Realita
politik Indonesia saat ini saling menghancurkan seperti legenda kutukan Mpu
Gandring kepada Ken Anggrok dan keturunannya. Kisah kehancuran para pemimpin
kita dimasa lalu dan era Indonesia modern seharusnya dapat menyadarkan kita dan
mendorong untuk tidak mengulanginya. Namun kita memang bangsa pelupa dan senang
mengulangi kesalahan yang sama. Politik menjadi ranah privat oligarki kekuasaan
untuk saling menegosiasikan kepentingan sendiri, kelompok dan golongan. Politik
yang memiliki virtue atau keutamaan bagi kemaslahatan orang banyak, lalu
direduksi sekadar manajemen kepentingan yang mengikuti hukum pasar semata.
Politik
dan etika seakan-akan dua domain terpisah. Etika cuma ada di ruang-ruang
akademik yang tidak relevan dengan realitas politik, sementara politik segala
cara bisa dilakukan. Pemaknaan seperti itu tidak aneh, kemudian politik
dipahami sesuatu yang sulit diprediksi tergantung pergulatan kepentingan.
Kita
amati pada perkembangannya, partai politik tidak lagi diorientasikan semata
untuk penyaluran aspirasi, tetapi pada prakteknya juga dimanfaatkan oleh
elitnya untuk menjadi instrumen pencapaian posisi dan kedudukannya di lembaga formal,
baik di lembaga perwakilan aspirasi pendukungnya (legislatif), maupun di
jajaran pemerintahan (eksekutif). Dengan dalih bahwa aspirasi yang disampaikan
hanya mungkin efektif pencapaiannya, jika kedudukan dalam kekuasaan legislatif
dan eksekutif dapat diraih, untuk mensejahterakan pendukung dan anggotanya.
Ironisnya karena para ahli ilmu politik dalam merumuskan definisinya, tidak memetakan antara tujuan dan fungsi partai politik itu sendiri. Misalnya definisi yang dikemukakan dua ilmuan politik terkemuka. Carl J. Friedrich dalam buku Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America menyebutkan bahwa, partai politik pada tujuannya adalah untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, bermaksud mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat materil.
Ironisnya karena para ahli ilmu politik dalam merumuskan definisinya, tidak memetakan antara tujuan dan fungsi partai politik itu sendiri. Misalnya definisi yang dikemukakan dua ilmuan politik terkemuka. Carl J. Friedrich dalam buku Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America menyebutkan bahwa, partai politik pada tujuannya adalah untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, bermaksud mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat materil.
A political party is a group of
human beings, stably organized with the objective df securing or maintaning for
its leaders the control of a government, with the farther objective of giving
to members of the party, through such control ideal and material benefits and
advantages.
Sementara lebih jauh oleh R. H. Soltau dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, karangan Miriam Budiardjo mengemukakan definisi partai politik sebagai organisasi yang dimanfaatkan untuk menguasai pemerintahan dalam menjalankan kebijaksanaan umum. A group of citizens more or les organized, who act as a political unit and who, by the us of their voting power, aim to control the govern ment and carry out their general policies.
Dari
dua definisi diatas jelas bahwa antara tujuan dan fungsi partai politik semakin
tidak nyata pembedaannya, sehingga sadar atau tidak dalam praktek akhirnya
menjebak para pelaku politik. Akibatnya dapat mengaburkan cita-cita ideal pendirian
suatu partai politik dan tentu juga akan merusak tatanan demokrasi.
Harusnya,
keberadaan partai politik dibedakan atas dua peranan; yaitu tujuan di satu
sisi, dan fungsi pada sisi yang lain. Meskipun kenyataannya pembedaan itu
semakin dikaburkan. Tujuan partai politik, adalah sarana untuk mencapai
kedudukan atas dukungan pengikut dan pendukungnya. Sementara fungsi partai
politik adalah untuk memperjuangkan aspirasi bagi kesejahteraan para pengikut
dan pendukungnya, yang telah mempercayakan kepadanya melalui pemberian suara
dalam pelaksanaan pemilu. Akhir politik memunculkan konotasi kotor dalam
pelaksanaannya. Padahal subtansinya tidak seperti itu.
Aktor
politik mesti menyadari bahwa politik itu tujuannya adalah mulia. Politik
mengandung nilai-nilai kebaikan untuk kemaslahatan orang banyak. Nilai-nilai
ini mesti dikembalikan lagi pada kedudukan semula. Cita-cita mulia politik itu
telah dirumuskan oleh seorang filosuf Aristoteles jauh sebelum muncul teori
politik pragmatis yang dirumuskan oleh ilmuan politik baru.
Aristoteles (384-322 SM) dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut "zoon politicon". Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik. Interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia. Jika dua orang atau lebih berinteraksi satu sama lain dalam menjalani kehidupan di dunia, maka mereka tidak lepas dari keterlibatan dalam hubungan yang bersifat politik. Politik mengandung nilai-nilai kebenaran dalam menjaga kelangsungan hidup manusia.
Aristoteles (384-322 SM) dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut "zoon politicon". Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik. Interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia. Jika dua orang atau lebih berinteraksi satu sama lain dalam menjalani kehidupan di dunia, maka mereka tidak lepas dari keterlibatan dalam hubungan yang bersifat politik. Politik mengandung nilai-nilai kebenaran dalam menjaga kelangsungan hidup manusia.
Pendapat
Aristoteles diterjemahkan lebih mendalam oleh Alan Badiou. Dalam Metapolitics
(2005) ia mengatakan politik adalah pikiran sekaligus tindakan yang
kolektif mencapai kebenaran. Inti pemikiran dari seorang filosuf politik
Prancis ini adalah meletakkan politik sebagai kolektivitas setiap individu yang
menyatukan diri untuk tunduk hanya kepada kebersamaan.
Kebenaran tercapai kalau ada kebaruan situasi akibat adanya kejadian. Lewat kejadian, situasi lama direstrukturisasi menjadi situasi yang baru. Proses mempertahankan kejadian sampai menghasilkan situasi yang baru itulah yang disebut proses kebenaran. Oleh karena itu, seorang politikus adalah mereka yang mempunyai kesetiaan (fidelity) terhadap kejadian. Politisi harus bisa membedakan antara politik dan politicking (upaya memolitisasi).
Kebenaran tercapai kalau ada kebaruan situasi akibat adanya kejadian. Lewat kejadian, situasi lama direstrukturisasi menjadi situasi yang baru. Proses mempertahankan kejadian sampai menghasilkan situasi yang baru itulah yang disebut proses kebenaran. Oleh karena itu, seorang politikus adalah mereka yang mempunyai kesetiaan (fidelity) terhadap kejadian. Politisi harus bisa membedakan antara politik dan politicking (upaya memolitisasi).
Aktivitas
yang menitikberatkan permainan citra merupakan politicking. Sebaliknya politik
memiliki substansi dengan tujuan kemaslahatan bersama (common good).
Politik bukan tindakan meraih dan mempertahankan kekuasaan, tetapi pikiran yang
diterapkan dalam negara sebagai tatanan kolektif untuk menemukan tatanan baru.
Aktornya disebut dengan politisi sejati atau negarawan. Politisi sejati atau
negarawan adalah figur teladan yang selalu memikirkan kebaikan bersama dan
orang lain.
Sesungguhnya
antara politik dan etika adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan
satu sama lain. Etika politik membuat politik berjalan sesuai tujuannya
membangun kolektivitas. Ia harus menepis modus politik pencitraan sebatas
mempertaruhkan kepentingan individu dan kelompok. Selain itu etika politik juga
memposisikan warga negara aktif mengendalikan kekuasaan. Kekuasaan merupakan
representasi kolektif dari kehendak warga negara. Warga negara berhak menuntut
pelayanan dasar dan pemerintah apabila tidak memenuhi hak-haknya.
Politik juga erat kaitannya dengan budaya. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang beradab atau memiliki kualitas keadaban (civility). Hal tersebut segera dapat di pahami, mengingat kebudayaan menyuguhkan seperangkat nilai-nilai (sets of values) yang mendasari kehadiran dan perkembangan peradaban umat manusia. Kebudayaan merupakan produk kreatifitas dan inovasi manusia di dalam membangun peradabannya, dan manusia cenderung hanif, maka kebudayaan menyuguhkan nilai-nilai kebaikan yang bersifat universal.
Dari kacamata moralitas publik, dikaitkan dengan konteks kebudayaan, maka politik tidak semata-mata jalan atau upaya untuk mencapai tujuan yang tidak dibebani oleh nilai-nilai. Apabila politik berorientasi pada nilai-nilai, maka tentunya ia tidak berhenti hanya sekedar meraih dan mempertahankan kekuasaan, melainkan mengupayakan terwujudnya tujuan-tujuan mulia, antara lain keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Politik juga erat kaitannya dengan budaya. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang beradab atau memiliki kualitas keadaban (civility). Hal tersebut segera dapat di pahami, mengingat kebudayaan menyuguhkan seperangkat nilai-nilai (sets of values) yang mendasari kehadiran dan perkembangan peradaban umat manusia. Kebudayaan merupakan produk kreatifitas dan inovasi manusia di dalam membangun peradabannya, dan manusia cenderung hanif, maka kebudayaan menyuguhkan nilai-nilai kebaikan yang bersifat universal.
Dari kacamata moralitas publik, dikaitkan dengan konteks kebudayaan, maka politik tidak semata-mata jalan atau upaya untuk mencapai tujuan yang tidak dibebani oleh nilai-nilai. Apabila politik berorientasi pada nilai-nilai, maka tentunya ia tidak berhenti hanya sekedar meraih dan mempertahankan kekuasaan, melainkan mengupayakan terwujudnya tujuan-tujuan mulia, antara lain keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Dalam Islam politik diistilahkan dengan siyasah. Ibnul Qayyim mengartikan siyasah yaitu upaya perbaikan kehidupan manusia dan menghindari perusakan. Siyasah berkaitan dengan kepemimpinan. Kepemimpinan berkaitan erat dengan pengorganisasian kehidupan, baik dalam institusi yang disebut negara ataupun lembaga lainnya. Kemudian siyasah diarahkan untuk pengkhidmatan, keahlian, kecakapan, seni dan kekuatan. Sehingga Islam-pun jelas mengatur bahwa politik bukanlah sesuatu yang tabu. Tujuannya jelas untuk kemaslahatan orang banyak. Salam (LH)
Oleh
: H. Leonardy Harmainy, S. IP, MH Dt. Bandaro
Basa
Wakil Ketua DPRD Provinsi
Sumatera Barat