, bukan ditanami dengan buah-buahan atau palawija.
Kota Pariaman memang kecil, tetapi potensi yang dimiliki sangatlah besar. Mari kita daftar. Pasar Nasi Sek yang murah dan meriah terdapar di Desa Pasie Sunue. Desa Marunggi menyimpan lokasi peternakan bebek luar biasa yang bahkan para peternaknya datang dari Kabupaten Pesisir Selatan. Jati lebih dikenal sebagai terminal, sebaliknya di Desa Koto Marapak, terdapat kebun pohon jati dan pabrik bumbu dapur. Di Desa Cubadak Aie, Cubadak Aie Utara dan Cubadak Mentawai, jarang terdapat pohon cubadak, apalagi cubadak Mentawai yang terkenal harum dan manis itu. Di Desa Sungai Rambai dan Desa Rambai, hampir tidak ada lagi pohon rambai yang asam manis, namun penuh dengan gizi itu.
Yang paling memprihatinkan buat saya adalah perburuan tupai di Desa Tungkal Utara dan Desa Tungkal Selatan. Tupai itu diambil dan dijadikan sebagai makanan bagi ikan lele dumbo. Padahal, jauh lebih baik kalau tupai itu dikasih formalin, minimal harganya naik, kalau memang tupai sudah jadi hama. Saya tidak tahu potensi kerusakan akibat hama tupai. Namun yang paling jelas, tupai adalah mahkluk yang mulai langka, terutama di Pulau Jawa. Dibandingkan dengan tikus, hama tupai lebih bersih dan belum dikenal sebagai pembawa penyakit menular.
Banyak lokasi di masing-masing desa atau kelurahan yang bisa dijadikan tujuan bagi siapapun. Misalnya, seni membuat ukiran atau bahkan maskot seperti perahu Kota Pariaman. Juga lokasi rumah-rumah lama peninggalan Belanda atau lubang Jepang. Masing-masing lokasi dinaikkan statusnya sebagai ikon atau simbol atau identitas desa atau kelurahan itu. Boleh saja ada ikon lain, tetapi untuk menunjukkan bahwa Kota Pariaman memang memiliki banyak sekali keunikan, mau tidak mau ikon masing-masing desa atau kelurahan itu diperbanyak. Mumpung Pariaman belum ramai dan padat penduduk. Mumpung segala sesuatunya masih bisa ditata dengan lebih baik lagi.
Desa Rawang, misalnya, kini tidak ada lagi jejak rawanya. Kelurahan Jawi-Jawi sama sekali tidak lagi memiliki pohon Jawi-Jawi. Pohon seri malah semakin hilang, padahal manis buahnya dan baik jadi asupan makanan bagi anak-anak kecil. Pohon tebu yang dulu jadi tanaman di sekitar rumah, semakin hilang. Apakah ada di daerah lain? Ada. Tinggal ditanami kembali, dilestarikan, diperbanyak di masing-masing desa atau kelurahan, lalu menjadi ciri khas.
Saya yakin, kalau ada ikhtiar dari seluruh warga desa atau kelurahan, bayangan ini tentulah bukan impian. Tanaman sagu, misalnya, bisa dijadikan primadona, termasuk dalam bentuk lamang sagu, ompong sagu, papeda kata orang Papua, sinonggi atau kapurung bagi orang Sulawesi. Makanan ini memiliki kandungan karbohidrat tinggi, gampang dicerna oleh usus, sama nilainya dengan ubi, talas atau bahkan beras.
Satu Pariaman, 71 tujuan. Dari kuliner, sampai budaya, dari cubadak sampai tapai. Iko Jaleh Piaman!
Catatan Indra Jaya Piliang, Calon Walikota Pariaman