Ketika kerjasama program studi Rajaratnam diresmikan di Singapura pada 2009, penandatanganannya dilakukan oleh Boediono. Kala itu ia calon wakil presiden. Momen peresmiannya bertepatan dengan sidang akhir keputusan pengadilan coroner, kasus pembunuhan David Hartanto Wijaya, mahasiswa jenius asal Indonesia di NTU.
Di pagi hari sebelum berangkat menghadiri persidangan coroner ke Singapura - - semua persidangan saya ikuti - - Djoko Suyanto, Menkopolhukam, sempat menelepon.
“Bila menghentikan kerjasama tentu tak mungkin. Minimal apa yang bisa kita lakukan?” tanyanya ke saya. Pertanyaan itu agaknya berkait ke kalimat saya di Tvone sehari sebelumnya. Saya
mengutip sosok warga Singapura yang dekat dengan kepolisian negeri
jiran itu. Ia menghargai kegigihan saya memverifikasi kasus yang disebut NTU, di semua media Singapura, David bunuh diri, “Hanyalah urusan are you patriot or not?”
Di Tvone saya seakan bertanya ke Boediono, “Are you patriot or not? Are you Indonesian or not”
Maka ketika
saya hendak menutup pintu rumah, menuju Bandara, Djoko Suyanto kembali
menelepon. “Silakan hubungi Rizal Malarangeng, Keluarga David Jam 14 waktu Singapura bisa diterima Bapak Boediono di Hotel Shangrilla. Itulah yang maksimum dapat kita lakukan,” tutur Djoko.
Sebagaimana sudah
pernah saya tulis di Sketsa berseri kasus David, pertemuan dengan
Boediono memang terjadi. Dari pihak keluarga hadir ayah, Hartono Wijaya
dan ibunya serta Wiliam Hartanto, kakak David. Pada pertemuan itu
keluarga meyakinkan Boediono, bahwa sejatinya anaknya dibunuh bukan
bunuh diri. Mereka meperlihatkan foto-foto pendarahan David sebelum
diletakkan di jembatan kaca, dengan pilihan tiada lain jatuh. Adegan
itulah yang disebut bunuh diri. Apalagi ada pembuktian foto dan video
melalui handphone, oleh seorang mahasiswi NTU asal Iran. Ia bersaksi dengan mata memerah dan tak berani menatap mata keluarga David.
Boediono kala itu sempat membulak-balik foto. Dan menunjukkan sikap peduli akan kasus itu. Selebihnya salam-salaman, dan penandatanganan program kerjasama dengan NTU dilakukan persis berbarengan dengan keputusan pengadilan coroner; keputusannya sudah bisa diduga: David bunuh diri!
Di luar ruang sidang saya sempat memeluk ibunda David. Ia meraung kering kerongkongan. Airmata tak mengalir lagi. Ayahandanya gemetar tidak berkata-kata. Mukanya merah bata.
William kakak David, memaki pengadilan Singapura
OC Kaligis, yang kami minta membantu secara probono kala itu, bilang, “Hukum itu in the matter of floor or in the matter of fact?”
Benar. Persidangan itu akhirnya bagaimana kita menghidangkan yang disebut fakta.
Sebelum meninggalkan pengadilan coroner Singapura, saya menuju toilet. Seorang agen polisi yang berselisih, sempat menjabat erat agak lama. Ia tak berkata-kata. Saya hanya mencoba membaca gestur tubuhnya. Ia seakan berkata, “Kamu benar.”
Entahlah.
Logika saya,
namanya juga program kerjasama Singapura dan Indonesia, kok memberikan
gelar doktor untuk pemimpin Indonesia? Bukankah gelar doktor untuk
Presiden SBY sudah sangat banyak?
Sebelumnya Yudhoyono menerima gelar Doktor Honoris Causa
dari beberapa universitas. Di antaranya di bidang hukum dari
Universitas Webster, 2005, di bidang politik dari Universitas Thammasat ,
2005. Di bidang pembangunan pertanian berkelanjutan dari Universitas
Andalas, Padang, 2006. Doktor Kehormatan di bidang Pemimpin Perdamaian
dari Universiti Utara Malaysia. Presiden SBY, warga Indonesia pertama
yang menerima gelar Honoris Causa dari Malaysia. Maret 2012 lalu ia juga
menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Tsinghua, Beijing.
Mungkin masih ada yang lain.
Yang jelas saya terlambat tahu akan pemberian gelar doktor untuk SBY oleh program sama, program kerjasamanya dilakukan pada 2009 itu. Terlebih lagi, kini air mata keluarga David belumlah kering. Proses verifikasi panjang kasus ini terus saya lakukan.
Terakhir kami sempat membawa laptop David pulang 2011 lalu. Itu pun bisa dilakukan dengan berkali-kali bulak-balik, dalam negosiasi yang alot disaksikan staf KBRI kita di Singapura. Tak dipungkiri, hashing data di laptop David sudah berubah. Saya mengusulkan kepada keluarga David agar kita mencari pakar forensic digital dari negara independen seperti di Inggris. Namun itu semua membutuhkan biaya. Untuk membayar lawyer di Singapura tempo hari, uang Rp 350 juta kami motivasi dihimpun dari gerakan Facebook, sosial media.
Maka tulisan Ferdiansyah Rivai berjudul: SBY,
Ingatkah Kau Kepada David NTU, Premis Ferdi, menolak lupa, telah lebih
awal mengingatkan saya untuk kembali menulis. Setelah membaca tulisan
itu, di http://politik.kompasiana.com/2013/04/21/sby-ingatkah-kau-pada-david-hartanto-ntu-553447.html, saya mencoba menghubungi Daniel Sparringa, Staf Khusus bidang politik Presiden SBY.
Kalimat saya
ke Daniel, saya tentu tak punya hak melarang Presiden SBY menerima gelar
doktor itu. Akan tetapi paling tidak mengulang cerita 2009, terimalah
keluarga David, sebelum ke Singapura, sehingga tak membuat pilu di luka terus menganga.
Daniel mengatakan jadwal presiden tak mungkin lagi di sela. Lagian ia mengaku tak
membidangi hal itu. Ia memberikan kontak Teuku Faisasyah, Staf Khusus
Bidang Hubungan Internasional. Hingga tulisan ini saya buat, Faisasyah belum saya hubungi, foto presiden kita bertoga bersama Bertil Anderson, presiden NTU sudah menghiasi lembaran sejarah.
Di media online saya menyimak berita, bahwa Presiden SBY menyebut kalau Singapura memuji Indonesia. Dalam seloroh kawula muda, jika orang memuji pasti ada maunya. Dan Anda, Pembaca, tentulah bisa menjabarkan maunya Singapura dari Indonesia, tanpa harus saya berpanjang kata.
Dua bulan lalu, saya ke Singapura. Di setiap kunjungan ke sana, saya selalu terkenang akan verifikasi panjang saya di kasus David ini yang belum usai. Kini di negeri jiran itu sudah selesai bangunan bak kapal diangkat tiga pilar tinggi, menjadi landmark baru Singapura, Marina Casino Sand Bay. Di atas jembatan futuristik antara bangunan Marina ke The Fullerton Bay, setiap langkah yang saya ayunkan terbayang selalu kasus David.
Saya teringat misalnya bagaimana kisah satu
siswi Indonesia yang diungsikan ke Singapura oleh orangtuanya karena
peristiwa kerusuhan Mei 1998. Ia menyelesaikan SMU
lalu masuk ke NTU, Singapura. Di kampus yang dianggap hebat itu, ia
mendapatkan pelecehan seks oleh sang dosen. Sosok itu yang kemudian
banyak membantu saya untuk mendapatkan informasi tentang NTU dan kasus
David. Ia juga memperkenalkan saya kepada mahasiswi S2 asal Indonesia.
Risetnya di bidang kimia, diminta profesor untuk dijual ke industri.
Karena tak mau, ia trauma hingga kini karena di laboratorium menghisap bahan kimia berbahaya. Entah diciptakan sang profesor atau memang kecelakaan?
Di balik menterengnya kampus NTU di lebih 100 hentar lahan, juga menyimpan cerita mundurnya peradaban. Seperti laku pelecehan seks, “kecelakaan” di lab, juga David dibunuh.
Ketika mampir ke bangunan tua hotel Fullerton, di kawasan Fullerton Bay, di tepian jembatan besi yang dibangun Inggris pada 1829 itu, jarang warga yang mau meilhat ada ada patung kecil induk kucing dengan dua anaknya yang sedang bercengkerama. Kendati terbuat dari baja, kelenturan patung itu tak kalah dari ekspresi kucing hidup. Kucing bahagia.
Di saat itu ingatan saya menerawang, pertama
kali bertandang ke kediaman keluarga David di sebuah penggal siang 2009.
Mereka masih berduka. Di jam makan siang itu, sang ibu meleletakkan di meja tamu potongan mangga.
“Makanlah Mas, sudah lewat jam makan siang., kami tak ada apa-apa”
“Saya tak ke dapur sejak David diberitakan bunuh diri.”
“David sejak kecil tidak pernah pegang pisau.”
“Bahkan untuk sekadar mengupas buah.”
“Di kampusnya untuk buah dia selalu beli jus.”
Adakah sosok yang tidak pernah memegang pisau
berani menusuk profesornya, Chan Kap Luk, yang telah memiliki 5 paten,
konon mengaku penemuannya itu?
Dari verifikasi saya, dua orang neni-neni, pekerja pembersih di NTU, sosok tua berseragam biru, pernah saya pertemukan dengan ayah David. Mereka mengaku melihat bagaimana David disikat sebelum ia diletakkan di jembatan kaca.
Pangkal pahanya dipatahkan.
Urat nadi kaki kanan putus disikat belati.
Darah bersimbah.
Sayang kedua neni-neni itu bergetar. Mereka enggan bersaksi ke persidangan.
Maka ketika mata saya nanar menyimak karya seni tua, keluarga kucing di The Fullerton Bay, air mata tak terasa jatuh.
Iwan Piliang, Citizen Reporter.