Kemarin, Selasa 7 Mei 2013, setelah 2 minggu meneliti berkas bacaleg dari 12 parpol peserta Pemilu 2014, akhirnya KPU mengumumkan dari 6.577 ada 4.701 bacaleg (71,5%) yang tak memenuhi syarat pendaftaran, dari 12 parpol peserta Pemilu 2014 ada 3 parpol yang seluruh nama bacalegnya tak ada satu pun yang memenuhi persyaratan, juga ditemukan 4 nama bacaleg yang terdaftar ganda dan 21 nama berpotensi terdaftar ganda. Adapun 3 parpol yang calegnya 100% tak ada yang memenuhi persyaratan adalah PKS, PPP dan PKPI.
Padahal, sejak 11 Januari 2013, 10 dari 12 parpol
tersebut sudah dinyatakan lolos verifikasi aktual dan mendapatkan nomor
urut peserta Pemilu 2014. Sejak itu pula mereka sudah tahu bahwa harus
menyiapkan Daftar Caleg Sementara (DCS) untuk disetorkan ke KPU paling
lambat 22 April 2013. Artinya, ada jeda waktu 100 hari untuk mempersiapkan caleg dan melengkapi persyaratan.
Tiga parpol yang 100% calegnya tak memenuhi syarat itu, 2 diantaranya
adalah parpol yang sejak awal lolos verifikasi parpol. Hanya PKPI yang
mungkin bisa dimaklumi, mengingat penetapan PKPI sebagai peserta Pemilu
2014 hanya berselang 3 minggu dari tenggat waktu penyetoran DCS.
Apa saja berkas yang harus dilengkapi tentunya
sudah ada dalam aturan KPU dan itu mestinya sudah diketahui semua
parpol. Janggal rasanya kalau dalam tempo 100 hari persyaratan
administratif tak bisa dipenuhi. Kalau mereka benar-benar peduli pada
syarat, aturan dan tata cara, mestinya cukup waktu untuk melakukan seleksi administratif di internal parpol sebelum disetorkan ke KPU.
Bukankah para caleg itu tidak menyetorkan langsung
berkasnya ke KPU secara perorangan? Bukankah mereka menyetornya ke
kantor parpol masing-masing? Setiap parpol punya kantor Sekretariat,
mestinya juga punya staf sekretariat yang bekerja di bawah koordinasi
Sekjen parpol. Tumpukan berkas para caleg itu pun sebelum diberangkatkan
ke KPU sudah ditandatangani oleh Sekjen dan Ketua Umum parpol
masing-masing. Lalu kenapa berkas-berkas tak lengkap dan tak memenuhi
syarat bisa lolos diajukan ke KPU? Kalau begitu, apa proses yang dilakukan di internal parpol?
Kalo hanya meneruskan berkas tanpa diteliti, semua juga bisa.
Itu
sebabnya semalam di Metro TV, Boni Hargens, pengamat politik dari UI, di
depan parpol-parpol yang calegnya gak lolos 100% mengatakan : “ini
bukti parpol tidak peduli pada aturan main”. Sebelumnya, Boni selaku
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) pernah mengatakan administrasi partai masih amburadul, tidak tertib administrasi, terkait dengan bacaleg yang tak memenuhi persyaratan.
Seleksi administratif hanyalah langkah awal dari serangkaian proses, yang paling sederhana dan kasat mata. Seseorang tak akan bisa dieliminasi, dicurangi, dijatuhkan apabila secara faktual dia memenuhi persyaratan. Tinggal lakukan crosscheck
antara persyaratan formal yang diminta dengan berkas yang diserahkan.
Sangat kasat mata, misalnya : ada syarat harus melampirkan fotokopi
ijazah terakhir yang dilegalisir. Maka, jika seseorang mengaku
pendidikannya S2, cukup lihat apakah ada fotokopi ijazah dimaksud plus
legalisir dari lembaga berwenang. Kalau tak ada, langsung sisihkan.
Contoh lain : ada syarat
menyertakan pas foto ukuran 3×4 sebanyak 10 lembar dan 4×6 juga 10
lembar, maka sepanjang ada pas foto dimaksud, pasti
lolos. Sebab seleksi administratif hanya melakukan verifikasi formal
saja. Perkara di belakang hari ketahuan ijazahnya palsu atau stempel
legalisirnya aspal, atau pas fotonya bukan foto terbaru tapi foto 2
tahun lalu, itu tak akan ketahuan dalam proses seleksi administratif.
Sebab, sekali lagi seleksi administratif hanya sebatas melihat ada
tidaknya kelengkapan berkas sesuai syarat. Karena itu, alangkah
konyolnya kalau ada parpol yang mendaftarkan bacalegnya tanpa disertai
foto, tanpa ijazah yang dilegalisir, bahkan ada 549caleg yang hanya menyetor nama saja tanpa selembar berkas pun. Caleg nekad!
Itu semua hasil verifikasi atas bacaleg yang
mendaftar di KPU Pusat caleg untuk DPR RI. Di berbagai KPUD
ketidaklengkapan berkas caleg bisa lebih parah lagi, menurut Berita Cilegon,
cukup fantastis karena 99% dari bacaleg dari semua parpol yang sudah
menyerahkan berkas, ternyata wajib melakukan perbaikan karena mereka tak
memenuhi sebagian item yang telah ditentukan KPU. Di KPUD Sleman bahkan
ditemukan bacaleg di bawah umur. Di daewrah-daerah lain, cerita serupa
pasti tak kalah banyak.
Kenapa hal-hal seperti itu bisa terjadi? Padahal,
parpol yang saat ini memiliki kursi di Senayan, mencalonkan kembali
sebagian besar anggota legislatifnya. Misalnya : dari 148 kursi DPR
Partai Demokrat saat ini, ada 133 yang mencalonkan diri kembali. Di
Partai Golkar dari 102 kursi yang ada sekarang, 92 diantaranya
mencalonkan diri lagi. Dari Partai Hanura, hanya 1 orang saja yang tak
mencalonkan diri lagi, sementara dari PKS 100% anggota DPR-nya saat ini
jadi caleg incumbent.
Artinya parpol dan para aleg itu sudah
berpengalaman. Bahkan sebagai legislator mereka ikut membahas UU Pemilu.
Jadi semestinya mereka lebih aware akan aturan dan bisa
menjadi contoh serta mengajarkan caleg baru untuk memenuhi persyaratan.
Di sinilah pernyataan Boni Hargens menemukan pembenarannya : adanya
kekurangpedulian pada aturan main.
Kemungkinan lain, proses rekrutmen caleg yang
terburu-buru, sebagian caleg direkrut hanya untuk memenuhi kuota di
dapil tertentu yang bukan dapil “basah”. Apalagi terkait caleg
perempuan, yang dikejar target harus memenuhi kuota 30% caleg perempuan.
Itu sebabnya caleg ganda menimpa caleg perempuan. Sebagian mereka
terdaftar di lebih dari satu parpol. Mereka yang maju karena “terpaksa”
atau sekedar pemenuh kuota, cukup beralasan kalau tak terlalu
bersemangat memenuhi persyaratan.
Kombinasi dari kekurang-pedulian pada
aturan dan ketergesaan dalam proses rekrutmen /penyusunan caleg
menghasilkan DCS seperti sekarang : 70%an tak memenuhi persyaratan.
Padahal, ini baru langkah awal dari sebuah pesta demokrasi.
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer