Kalau ada film Hollywood yang sering di putar di layar kaca, setidaknya sependek ingatan saya ada 2 judul yang paling kerap diputar ulang : Pretty Woman dan Titanic. Keduanya saya suka, terutama Pretty Woman
yang ringan, sedikit lucu tapi sarat pesan moral. Di film itu
dikisahkan seorang pelacur jalanan mampu mempengaruhi pola pikir seorang
milyuner dan pebisnis ulung.
Richard Gere yang berperan
sebagai Edward Lewis, jutawan muda ganteng, tak sengaja tersesat ke
sebuah kawasan “lampu merah” saat mengemudikan mobil sport mewah milik
temannya. Akhirnya ia pun menyewa Vivian, seorang pelacur jalanan yang
hanya drop out sekolah menengah – diperankan Julia Robert – untuk dibawanya ke penthouse mewahnya. Berhari-hari tinggal bersama sang milyuner, Vivian dan Edward mulai saling suka dan Edward menjadikan Vivian sebagai lady escort-nya
yang menemani sang jutawan menghadiri pertemuan dan jamuan makan
bersama relasinya.
Belakangan Vivian menanyakan apa bisnis Edward hingga
ia sekaya itu. Edward menjawab bahwa ia membeli perusahaan-perusahaan
yang nyaris bangkrut dengan harga murah, lalu memecah-mecah menjadi
beberapa perusahaan kecil dan menjualnya dengan harga tinggi. Vivian
lalu bertanya : lalu apa yang kau bangun? Sang milyuner tertegun, dia
memang tak membangun apapun, ia justru memecah-mecahnya. Sejak itu, ia
tak lagi memperhatikan saran dari penasehat bisnisnya. Sebuah tanya
sederhana seorang pelacur jalanan telah mengusik kelembutan hatinya yang
dulu tak kenal belas kasihan dalam berbisnis. Vivian sang pelacur mampu
mengubah arah bisnis seorang multi jutawan. Itulah hebatnya wanita!
Belakangan, di negeri ini ada
yang kontra dengan pernyataan Mahfud MD soal adanya wanita-wanita yang
kerap mempengaruhi pejabat dalam mengambil keputusan. Ada sekelompok
orang yang meradang dengan sinyalemen Mahfud ini. Selasa pagi di acara
AKI Pagi TV One, Pak Mahfud menjelaskan bahwa itu sebenarnya adalah
pernyataan lawas, yang dulu pernah ditulisnya di media massa nasional beberapa waktu lalu ketika mencuat issu gratifikasi sex. Kalau pun kali ini pernyataan Mahfud itu kembali mengemuka dan dibincangkan “itu kan karena ada issu pustun-pustun” kelakar PakMahfud.
Anda masih ingat kasus Al Amin
Nasution – anggota DPR dari PPP periode 2004-2009, mantan suami dari
pedangdut Kristina – beberapa tahun lalu? Saat digrebek KPK, Al Amin
sedang berada di cafe sebuah hotel bersama penyuapnya. Di persidangan,
KPK kemudian memperdengarkan rekaman sadapan telepon pembicaraan Al Amin
dengan penyuapnya, dimana terdengar Al Amin meminta disediakan wanita
untuk “menemani”nya. Dari percakapan itu terkesan itu bukan baru sekali,
karena ada pembicaraan tentang selera Al Amin yang dijawab seperti
wanita yang sebelumnya.
Sebenarnya, wanita dijadikan
“seserahan” kepada penguasa untuk mengubah keputusannya bukan baru
terjadi di jaman modern ini saja. Dalam kisah kerajaan-kerajaan tempo
dulu, baginda raja sering dihadiahi wanita tercantik di suatu wilayah,
demi terjalinnya “mutual agreement” antar kedua wilayah.
Semisal raja X yang dikenal digdaya dan gemar menginvasi
kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya untuk memperluas kekuasaannya,
kemudian dihadiahi putri tercantik dari kerajaan Y untuk dijadikan
selir, kendati sang raja X sudah punya banyak selir. Dengan pemberian
itu, kerajaan Y tak jadi diinvasi, raja Y tetap tak kehilangan tahtanya,
bahkan kemudian mendapat perlindungan dari kerajaan X sebagai
kompensasi putri raja Y yang kini jadi selir raja X.
Itu bukan hanya terjadi di kerajaan Nusantara saja, film Anna and the King
– yang diperankan oleh Jodie Foster dan Chow Yun Fat – menggambarkan
Raja Mongkut dari Dinasti Chakri di Siam (kini Thailand) pada paruh
kedua abad ke-19, yang memiliki 23 istri dan
42 selir serta 58 anak serta 10 calon bayi lainnya masih di dalam
kandungan para istri dan selirnya.
Wanita-wanita cantik itu dihadiahkan
kepada sang raja yang sangat dipuja dan dianggap sebagai penjelmaan
Tuhan/Dewa yang memiliki kekuasaan yang luar biasa. Dalam film yang dilarang shooting dan dilarang di putar di negeri asalanya itu
dikisahkan tokoh Tuptim – seorang gadis cantik dari keluarga biasa yang
sebenarnya telah memiliki kekasih hati bernama Lun Tha – dipersembahkan
kepada raja Mongkut sebagai hadiah dari raja Burma. Tuptim kemudian
menjadi selir kesayangan raja, namun sayangnya hati Tuptim tak pernah
untuk sang raja, sehinga ia tak pernah bisa mempengaruhi raja.
Berkat persahabatannya dengan
Anna Leonowens yang mengajarkan budaya barat pada putra-putri dan para
selir raja Mongkut, akhirnya Tuptim berani memperjuangkan kebebasannya
untuk kembali pada kekasihnya. Sebagaimana tradisi saat itu jika
ketahuan selingkuh maka ia akan dihukum mati dengan cara dibakar
hidup-hidup. Namun, Anna sang guru yang diam-diam saling jatuh hati
dengan sang raja, berhasil melunakkan hati raja untuk tak menghukum
Tuptim dan membiarkannya lari. Dalam kisah ini, kekuatan wanita
mempengaruhi raja mengubah keputusannya melawan tradisi memang bukan
dilakukan oleh wanita yang jadi selir atau penghibur raja, yang
bermodalkan kecantikan semata. Namun justru seorang janda beranak satu,
seorang guru yang punya prinsip, anggun, cerdas dan tegas lah yang mampu
membuka pemikiran raja.
Dalam dunia spionase kelas
tinggi pun, tak jarang wanita cantik dijadikan umpan untuk mengeruk
informasi dari pihak lawan. Anda mungkin pernah mendengar nama “Mata
Hari”, seorang penari erotis – ada yang menyebutnya penari telanjang –
yang menjadi mata-mata ganda bagi Jerman sekaligus Perancis pada masa
Perang Dunia I. Berkat keberaniannya menampilkan aksi erotis dalam
setiap panggung pertunjukannya, Mata Hari – yang bernama asli Margaretha
Geertruida Zelle – punya banyak kenalan petinggi militer, politisi dan
orang-orang berpengaruh dari berbagai negara Eropa. Ia pun bisa bebas
melintas batas.
Mata Hari yang terobsesi menjadi kaya raya, menggunakan
daya pikatnya untuk menaikkan bayarannya sebagai informan rahasia.
Selain cantik, seksi dan berani, Mata Hari juga seorang yang sangat
pandai berbohong. Namun pada akhirnya pesan-pesannya kepada atase
militer Jerman yang telah lebih dahulu “menyewa” jasanya, berhasil
disadap oleh para agen intelijen Perancis yang mana Mata Hari juga
menawarkan jasanya untuk menjadi mata-mata bagi Perancis dengan bayaran 1
juta Franc. Hidup Mata Hari berakhir di hadapan regu tembak yang
mengeksekusi mati dirinya di usia 41 tahun. Akhir tragis seorang wanita
yang memperdagangkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya untuk menukar
pengaruh dan informasi.
Jadi, jika melihat sejarah
panjang bagaimana kaum hawa kerap dijadikan komoditas yang dipertukarkan
dalam relasi negosiasi politik atau gratifikasi kepada penguasa,
seharusnya pernyataan Pak Mahfud MD tak perlu diributkan apalagi sampai
menuduh Pak Mahfud ngawur. Sebab, kata Mahfud MD, pernyataannya itu
berasal dari pengalamannya pernah dilapori soal ini. Sinyalemen Mahfud
bukanlah asbun, sejatinya inilah keniscayaan yang berusaha ditolak,
dinafikan dan dipungkiri oleh masyarakat kita yang hipokrit ini.
Bukankah Hawa pula yang dulu merayu Adam agar mau memakan buah khuldi,
buah dari pohon larangan, sehingga keduanya terusir dari sorga?
Peradaban berubah, budaya
manusia terus bergerak maju, tapi relasi nafsu laki-laki atas
harta-tahta dan wanita tak pernah berubah, hanya berbeda
pengejawantahannya saja. Wanita pun makin menyadari pesonanya untuk bisa
meraih harta dari pria yang punya tahta, dengan bermodalkan
kewanitaannya.
Moammar Emka dalam bukunya Jakarta Under Cover yang booming
lebih dari sepuluh tahun lalu pun dengan gamblang mengungkap adanya
bisnis penyedia jasa wanita untuk memenuhi permintaan pejabat. Artinya,
komersialisasi wanita sebagai peloby yang semula urusan privat antar 2
pihak, kini dilembagakan dalam organisasi bisnis. Tinggal pesan seperti
apa yang dimau, akan disediakan yang tak mengecewakan. Maka negosiasi
bisnis atau perdagangan pengaruh pun bakal lebih lancar.
Seolah sudah suratan takdir,
pria memburu harta dan tahta sebagai bukti prestasi dan prestise-nya.
Setelah harta dan tahta dalam genggaman, mereka memikat wanita demi
memuaskan ego dan nafsunya. Maka, jika selalu ada wanita dalam pusaran
kasus pencucian uang, tentu bukan hal aneh. Diakui atau tidak, hal
seperti ini akan terus ada, sepanjang peradaban manusia. Semakin
materialistik suatu budaya, semakin pragmatis manusia-manusia dalam
komunitas tersebut, makin subur pula transaksi wanita versus pengaruh
dan pengambilan keputusan. Tak peduli apapun latar belakang si wanita.
Vivian pelacur jalanan dalam
film Prety Woman asalnya seorang gadis miskin yang putus sekolah sampai
SMA saja. Tuptim selir Raja Mongkut anak seorang warga biasa yang
terpaksa rela dijadikan hadiah bagi raja, dimasa dimana perbudakan masih
dianggap sesuatu yang wajar. Anna Leonowens seorang berpendidikan
bahkan berprofesi sebagai pendidik yang punya idealisme tinggi namun
harus menemui benturan budaya yang sangat hebat antara Timur dan Barat.
Mata Hari seorang wanita pragmatis
– berasal dari keluarga yang bangkrut di saat ia masih remaja, kemudian
orang tuanya bercerai dan ia menikah di usia 19 tahun setelah
sebelumnya di usia 18 tahun ia dikeluarkan dari sekolah karena skandal
perselingkuhan dengan kepala sekolahnya. Dengan menjadikan uang sebagai
cita-citanya, Mata Hari memang sukses memikat banyak pria berpengaruh.
Jadi…, semestinya kita tak perlu terlalu sensi
menyikapi sinyalemen Pak Mahfud MD soal adanya wanita yang mempengaruhi
pejabat dalam mengambil keputusan. Yang perlu kita risaukan adalah jika
keputusan yang diambil itu kemudian berpengaruh pada hajat hidup rakyat
dan celakanya jika itu pengaruh buruk. Yang perlu membuat kita marah
jika akibat keputusan itu ada kerugian negara yang harus ditanggung
rakyat. Kita terbiasa meributkan pernyataan seseorang yang sebenarnya
pernyataan itu mengungkap sebuah kebenaran yang selama ini ditutupi.
Inilah salah satu ciri masyarakat hipokrit.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianers