Rabu malam saya nonton tayangan talk show di TV One
yang – lagi-lagi – membahas carut marut Ujian Nasional 2013. Ada
cuplikan pernyataan Mendikbud Muhammad Nuh yang ditayangkan di sela-sela
diskusi, entah pernyataan itu diucapkan dalam rangka apa, yang jelas
itu bukan wawancara spontan M. Nuh dengan wartawan media sambil jalan di
sela kesibukannya sidak percetakan. Dalam cuplikan itu tampak Pak Nuh
duduk di depan meja sambil menghadap microphone, seperti sedang
jumpa pers. Entah apa awal mulanya, yang jelas kutipan tayangan itu
fokus pada kalimat Pak Nuh yang menurut saya kurang enak didengar.
Pak Nuh mengatakan bahwa dengan kisruhnya
pelaksanaan UN kali ini pasti yang paling senang adalah mereka yang
sejak dulu menolak UN. “Saya kan juga bisa melogika toh? Jadi logikanya
begitu, yang menolak UN pasti seneng”. Ternyata feeling saya
benar, kalimat itu pun langsung ditanggapi sinis sekaligus tersinggung
dari anggota DPR Komisi X, Deddy ‘Miing’ Gumelar dan ibu Retno
Listyarti, Sekjen FSGI (Forum Serikat Guru Indonesia). Bagaimana bisa
Pak Nuh berpikir bahwa orang-orang yang menolak UN akan bertepuk tangan
senang melihat pelaksanaan UN amburadul, mengecewakan anak didik dan
merepotkan sekolah? Bukankah sejak dulu para penolak UN justru
memperjuangkan hak anak didik dan kewenangan satuan pendidikan (sekolah)
dalam melakukan evaluasi atas prestasi belajar siswa? Jadi bagaimana
mungkin para penolak UN justru bahagia melihat pelaksanaan UN yang amat
sangat memprihatinkan ini.
Kisruh UN bukan hanya di 11 propinsi yang jadwalnya
di undur. UN di 22 propinsi yang berjalan sesuai jadwal pun tak kurang
kacaunya. Ibu Retno bercerita, ada sebuah sekolah yang UN-nya ditunda 5
jam karena jumlah soal kurang. Selama menunggu itu siswa stress dan
tegang, sampai-sampai ada yang lupa letak toilet sekolahnya sendiri.
Akhirnya siswa-siswa itu memulai UN jam 12 siang sampai jam 2, dalam
kondisi letih, lapar dan haus. Konsentrasi tentu sudah buyar, stamina
sudah turun, mana mungkin bisa mengharapkan hasil optimal dengan kondisi
seperti itu?
Ada lagi sekolah yang terpaksa menunda UN mapel
Bahasa Indonesia untuk jurusan IPS karena soal tidak ada, sementara
jurusan IPA jalan terus. Ada pula sekolah yang peserta UN-nya 4 kelas,
namun hanya tersedia soal dan lembar jawab 1 amplop saja. Solusinya
difotokopi. Karena kertas ujian itu dilengkapi barcode, maka saat
memfotokopi barcode harus dilepas dulu. Padaha kondisi kertas ujian
sangat tipis dan mudah sobek. Masalah tak selesai sampai di situ, siswa
yang mengerjakan soal di lembar jawab fotokopian dibayang-bayangi
ketidaklulusan sebab jika dikoreksi kelak, lembar jawab itu akan
tertolak oleh sistem komputer.
Di Sumatera Utara – propinsi yang tidak termasuk
UNJ-nya ditunda – ada 521 sekolah terpaksa menunda UN karena soal
kurang. Wartawan TV One kemudian menemui seorang siswi di rumahnya,
kabarnya siswi tersebut dan teman-temannya terus menerus menangis karena
kesal, sedih, kecewa dan down mentalnya. Saat diwawancara, siswi
jurusan IPA itu mengungkapkan kekecewaannya dan mengaku kecil hati
karena masih harus menunggu Senin depan untuk UN, yaitu tanggal 22 – 25
April, sementara rekan-rekannya satu sekolah yang jurusan IPS sudah
selesai UN sesuai jadwal.
Di beberapa sekolah soal UN diterima dalamkeadaan
sobek, basah, segel terbuka, amplop soal tertukar (misalnya di amplop
tertulis Matematika, isinya soal Bahasa Inggris), keliru paket soalnya,
isi amplop kurang, dsb. Di Mataram, NTB, kardus soal UN bahkan tertukar
dengan kardus air mineral dan baru diketahui ketika sudah sampai di
sekolah. Nah lho, berarti yang dikawal ketat itu kardus air mineral!
Lalu bagaimana keamanan soal yang tertukar? Bukankah ada jeda waktu
kardus soal itu tanpa pengawasan?
PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dalam
jumpa pers resmi menyebut kekacauan UN tahun ini BUKAN karena kesalahan
teknis melainkan human error. Karena itu Presiden SBY harus mengevaluasi kinerja Mendiknas.
Sementara FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) telah
melaporkan temuannya bahwa PT. Ghalia Indonesia yang memenangkan tender
untuk mencetak soal UN di 11 propinsi justru adalah penawar tertinggi
dibanding 5 percetakan lainnya, yaitu di angka Rp. 22,8 milyar,
diindikasi ada pemborosan Rp. 7,2 milyar. Dari sisi kompetensi, PT.
Ghalia dianggap kurang kompeten karena di tahun 2010 hanya mendapat
order untuk mencetak di 1 propinsi saja. Kenapa tahun ini bisa mendapat
jatah 1/3 dari seluruh Indonesia, sementara untuk 22 propinsi lainnya
harus dibagi pada 5 percetakan lain.
Malam itu pun dilakukan telewawancara dengan
Wamendikbud, beliau menjamin bahwa Kamis, seluruh propinsi yang
mengalami penundaan akan bisa melaksanakan UN serentak esok paginya.
Ternyata, kemarin semua media memberitakan kekisruhan tetap terjadi di
banyak daerah. Ada sekolah yang terpaksa memulangkan dulu siswa peserta
UN dan kembali lagi siang harinya karena soal datang telat. Di
Kalimantan Timur, 7 kabupaten bahkan terpaksa menunda lagi UN untuk
kesekian kalinya. Padahal, perkiraan bakal telatnya soal di beberapa
daerah di Kaltim sudah diprediksi sejak Rabu sore – mengingat letak
geografis dan ketersediaan sarana d daerah tersebut – dan sudah
diingatkan, namun Mendikbud dan Wamen tetap ngotot bahwa tidak akan ada
keterlambatan soal tiba di semua daerah. Seolah masukan dari berbagai
pihak diabaikan dan tetap berusaha meyakinkan masyarakat, meski sudah
jelas itu hal yang mustahil.
Maka lengkaplah sudah carut marut UN, mulai dari
hulu sampai hilir. Sah-sah saja segenap kemarahan siswa, orang tua
murid, guru dan masyarakat. Ini bukan baru pertama kalinya UN diadakan,
sudah 10 tahun, semestinya tinggal mengulang pengalaman dari tahun ke
tahun sambil menyempurnakan kekurangan. Pak Nuh menjabat sebagai
Mendikbud (dulu Mendiknas) sudah mulai 2009, berarti sudah melaksanakan
UN tahun 2010, 2011, 2012. Ini hajatan UN ke-4 kalinya bagi beliau. Lalu
kenapa kekacauannya justru makin paripurna di tahun ini?
—————————————————————————-
Sehabis nonton tayangan itu, saya mencoba mengorek
sedikit kenangan yang saya tahu tentang beliau. Mantan Rektor ITS ini
sebenarnya sosok pribadi yang cukup cemerlang dan integritasnya baik,
bersih. Memang saya tak banyak mengenal beliau semasa menjadi Rektor
sebab saya sudah lama lulus ketika itu. Hanya saja pemberitaan di media
lokal selama periode beliau menjabat sebagai Rektor selalu positif,
bahkan dukungan untuk menjadi rektor kedua kalinya saat itu sangat
besar. Yang saya tahu ketika belum jadi rektor, Pak Nuh dan
rekan-rekannya bergiat di sebuah lembaga bernama Nara Qualita Ahsana
(NQA) yang memberikan layanan pelatihan mental dan spiritual, perusahaan
tempat saya bekerja pernah memakai jasa NQA.
Pak Nuh
juga banyak bergiat di organisasi sosial dan kemasyarakatan, termasuk
diantaranya pernah menjadi Sekretaris Yayasan Dana Sosial Al Falah
(YDSF) sebuah lembaga amal yang sangat besar dan terpercaya di Surabaya.
Aktif juga di berbagai yayasan sosial lainnya dan terkadang memberikan
ceramah keagamaan. Intinya : kredibilitas dan integritas beliau dikenal
sangat baik. Seorang Kompasianer yang mengenal beliau sudah menuliskan Sisi Lain Muhammad Nuh Sebelum Jadi Menteri. Berbekal semua citra baik itulah, masyarakat Surabaya tak heran ketika tahun 2007 SBY memanggilnya untuk ikut fit n proper test calon Menteri (saat itu Menkominfo dalam moment reshuffle kabinet.
Sekali saya pernah bertemu Pak Nuh di ITS,
ketika saya akan mengikuti sebuah seminar sekitar tahun 2003, saat
beliau sudah jadi rektor. Saya yang hampir telat tiba di lokasi, tak
tahu dimana tempat acara diadakan. Lewatlah seorang pria berpenampilan
biasa, saya mendekatinya dan menanyakan dimana Gedung X, beliau lalu
memberikan petunjuk, kemudian bertanya : “Mau kesana Mbak?” yang saya
jawab “iya Pak”. Beliau pun menjawab “kalau begitu mari saya antar”
dengan gestur yang sangat santun pria bersahaja itu mengiringi saya
sampai ke lokasi acara. Ternyata seminar baru akan dibuka menunggu
rektor ITS yang tak lain pria yang mengantar saya tadi. Saya jadi malu
pada pak Rektor, Muhammad Nuh.
Mengingat semua kebaikan Pak Nuh yang saya kenal
kemudian – salah satu adik kandung beliau ternyata teman kantor saya –
membuat saya tak habis pikir, kenapa orang sebaik Pak Nuh, sebrillian
beliau, sehalus beliau, ketika masuk kabinet dan menjadi Menteri bisa
“sedikit otoriter” – setidaknya begitu yang dikesankan – mengingat
kengototan beliau dalam masalah UKG, kurikulum 2013 dan UN. Merenungkan
kata-kata Pak Nuh dalam jumpa pers yang dicuplik TV One, saya tak
mengerti kemana arah pemikiran beliau. Rasanya bukan pak Nuh yang saya
kenal bijaksana yang mengeluarkan statemen seperti itu. Mungkin Pak Nuh
sekedar mencoba bertahan dari gempuran.
—————————————————————————-
Saya mendadak teringat kolega Pak Nuh di ITS,
pernah sama-sama dipercaya mengelola politeknik ITS, hanya saja Pak Nuh
jurusan Elektronika, koleganya ini jurusan Perkapalan. Dialah Profesor Doktor Daniel Muhammad Rosyid,
rekan yang angkatannya tak jauh beda dengan Pak Nuh. Sama-sama dosen
ITS dan banyak terlibat dalam kegiatan yang sama, posisi Pak Daniel kini
justru “berseberangan” dengan Pak Nuh. Sejak awal mula UN dicanangkan
secara nasional dan menjadi tolok ukur kelulusan siswa, Pak Daniel M.
Rosyid sudah mempelopori gerakan moral menolak UN,
ketika belum banyak pihak yang berteriak menolak UN. Ketika kemudian UN
dirasa memberatkan siswa dan sekolah, barulah banyak kelompok yang
mengikuti jejak Pak Daniel.
Penolakan Pak Daniel itu konsisten sampai
sekarang. Meski tak dilakukan secara frontal, namun beliau
menyuarakannya lewat tulisan. Ketika terjadi kasus contek massal di SDN
Gadel 2, Tandes, Surabaya, Pak Daniel pula yang ikut mendampingi Ibu
Siami – ibunda dari anak Alif yang melaporkan kasus ini – ketika Ibu
Siami justru diusir warga dari kampungnya. Contek massall ini sebenarnya
tak hanya terjadi di Surabaya, di beberapa kota banyak terjadi kasus
seperti ini, hanya saja siswa dan ortu siswa tutup mulut karena mereka
ikut menikmati contek massal. Ini salah satu ekses moral dari UN, ending sebuah sistem pendidikan yang result oriented.
Sehingga terkadang siswa, orang tua murid, guru, kepala sekolah,
terdorong menghalalkan kecurangan demi meraih nilai dan prosentase
kelulusan yang tinggi, demi gengsi dan prestise sekolah dan daerah.
Sentralisasi penuh UN juga menafikan peran serta daerah, sekolah dan
guru.
Dalam website pribadinya dan beberapa sumber lain di internet, kita bisa membaca pemikiran Pak Daniel Rosyid tentang alasannya menolak kurikulum 2013. Satu pemikiran Pak Daniel yang menarik tentang sekolah yang dituliskannya dengan judul Diet Makan Siang Bernama Kurikulum, beliau menyebut : “Sekolah
hanyalah makan siang di warung dekat rumah. Masih ada sarapan dan makan
malam di rumah untuk anak- anak kita. … Pribadi sukses tahu persis
bahwa sarapan ber- sama keluarga yang disiapkan Ibu di rumah jauh lebih
penting daripada makan siang.” Lebih lanjut : “Kurikulum
hanya resep makan siang. Bahkan bukan makan siangnya. Menu yang akan
tersaji masih akan ditentukan oleh ketersediaan bahan-bahan masakan yang
bermutu, serta kompetensi kokinya. Di samping itu, anak yang sudah
sarapan dengan gizi yang cukup, tidak terlalu membutuhkan makan siang.
Hanya anak-anak yang tidak diberi sarapan di rumah yang cukup lapar
untuk menyantap makan siang seragam di sekolah yang bisa amat
membosankan.” Dan simpulannya : “Kurikulum
2013 terlalu rinci. Ini meremehkan kecerdasan anak-anak, dan menghambat
prakarasa inovasi guru untuk melakukan adaptasi secara ruang, waktu dan
pribadi anak yang unik. Kurikulum 2013 akan menyebabkan penyeragaman
yang masif yang justru meminggirkan keberagaman.”
Para penolak UN dan kurikulum 2013 punya alasan
yang sangat masuk akal, bukan sekedar suka dan tidak suka atau asal
menentang Pemerintah. Kenapa Pak Nuh tidak coba mengajak mereka duduk
bersama dan berdiskusi, mencari jalan keluar terbaik? Apa susahnya
mengundang teman sendiri ngobrol untuk mendapat masukan berharga?
Kengototan Pak Nuh justru mengundang praduga negatif dari para stakeholder pendidikan. Ocehan di dunia maya mengolok-olok Pak Nuh punya “proyek”
besar di 2013. Sungguh saya prihatin dan sedih, sebab saya tahu
integritas pribadi Pak Nuh bukanlah seperti itu. Sesungguhnya saya
sedikit tak rela jika Pak Nuh dihujat.
Kemarin petang, TV One memaparkan hasil jajak
pendapat mereka soal pelaksanaan UN, salah satu pertanyaan untuk
responden adalah : “Perlukah Mendikbud mundur sebagai bentuk tanggung jawab?” Menarik sekali hasilnya, ternyata 44% lebih nol koma sekian menjawab IYA dan 44% lebih sekian puluh sekian menjawab TIDAK.
Sisanya menjawab TIDAK TAHU. Artinya : cukup berimbang orang yang
menilai kekacauan UN ini akibat kelemahan managerial dan leadership Pak
Nuh pribadi dan orang yang menilai ini akibat dari sistem Pemerintahan
kita yang memang tak efektif. Jika Pak Nuh mundur, SBY yang kini lebih
konsentrasi mengurusi partainya, belum tentu bisa memilih the right man
on the right place for the right mission. Mungkin itu sebabnya hasil
polling berimbang.
But aniway, Pak Nuh have to do something. So what?!
Kalau boleh saya berpendapat – dan seandainya Pak
Nuh sudi membaca tulisan ini – ketimbang Bapak memilih mundur tapi tak
menyelesaikan masalah, sudilah Bapak memundurkan program-program yang
banyak ditentang. Kemarin Bapak menunda UN di 11 Propinsi selama 3 hari,
justru dikritik habis-habisan, kenapoa tak sekalian ditunda semuanya
selama seminggu, jadi UN tetap bisa serentak dan persiapan teknis sudah
benar-benar beres. Nah, apa salahnya untuk kurikulum 2013 disimpan dulu,
dibedah lagi melibatkan pihak-pihak yang menentang, kaji ulang, siapa
tahu kalau diluncurkan 2014 hasilnya justru lebih baik dan didukung
banyak pihak.
Oktober 2014 masa tugas Kabinet berakhir, mungkin
Bapak memang tak akan sempat menjalankan kurikulum baru, tapi
percayalah, jika itu bagus, nama baik anda akan tetap dikenang sebagai
Mendikbud yang meninggalkan legacy kurikulum yang handal. Tapi
sebaliknya, jika dipaksakan berjalan 2013 dan hasilnya kacau, Bapak akan
dikenang sebagai Mendikbud yang mengacaukan sistem pendidikan. Saya melu ngeman – kata wong Jowo
– pribadi pak Nuh, kasihan orang sebaik Bapak harus tenggelam dalam
hujatan hanya karena paradigma seolah “Pemerintah harus menang, program
Pemerintah harus jalan”.
Tahun 2014, masih tersisa 1 kali lagi UN sebelum
masa tugas Bapak berakhir. Terbayangkah oleh Bapak, UN tahun depan akan
lebih krusial lagi? Kenapa? UN 2014 pelaksanaannya sekitar seminggu
pasca Pemilu tanggal 9 April 2014. Bisa jadi situasi di beberapa daerah
belum sepenuhnya kondusif – kita paham bukan bangsa ini belum sepenuhnya
dewasa berdemokrasi – sehingga akan makin sulit lagi mengkonsolidasikan
UN dan distribusinya. Polri akan lebih sibuk mengawal kotak suara dari
PPS ke PPK ketimbang mengawal soal UN. Para politisi di Senayan sudah
tak terlalu peduli lagi, sebagian sibuk memantau perolehan suaranya,
sebagian sudah putus asa karena gagal terpilih kembali. Akankah siswa
dan guru akan kembali jadi korban dari pemaksaan UN? Pikirkanlah Pak
Nuh, anda mungkin enggan mundur sebagai bentuk tanggung jawab, tetapi
ngotot terus juga tak menyelesaikan masalah dan tak mengurangi amarah
mereka yang kecewa dengan kacaunya UN. Mundurkan saja programnya,
mungkin itu solusi jalan tengah.
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer